Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Derrick Borte
Pemain: Demi Moore, Amber Heard, David Duchovny, Ben Hollingsworth, Gary Cole, Chris Williams, Glenne Headly, Lauren Hutton
Tahun Rilis: 2009
Pemain: Demi Moore, Amber Heard, David Duchovny, Ben Hollingsworth, Gary Cole, Chris Williams, Glenne Headly, Lauren Hutton
Tahun Rilis: 2009
Konsumerisme selalu punya dua sisi, bisa saja berdampak positif, tapi bisa juga berdampak negatif. Apa saja bisa terjadi di tengah-tengah masyarakat konsumerisme ini, termasuk juga hal yang terjadi di The Joneses. Sekalipun, apabila dipikir lebih mendalam, apa yang ditunjukkan dalam The Joneses ini agaknya sulit diterapkan di kehidupan nyata, tetap saja premis yang dijanjikan terbilang cukup menggoda.
Di sebuah daerah yang merupakan sampel lapisan sosial dengan tingkatan materialisme yang tinggi, keluarga Jones baru saja pindah. Keluarga Jones, yang dikepalai oleh Kate (Demi Moore), ibu yang glamor, dan beranggotakan, Steve (David Duchovny), ayah yang kharismatik, dan dua anak, Jennifer (Amber Heard) dan Mick (Ben Hollingsworth), yang selalu tampil keren setiap saat. Keluarga Jones ini merupakan potret keluarga sempurna, terutama dari segi gaya hidup dan materialistik.
Dan ya, para penghuni kelompok paling atas dari strata sosial ini langsung saja mengaggumi keluarga Jones. Bukan hanya gaya hidup mereka, tapi juga perabotan yang mereka gunakan, gadget yang mereka pegang, hingga apa saja barang yang menempel di badan keluarga Jones. Mereka beli apa saja yang keluarga Jones beli. Salah satu dari mereka adalah keluarga pasangan Larry dan Summer (Gary Cole dan Glenne Headly), tetangga yang tidak pernah mau kalah kinclong dari keluarga Jones. Segigih apapun Larry mengejar keluarga Jones, dia tidak akan pernah bisa menyusul. Alasannya?
Haruskah saya memberi spoiler di sini? Saya peringatkan selanjutnya tulisan ini mengandung spoiler, tapi tidak banjir spoiler. Jelas dari awal film ini sudah diberi pertanda bahwa ada sesuatu yang ganjil dibalik kesempurnaan keluarga Jones ini. Pada kenyataannya keluarga Jones ini bukan keluarga normal pada umumnya. Mereka bahkan sama sekali bukan keluarga pada umumnya. Mereka adalah sales dari sebuah perusahaan yang mempromosikan produk mewahnya dengan cara menyamar sebagai sebuah keluarga (cara seperti ini dikenal dengan istilah buzz marketing atau undercover marketing). Curang? Kejam? Tidak adil? Tidak manusiawi? Itulah salah satu sisi dari masyarakat konsumerisme. Demi Moore dan David Duchovny dengan cukup piawai mampu memainkan peran mereka di sini. Amber Heard (Never Back Down, All the Boys Love Mandy Lane) dan Ben Hollingsworth juga tidak kalah menawan sebagai remaja yang punya persoalan seksual sendiri-sendiri.
Kalau banyak yang mengira The Joneses membahasa secara mendalam soal masyarakat konsumerisme, sayangnya tidak. Sutradara film ini terlihat sekali punya dua tujuan dalam The Joneses: [1] Memberikan semacam potret satir tentang masyarakat konsumerisme, dan [2] membuat sebuah tontonan yang menghibur. Untuk tujuan tersebut, film ini diarahkan ke drama “keluarga,” kisah romansa, dan tentang mana kehidupan yang “asli” dan mana kehidupan yang “palsu.” Tentu persoalan kehidupan asli-palsu ini tepat ditempatkan pada situasi keluarga Jones, tapi akan jadi hal yang bias bila ditempatkan pada keluarga lain yang membuntuti keluarga Jones (yang untungnya tidak dilakukan). Pantaskah kehidupan konsumerisme mereka disebut palsu?
Dan ya, ending film ini sayangnya tidak sepadan dengan premisnya. Sebenarnya, kesenangan menonton malah The Joneses sudah menurun di sekitar sepertiga akhir film, tepatnya ketika humor-humor tajam yang dari awal film mendadak berubah menjadi dangkal, dan pada saat ini lah film naunsa satirnya mendadak menurun dan The Joneses berubah menjadi opera sabun. Walaupun begitu, secara keseluruhan The Joneses merupakan hiburan yang menyenangkan.
Kalau banyak yang mengira The Joneses membahasa secara mendalam soal masyarakat konsumerisme, sayangnya tidak. Sutradara film ini terlihat sekali punya dua tujuan dalam The Joneses: [1] Memberikan semacam potret satir tentang masyarakat konsumerisme, dan [2] membuat sebuah tontonan yang menghibur. Untuk tujuan tersebut, film ini diarahkan ke drama “keluarga,” kisah romansa, dan tentang mana kehidupan yang “asli” dan mana kehidupan yang “palsu.” Tentu persoalan kehidupan asli-palsu ini tepat ditempatkan pada situasi keluarga Jones, tapi akan jadi hal yang bias bila ditempatkan pada keluarga lain yang membuntuti keluarga Jones (yang untungnya tidak dilakukan). Pantaskah kehidupan konsumerisme mereka disebut palsu?
Dan ya, ending film ini sayangnya tidak sepadan dengan premisnya. Sebenarnya, kesenangan menonton malah The Joneses sudah menurun di sekitar sepertiga akhir film, tepatnya ketika humor-humor tajam yang dari awal film mendadak berubah menjadi dangkal, dan pada saat ini lah film naunsa satirnya mendadak menurun dan The Joneses berubah menjadi opera sabun. Walaupun begitu, secara keseluruhan The Joneses merupakan hiburan yang menyenangkan.
Gue uda nonton film ini dan well, failed
BalasHapusawalnya seperti yang lo tulis, menarik memang membahas subliminal marketing macem gini, tapi kok...lama2 grabbingnya jadi mulai melemah saat (spoiler)
Perlu ya si istri dan suami jejadian itu tiba2 cinlok? as you wrote, film ini jadi dangkal!
tapi ada beberapa hal yang gue lumayan suka, gerak kameranya, film ini seolah modelnya ada yang hand held gaya documentary gitu, itu yang menarik,
dan yang masih jadi tanda tanya, film ini kan release tahun 2009, yang which is, di US sendiri krisis ekonomi memang sudah terjadi, sayang banget kalo latar ini gak dimanfaatkan dengan baik, misalnya (spoiler) saat tetangganya bunuh diri toh akan lebih baik alasannya bukan hanya karna dia gak afford bayar kreditnya, tapi juga companynya juga bankrupt, yang membuat film ini tampak gak berjarak,
jujur, gue nonton film ini justru merasa, they're too good to be true banget karena semua org bisa afford apa yang dipake sama keluarga itu, dan sayang banget si penulis cuma bikin satu contoh radikal yg langsung suicide, terlalu dramatis aja sih jadinya justru
@moviegasm
BalasHapusMengenai masalah perlu tidaknya cinlok itu. Itulah risiko kalau mau bikin film yang kelihatan pintar tapi juga menghibur (dalam konsep penonton "umum"). Berapa banyak sih penonton yang bakal terhibur dengan film yang sekedar menyajikan konflik marketing?
Dan untuk masalah yang kedua, aku nggak terlalu mengikuti perkembangan Ekonomi dunia sih. :P
Tapi aku agaknya setuju urusan bunuh diri itu agaknya terasa terlalu dramatis.