Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Morten Arnfred
Pemain: Karl Wagner, Marianne Groth Svendsen, Marie-Louise Coninck, Ole Meyer, Ole Ernst, Morten Hovman, Beth Lendorf, Kirsten Søberg, Ib Tardini
Tahun Rilis: 1976
Sebelum saya memulai resensi, ada baiknya saya peringatkan film dari Denmark ini mengandung unsur seksual yang cukup kental (sekalipun poternya kelihatan seolah-olah remaja). Måske ku' vi, atau kalau diterjemahkan bebas kira-kira menjadi Could We Maybe, adalah segelentir film langka yang membahas tentang coming of age atau pubertas (termasuk pula dari sisi seksual) secara cukup unik. Måske ku' vi juga terbilang berani dalam hal menyuguhkan adegan-adegan seksual. Tidak sevulgar Y tu mamá también atau Ma mère, memang, tapi untuk sebuah film dengan tokoh utama yang masih baru menginjak keremajaan, Måske ku' vi termasuk cukup lantang dalam hal adegan seksual.
Saya sebelumnya tidak pernah akrab dengan karya-karya sutradara film ini–ini film pertamanya yang saya tonton. Saya juga tidak pernah tahu dengan aktor-aktris pemeran film Denmark, jadi saya sama sekali tidak tahu pastinya apakah ketika film ini diproduksi aktor-aktris remaja yang ada di film ini sudah cukup umur untuk tampil telanjang, menunjuk sekilas alat genital mereka–bahkan kedua pemeran utama remaja saling bertindihan dada sambil melumat mulut satu sama lain.
Bicara tentang telanjang di layar bioskop, saya jadi ingat dengan kasus Brooke Shield yang penampilannya di The Blue Lagoon tahun 1980 menuai kontroversi. Saat itu Brooke Shield masih berusia 14 tahun, dan sudah tampil “semi” telanjang dengan rambut panjang menjuntainya dilem ke payudara. Untuk adegan-adegan ekstrem tertentu, Brooke Shield menggunakan double. Apakah para pemeran remaja di Måske ku' vi juga menggunakan double saat telanjang? Entahlah, saya rasa tidak. Apakah mereka sudah cukup umur? Entahlah, tapi dari tebak-tebakan asal-asalan saya, kedua pemeran utama film ini masih berwajah sangat “muda” dan sangat “remaja.” Hei, tapi lucunya, gadis-gadis remaja di film ini, yang di film dijelaskan masih berusia sekitar 15 tahun sudah pada ber-payudara besar, lo?!! Malah lebih besar daripada ingatan saya akan teman-teman saya ketika seumur itu. Apakah gadis-gadis di Denmark lebih “subur” daripada di Indonesia? Atau memang usia aktris-aktris di film ini sudah lebih tua dari usia tokoh mereka?
Anggap saja penjelasan-penjelasan di atas cuma intermezzo.
Film ini berpusat pada tokoh Kim (Karl Wagner), remaja 15 tahun yang tinggal cuma bersama ibunya (Marie-Louise Coninck). Kurang lebih tiga puluh menit awal film dihabiskan untuk menggambarkan bagaimana kehidupan remaja si Kim ini. Kim tipikal bocah yang berjiwa bebas, tapi tidak berandal, tipikal bocah-bocah yang sehabis nonton film Bruce Lee di bioskop langsung bercanda kungfu-kungfuan di depan bioskop. Tipikal bocah-bocah yang baru saja masuk gerbang pubertas. Tipikal bocah yang anehnya berani memajang poster wanita bugil di dinding kamarnya, padahal ibunya tipe-tipe ibu yang cukup ganas. Kalau mau dirangkum, plot tentang perkenalan kehidupan Kim ini terdiri dari rumah, sekolah, rumah, sekolah, jalanan kota, bioskop, pesta remaja (termasuk adegan Kim ketiduran ketika diajak bercinta oleh teman-temannya), dan adegan di bank. Tidak ada permasalahan yang dikhususkan di bagian-bagian awal ini selain untuk menunjukkan bagaimana kehidupan remaja seorang Kim.
Selanjutnya tokoh Kim yang masih remaja dibawa ke sebuah situasi ekstream ketika sebuah perampokan terjadi di bank tempat Kim mengambil uang, dan Kim, bersama seorang gadis remaja bernama Marianne (Marianne Groth Svendsen), diculik oleh para perampok. Yang menculik Kim dan Marianne adalah perampok bank, bukan pembunuh, dan mereka sama sekali tidak berniat membunuh dua bocah yang sama-sama berusia 15 tahun itu. Para perampok bank itu cuma berniat menahan Kim dan Marianne sampai mereka bisa keluar dari Denmark. Nyatanya, Kim dan Marianne bermain monopoli dengan uang rampokan bersama tiga perampok tersebut.
Babak terakhir film berkisah tentang Kim dan Marianne yang sudah berhasil kabur dari gubuk para perampok. Keduanya hidup berdua (mulanya cuma berdua, sampai anak pemilik rumah datang memergoki mereka) di sebuah rumah tak berpenghuni yang mereka temukan. Di sini lah sisi seksual dari masa pubertas Kim dan Marianne...ehm...diuji. Mereka saling bersetubuhan berdua, dan kemungkinan ini ML pertama keduanya. Well, di film cuma ditunjukkan adegan mereka saling bertindihan sambil dibungkus selimut.
Tidak ada konflik atau klimaks yang pasti dalam Måske ku' vi. Pada dasarnya, Måske ku' vi memang bukan film tentang konflik. Penculikan bukan lah konflik utama film ini, melainkan hanya sebuah plot device bagi permasalahan utamanya. Keseluruhan film ini lebih mirip slide show atau dokumentasi dari pengalaman-pengalaman Kim dan Marianne. Sebagian besar dialog malah lebih mirip basa-basi, seperti yang saya bilang sebelumnya, film ini lebih tentang sebuah pengalaman ketimbang cerita berkonflik. Kedua pemeran utama, Karl Wagner & Marianne Groth Svendsen, bermain cukup baik–dan berani. Saya malah sangat menikmati penampilan Karl Wagner sebagai Kim. Måske ku' vi mungkin memang bukan film yang sangat bagus tentang coming of age, pubertas, atau keremajaan, tapi Måske ku' vi berhasil mempertontonkan sebuah coming of age dengan cara yang unik.
Pemain: Karl Wagner, Marianne Groth Svendsen, Marie-Louise Coninck, Ole Meyer, Ole Ernst, Morten Hovman, Beth Lendorf, Kirsten Søberg, Ib Tardini
Tahun Rilis: 1976
Sebelum saya memulai resensi, ada baiknya saya peringatkan film dari Denmark ini mengandung unsur seksual yang cukup kental (sekalipun poternya kelihatan seolah-olah remaja). Måske ku' vi, atau kalau diterjemahkan bebas kira-kira menjadi Could We Maybe, adalah segelentir film langka yang membahas tentang coming of age atau pubertas (termasuk pula dari sisi seksual) secara cukup unik. Måske ku' vi juga terbilang berani dalam hal menyuguhkan adegan-adegan seksual. Tidak sevulgar Y tu mamá también atau Ma mère, memang, tapi untuk sebuah film dengan tokoh utama yang masih baru menginjak keremajaan, Måske ku' vi termasuk cukup lantang dalam hal adegan seksual.
Saya sebelumnya tidak pernah akrab dengan karya-karya sutradara film ini–ini film pertamanya yang saya tonton. Saya juga tidak pernah tahu dengan aktor-aktris pemeran film Denmark, jadi saya sama sekali tidak tahu pastinya apakah ketika film ini diproduksi aktor-aktris remaja yang ada di film ini sudah cukup umur untuk tampil telanjang, menunjuk sekilas alat genital mereka–bahkan kedua pemeran utama remaja saling bertindihan dada sambil melumat mulut satu sama lain.
Bicara tentang telanjang di layar bioskop, saya jadi ingat dengan kasus Brooke Shield yang penampilannya di The Blue Lagoon tahun 1980 menuai kontroversi. Saat itu Brooke Shield masih berusia 14 tahun, dan sudah tampil “semi” telanjang dengan rambut panjang menjuntainya dilem ke payudara. Untuk adegan-adegan ekstrem tertentu, Brooke Shield menggunakan double. Apakah para pemeran remaja di Måske ku' vi juga menggunakan double saat telanjang? Entahlah, saya rasa tidak. Apakah mereka sudah cukup umur? Entahlah, tapi dari tebak-tebakan asal-asalan saya, kedua pemeran utama film ini masih berwajah sangat “muda” dan sangat “remaja.” Hei, tapi lucunya, gadis-gadis remaja di film ini, yang di film dijelaskan masih berusia sekitar 15 tahun sudah pada ber-payudara besar, lo?!! Malah lebih besar daripada ingatan saya akan teman-teman saya ketika seumur itu. Apakah gadis-gadis di Denmark lebih “subur” daripada di Indonesia? Atau memang usia aktris-aktris di film ini sudah lebih tua dari usia tokoh mereka?
Anggap saja penjelasan-penjelasan di atas cuma intermezzo.
Film ini berpusat pada tokoh Kim (Karl Wagner), remaja 15 tahun yang tinggal cuma bersama ibunya (Marie-Louise Coninck). Kurang lebih tiga puluh menit awal film dihabiskan untuk menggambarkan bagaimana kehidupan remaja si Kim ini. Kim tipikal bocah yang berjiwa bebas, tapi tidak berandal, tipikal bocah-bocah yang sehabis nonton film Bruce Lee di bioskop langsung bercanda kungfu-kungfuan di depan bioskop. Tipikal bocah-bocah yang baru saja masuk gerbang pubertas. Tipikal bocah yang anehnya berani memajang poster wanita bugil di dinding kamarnya, padahal ibunya tipe-tipe ibu yang cukup ganas. Kalau mau dirangkum, plot tentang perkenalan kehidupan Kim ini terdiri dari rumah, sekolah, rumah, sekolah, jalanan kota, bioskop, pesta remaja (termasuk adegan Kim ketiduran ketika diajak bercinta oleh teman-temannya), dan adegan di bank. Tidak ada permasalahan yang dikhususkan di bagian-bagian awal ini selain untuk menunjukkan bagaimana kehidupan remaja seorang Kim.
Selanjutnya tokoh Kim yang masih remaja dibawa ke sebuah situasi ekstream ketika sebuah perampokan terjadi di bank tempat Kim mengambil uang, dan Kim, bersama seorang gadis remaja bernama Marianne (Marianne Groth Svendsen), diculik oleh para perampok. Yang menculik Kim dan Marianne adalah perampok bank, bukan pembunuh, dan mereka sama sekali tidak berniat membunuh dua bocah yang sama-sama berusia 15 tahun itu. Para perampok bank itu cuma berniat menahan Kim dan Marianne sampai mereka bisa keluar dari Denmark. Nyatanya, Kim dan Marianne bermain monopoli dengan uang rampokan bersama tiga perampok tersebut.
Babak terakhir film berkisah tentang Kim dan Marianne yang sudah berhasil kabur dari gubuk para perampok. Keduanya hidup berdua (mulanya cuma berdua, sampai anak pemilik rumah datang memergoki mereka) di sebuah rumah tak berpenghuni yang mereka temukan. Di sini lah sisi seksual dari masa pubertas Kim dan Marianne...ehm...diuji. Mereka saling bersetubuhan berdua, dan kemungkinan ini ML pertama keduanya. Well, di film cuma ditunjukkan adegan mereka saling bertindihan sambil dibungkus selimut.
Tidak ada konflik atau klimaks yang pasti dalam Måske ku' vi. Pada dasarnya, Måske ku' vi memang bukan film tentang konflik. Penculikan bukan lah konflik utama film ini, melainkan hanya sebuah plot device bagi permasalahan utamanya. Keseluruhan film ini lebih mirip slide show atau dokumentasi dari pengalaman-pengalaman Kim dan Marianne. Sebagian besar dialog malah lebih mirip basa-basi, seperti yang saya bilang sebelumnya, film ini lebih tentang sebuah pengalaman ketimbang cerita berkonflik. Kedua pemeran utama, Karl Wagner & Marianne Groth Svendsen, bermain cukup baik–dan berani. Saya malah sangat menikmati penampilan Karl Wagner sebagai Kim. Måske ku' vi mungkin memang bukan film yang sangat bagus tentang coming of age, pubertas, atau keremajaan, tapi Måske ku' vi berhasil mempertontonkan sebuah coming of age dengan cara yang unik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar