Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Kim Yong-gyun
Pemain: Kim Hye-su, Kim Sung-su, Park Yeon-ah, Go Su-hee, Lee Eol,
Tahun Rilis: 2005
Judul Internasional: The Red Shoes
Film ini dibuat berdasarkan dongeng The Red Shoes karya Hans Christian Andersen.
The Red Shoes tidak lain adalah sebuah kisah horror hasil daur ulang dongeng The Red Shoes karya Hans Christian Anderson. Sebelumnya, dongeng tersebut juga peranah difilmkan oleh Michael Powell dan Emeric Pressburger di tahun 1948. Film ini dibuat di tahun 2005, di masa ketika Korea Selatan masih terkenal dan gencar dengan horror-horror cantik nan indahnya.
Cerita yang disuguhkan sebenarnya terbilang konyol. Dan kalau Anda mencari teknik menakuti yang orisinil, tidak akan Anda temukan di sini. Kalau Anda penggila horror-horror Asia, atau setidaknya pernah noton Dark Water, Ju-On, atau A Tale of Two Sisters, faktor-faktor horror di film ini tidak akan asing lagi.
The Red Shoes bercerita tentang Sun-jae (Kim Hye-su), seorang wanita yang baru saja pindah ke apartemen tua nan bobrok bersama anaknya, Tae-su (Park Yeon-ah), setelah mendapati suaminya bercinta dengan wanita lain. Suatu malam di dalam kereta bawah tanah, Sun-jae menemukan sebuah sepatu merah (kalau menurut saya sih lebih tepat disebut “pink”) aneh tergeletak begitu saja. Sepatu tersebut sangat menari perhatiannya. Sun-jae, yang juga hobi mengoleksi sepatu, membawa pulang sepatu cantik itu. Sayangnya sepatu tersebut malah mendatangkan bencana, malah dan kematian, yang tidak diharapkan.
Bagi yang sudah tidak asing lagi dengan horror Korea Selatan, jelas bisa langsung menangkap kalau dua ciri khas utamanya ada di film ini: sinematografi dan twist. Untuk urusan sinematografi, bolehlah dibilang The Red Shoes berhasil menyuguhkan gambar-gambar cgotik-cantik (sekaipun ini bukan sinematografi terbaik yang pernah saya lihat, bahkan bukan sinematografi terbaik dari semua horror Kor-Sel). Cahaya remang dan blur di film ini juga dimanfaatkan dengan baik. Film ini kaya secara visual, tapi cuma itu saja yang bisa dipuji.
Film ini punya segudang masalah. Pembangunan plot film ini sangat menyedihkan dan tidak ada satupun unsur orisinalitas di sepanjang film. Bahkan saya cukup yakin penonton yang tidak akrab dengan horror-horror Asia bisa langsung mengetahui ke arah mana mereka digiring. Adegan-adegan horror yang ditampilkan juga kebanyakan gagal. Apa penonton perlu merasa takut dengan adegan tumpahan darah dari atap apartemen? Dan sudah berapa banyak horror yang memanfaatkan mimpi untuk menakut-nakuti penonton? Rasanya tidak tepat juga kalau adegan-adegan horror di film ini disebut murahan, hanya saja memang kebanyakan gagal menjalankan fungsinya.
Sebenarnya bagian di mana Sun-jae dan putrinya berebut sepatu merah terkutuk itu bisa saja menjadi bagian yang paling menarik di film ini. Sayangnya, lagi-lagi, hal tersebut malah dieksekusi dengan cara yang tidak rapi. Twist merupakan upaya paling ambisius di horror-horror Kor-Sel semasa itu. Dan film ini menampilkan twist yang sama ambisiusnya dengan tampilan visualnya. Sayangnya eksekusi twist tersebut sama menyedihkannya dengan plot-nya.
Pemain: Kim Hye-su, Kim Sung-su, Park Yeon-ah, Go Su-hee, Lee Eol,
Tahun Rilis: 2005
Judul Internasional: The Red Shoes
Film ini dibuat berdasarkan dongeng The Red Shoes karya Hans Christian Andersen.
Cerita yang disuguhkan sebenarnya terbilang konyol. Dan kalau Anda mencari teknik menakuti yang orisinil, tidak akan Anda temukan di sini. Kalau Anda penggila horror-horror Asia, atau setidaknya pernah noton Dark Water, Ju-On, atau A Tale of Two Sisters, faktor-faktor horror di film ini tidak akan asing lagi.
The Red Shoes bercerita tentang Sun-jae (Kim Hye-su), seorang wanita yang baru saja pindah ke apartemen tua nan bobrok bersama anaknya, Tae-su (Park Yeon-ah), setelah mendapati suaminya bercinta dengan wanita lain. Suatu malam di dalam kereta bawah tanah, Sun-jae menemukan sebuah sepatu merah (kalau menurut saya sih lebih tepat disebut “pink”) aneh tergeletak begitu saja. Sepatu tersebut sangat menari perhatiannya. Sun-jae, yang juga hobi mengoleksi sepatu, membawa pulang sepatu cantik itu. Sayangnya sepatu tersebut malah mendatangkan bencana, malah dan kematian, yang tidak diharapkan.
Bagi yang sudah tidak asing lagi dengan horror Korea Selatan, jelas bisa langsung menangkap kalau dua ciri khas utamanya ada di film ini: sinematografi dan twist. Untuk urusan sinematografi, bolehlah dibilang The Red Shoes berhasil menyuguhkan gambar-gambar cgotik-cantik (sekaipun ini bukan sinematografi terbaik yang pernah saya lihat, bahkan bukan sinematografi terbaik dari semua horror Kor-Sel). Cahaya remang dan blur di film ini juga dimanfaatkan dengan baik. Film ini kaya secara visual, tapi cuma itu saja yang bisa dipuji.
Film ini punya segudang masalah. Pembangunan plot film ini sangat menyedihkan dan tidak ada satupun unsur orisinalitas di sepanjang film. Bahkan saya cukup yakin penonton yang tidak akrab dengan horror-horror Asia bisa langsung mengetahui ke arah mana mereka digiring. Adegan-adegan horror yang ditampilkan juga kebanyakan gagal. Apa penonton perlu merasa takut dengan adegan tumpahan darah dari atap apartemen? Dan sudah berapa banyak horror yang memanfaatkan mimpi untuk menakut-nakuti penonton? Rasanya tidak tepat juga kalau adegan-adegan horror di film ini disebut murahan, hanya saja memang kebanyakan gagal menjalankan fungsinya.
Sebenarnya bagian di mana Sun-jae dan putrinya berebut sepatu merah terkutuk itu bisa saja menjadi bagian yang paling menarik di film ini. Sayangnya, lagi-lagi, hal tersebut malah dieksekusi dengan cara yang tidak rapi. Twist merupakan upaya paling ambisius di horror-horror Kor-Sel semasa itu. Dan film ini menampilkan twist yang sama ambisiusnya dengan tampilan visualnya. Sayangnya eksekusi twist tersebut sama menyedihkannya dengan plot-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar