Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Penelope Spheeris
Pemain: Maxwell Caulfield, Charlie Sheen, Patti D'Arbanville, Christopher McDonald, Hank Garrett, Paul C. Dancer, Richard Pachorek, Lesa Lee, Kenneth Cortland, Moon Unit Zappa, Dawn Schneider, Kurt Christian, Don Draper, Blackie Dammett, Phil Rubenstein
Tahun Rilis: 1985
The Boys Next Door adalah sebuah film independent (a.k.a indie) besutan Penelope Spheeris, sutradara yang lebih dikenal dengan film-film dokumenter (sebut saja The Decline of Western Civilization). Seusai menonton film ini sampai habis, boleh dibilang suasana dokumenter cukup terasa di sini. Dan tentu juga film ini punya cacat di sana-sini, walaupun begitu, saya tidak merasa terlalu menyesal menonton film yang dibintangi dua teen idol era 80 ini. Nyatanya, saya terhibur. Ada poin-poin tertentu yang sebenarnya cukup menarik di sini.
Jangan tertipu dengan judulnya. Film ini bukan film pecinta-cintaan ala The Girl Next Door yang dibintangi Elisha Cuthbert. Dari pembukaannya, yang menghadirkan profil singkat enam pembunuh berantai yang termasuk ditakuti di Amerika, bisa diketahui film ini lebih tentang bunuh-bunuhan, ketimbang cinta-cintaan. Penjahat terakhir dikatakan mengakui telah melakukan 188 pembunuhan. Adegan pembuka ini, kurang lebih, hendak menandakan bahwa tindak kriminal bisa terjadi kapan saja di mana saja, dan itu lah maksud dari judul film ini.
Film ini bercerita tentang perjalanan dua remaja, Roy (Maxwell Caulfield) dan Bo (Charlie Sheen), di Los Angeles. Keduanya baru saja lulus SMA. Keduanya berandal, labil, pemberontak, cenderung anti-sosial dan mempunyai permasalahaan pribadi masing-masing. Keduanya bertindak bebas, lepas, dan cenderung liar di L.A. Kata-kata kasar terlempar, jahil, mabuk, sex, kekerasan, hingga kriminalitas, hingga pembunuhan pun mereka lakukan. Kekerasaan yang pertama kali mereka lakukan terjadi di pompa bensin, di mana Roy memukuli seorang penjaga pom bensin hingga nyaris meninggal. Korban lain pun mulai berjatuhan, mulai dari seorang homoseksual, sepasang kekasih muda, hingga seorang pelacur, dan semuanya hanya karena masalah tempramen dan emosi mereka. Sebenarnya pelaku dari semua pembunuhan ini adalah Roy, Bo hanya terlibat sebagai teman. Dan yang jadi sumber utama semua pembunuhan tersebut adalah sifat tempramental Roy yang sangat tidak terkendali. The Boys Next Door hendak bicara pada penontonnya bahwa siapun bisa jadi seorang pembunuh (tidak harus seorang psikopat).
Yang paling menarik dari film ini adalah tujuan kedua pemuda tersebut melakukan perjalanan ke L.A. Dari awal sudah terlihat keduanya termasuk pemuda yang gagal menjalin hubungan sosial yang baik dengan teman-teman sebayanya. Tapi, saya rasa, bukan itu isu sebenarya. Sorotan sebenarnya justru muncul pada di adegan ketika Roy menyapa seorang petugas A.L. dan juga di percakapan selanjutnya perihal apakah Roy akan bergabung dengan A.L. atau tidak. Faktanya, setemat sekolah, keduanya berniat melanjutkan masa depan mereka sebagai buruh pabrik. Terlihat jelas bahwa Roy dan Bo sadar akan kesuraman masa depan mereka. Dan untuk itulah kurang tujuan perjalanan liar yang berakhir dengan seks, mabuk, dan pembunuhan tersebut: melampiaskan kekesalan mereka atas masa depan.
Andai saja Penelope Spheeris mampu membangun mood lebih baik, suasana, dan tentunya dengan skenario yang lebih solid dari ini, sebenarnya film ini bisa saja menjadi film yang jauh lebih menarik lagi dari ini.
Pemain: Maxwell Caulfield, Charlie Sheen, Patti D'Arbanville, Christopher McDonald, Hank Garrett, Paul C. Dancer, Richard Pachorek, Lesa Lee, Kenneth Cortland, Moon Unit Zappa, Dawn Schneider, Kurt Christian, Don Draper, Blackie Dammett, Phil Rubenstein
Tahun Rilis: 1985
The Boys Next Door adalah sebuah film independent (a.k.a indie) besutan Penelope Spheeris, sutradara yang lebih dikenal dengan film-film dokumenter (sebut saja The Decline of Western Civilization). Seusai menonton film ini sampai habis, boleh dibilang suasana dokumenter cukup terasa di sini. Dan tentu juga film ini punya cacat di sana-sini, walaupun begitu, saya tidak merasa terlalu menyesal menonton film yang dibintangi dua teen idol era 80 ini. Nyatanya, saya terhibur. Ada poin-poin tertentu yang sebenarnya cukup menarik di sini.
Jangan tertipu dengan judulnya. Film ini bukan film pecinta-cintaan ala The Girl Next Door yang dibintangi Elisha Cuthbert. Dari pembukaannya, yang menghadirkan profil singkat enam pembunuh berantai yang termasuk ditakuti di Amerika, bisa diketahui film ini lebih tentang bunuh-bunuhan, ketimbang cinta-cintaan. Penjahat terakhir dikatakan mengakui telah melakukan 188 pembunuhan. Adegan pembuka ini, kurang lebih, hendak menandakan bahwa tindak kriminal bisa terjadi kapan saja di mana saja, dan itu lah maksud dari judul film ini.
Film ini bercerita tentang perjalanan dua remaja, Roy (Maxwell Caulfield) dan Bo (Charlie Sheen), di Los Angeles. Keduanya baru saja lulus SMA. Keduanya berandal, labil, pemberontak, cenderung anti-sosial dan mempunyai permasalahaan pribadi masing-masing. Keduanya bertindak bebas, lepas, dan cenderung liar di L.A. Kata-kata kasar terlempar, jahil, mabuk, sex, kekerasan, hingga kriminalitas, hingga pembunuhan pun mereka lakukan. Kekerasaan yang pertama kali mereka lakukan terjadi di pompa bensin, di mana Roy memukuli seorang penjaga pom bensin hingga nyaris meninggal. Korban lain pun mulai berjatuhan, mulai dari seorang homoseksual, sepasang kekasih muda, hingga seorang pelacur, dan semuanya hanya karena masalah tempramen dan emosi mereka. Sebenarnya pelaku dari semua pembunuhan ini adalah Roy, Bo hanya terlibat sebagai teman. Dan yang jadi sumber utama semua pembunuhan tersebut adalah sifat tempramental Roy yang sangat tidak terkendali. The Boys Next Door hendak bicara pada penontonnya bahwa siapun bisa jadi seorang pembunuh (tidak harus seorang psikopat).
Yang paling menarik dari film ini adalah tujuan kedua pemuda tersebut melakukan perjalanan ke L.A. Dari awal sudah terlihat keduanya termasuk pemuda yang gagal menjalin hubungan sosial yang baik dengan teman-teman sebayanya. Tapi, saya rasa, bukan itu isu sebenarya. Sorotan sebenarnya justru muncul pada di adegan ketika Roy menyapa seorang petugas A.L. dan juga di percakapan selanjutnya perihal apakah Roy akan bergabung dengan A.L. atau tidak. Faktanya, setemat sekolah, keduanya berniat melanjutkan masa depan mereka sebagai buruh pabrik. Terlihat jelas bahwa Roy dan Bo sadar akan kesuraman masa depan mereka. Dan untuk itulah kurang tujuan perjalanan liar yang berakhir dengan seks, mabuk, dan pembunuhan tersebut: melampiaskan kekesalan mereka atas masa depan.
Andai saja Penelope Spheeris mampu membangun mood lebih baik, suasana, dan tentunya dengan skenario yang lebih solid dari ini, sebenarnya film ini bisa saja menjadi film yang jauh lebih menarik lagi dari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar