Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Ryan Murphy
Pemain: Julia Roberts, Javier Bardem, Billy Crudup, Richard Jenkins, Viola Davis, James Franco, Sophie Thompson, Christine Hakim, El Hadji Diouf, Hadi Subiyanto, Tuva Novotny, Luca Argentero, Giuseppe Gandini, Rushita Singh, Anakia Lapae, Arlene Tur, Dean Allan Tolhurst, David Lyons
Tahun Rilis: 2010
Diadaptasi dari memoir Eat, Pray, Love karya Elizabeth Gilbert.
Ini adalah film yang dulu pemberitaannya sempat marak sekali di stasiun-stasiun televisi dan di forum-forum internet lokal. Saking hebohnya pemberitaan film ini (setidaknya bagi saya), saya sendiri sampa merasa agaknya terlalu hiperbolik. Saya belum pernah membaca bukunya, yang saya tahu (dari Google), Elizabeth Gilbert adalah wanita yang cantik dan buku tersebut cukup sukses di pasaran. Salah satu review yang tidak sengaja saya baca memuji kemampuan Elizabeth Gilbert “menangkap momen-per-momen dari perjalanan eksotisnya.” Perjalanan Elizabeth Gilbert tersebut divisualisasikan oleh Ryan Murphy, sutradara Glee. Sayangnya saya tidak merasakan “momen-per-momen” dari film ini.
Seperti judulnya, cerita Eat Pray Love terbagi menjadi tiga babak utama: eat, pray, dan love. Sebelum masuk ke tiga babak tersebut, ada baiknya dibahas terlebih dahulu tentang prolog mengapa si Elizabeth Gilbert ini melakukan eat, pray, dan love tersebut. Elizabeth Gilbert (Julia Roberts) punya kehidupan mapan, termasuk urusan materi dan suami, yang seharusnya sudah sangat bisa membuatnya bahagia. Masalahnya, Liz (panggilannya) sama sekali tidak merasa bahagia atas kehidupannya tersebut. Liz merasa kehidupan yang dia jalani bukanlah apa yang dia inginkan, termasuk pernikahannya. Maka Liz, dengan berat hati, menceraikan suaminya (Billy Crudup). Belum kelar perceraian, Liz jatuh cinta dengan seorang aktor panggung karismatik (James Franco). Sayangnya, lagi-lagi, Liz merasa hubungan tersebut bukan apa yang dia inginkan. Dan, ya, Liz mencampakkan pacarnya, dan merencanakan perjalanan gila ke Italia, India, dan Bali untuk mencari tahu apa yang sebenarnya dia inginkan.
Alasan perjalanan ini agaknya terlalu sinis dan egois buat saya. Maksud saya, tidakkah egois mencampakkan dua orang pria begitu saja, dalam waktu berdekatan pula, hanya karena alasannya “mereka sama sekali tidak tahu apa yang saya ingikan!” Dan kemudian pergi merencanakan perjalanan eksotis dengan alasan “mencari tahu apa yang saya ingikan!” Tapi saya sadar film ini tidak akan terealisasi kalau Elizabeth Gilbert (yang asli) tidak mencampakkan suami dan pacarnya itu. Hasilnya, saya malah mencoba menahan sumpah-serapah pada Julia Roberts, dan mencoba menikmati dan memaknai prjalanan eksotisnya.
Sutradara: Ryan Murphy
Pemain: Julia Roberts, Javier Bardem, Billy Crudup, Richard Jenkins, Viola Davis, James Franco, Sophie Thompson, Christine Hakim, El Hadji Diouf, Hadi Subiyanto, Tuva Novotny, Luca Argentero, Giuseppe Gandini, Rushita Singh, Anakia Lapae, Arlene Tur, Dean Allan Tolhurst, David Lyons
Tahun Rilis: 2010
Diadaptasi dari memoir Eat, Pray, Love karya Elizabeth Gilbert.
Ini adalah film yang dulu pemberitaannya sempat marak sekali di stasiun-stasiun televisi dan di forum-forum internet lokal. Saking hebohnya pemberitaan film ini (setidaknya bagi saya), saya sendiri sampa merasa agaknya terlalu hiperbolik. Saya belum pernah membaca bukunya, yang saya tahu (dari Google), Elizabeth Gilbert adalah wanita yang cantik dan buku tersebut cukup sukses di pasaran. Salah satu review yang tidak sengaja saya baca memuji kemampuan Elizabeth Gilbert “menangkap momen-per-momen dari perjalanan eksotisnya.” Perjalanan Elizabeth Gilbert tersebut divisualisasikan oleh Ryan Murphy, sutradara Glee. Sayangnya saya tidak merasakan “momen-per-momen” dari film ini.
Seperti judulnya, cerita Eat Pray Love terbagi menjadi tiga babak utama: eat, pray, dan love. Sebelum masuk ke tiga babak tersebut, ada baiknya dibahas terlebih dahulu tentang prolog mengapa si Elizabeth Gilbert ini melakukan eat, pray, dan love tersebut. Elizabeth Gilbert (Julia Roberts) punya kehidupan mapan, termasuk urusan materi dan suami, yang seharusnya sudah sangat bisa membuatnya bahagia. Masalahnya, Liz (panggilannya) sama sekali tidak merasa bahagia atas kehidupannya tersebut. Liz merasa kehidupan yang dia jalani bukanlah apa yang dia inginkan, termasuk pernikahannya. Maka Liz, dengan berat hati, menceraikan suaminya (Billy Crudup). Belum kelar perceraian, Liz jatuh cinta dengan seorang aktor panggung karismatik (James Franco). Sayangnya, lagi-lagi, Liz merasa hubungan tersebut bukan apa yang dia inginkan. Dan, ya, Liz mencampakkan pacarnya, dan merencanakan perjalanan gila ke Italia, India, dan Bali untuk mencari tahu apa yang sebenarnya dia inginkan.
Alasan perjalanan ini agaknya terlalu sinis dan egois buat saya. Maksud saya, tidakkah egois mencampakkan dua orang pria begitu saja, dalam waktu berdekatan pula, hanya karena alasannya “mereka sama sekali tidak tahu apa yang saya ingikan!” Dan kemudian pergi merencanakan perjalanan eksotis dengan alasan “mencari tahu apa yang saya ingikan!” Tapi saya sadar film ini tidak akan terealisasi kalau Elizabeth Gilbert (yang asli) tidak mencampakkan suami dan pacarnya itu. Hasilnya, saya malah mencoba menahan sumpah-serapah pada Julia Roberts, dan mencoba menikmati dan memaknai prjalanan eksotisnya.
Pertama, Liz pergi ke Italia. Untuk? Untuk makan! Di Italia Liz berjumpa dengan Sofi (Tuva Novotny), seorang gadis Swedia yang sepertinya berada di Italia karena tujuan yang sama: “menikmati hidup.” Di Italia, Liz dan Sofi mati-matian makan sekenyang mereka. Pasta. Spaghetti. Mengingat saya sangat suka Pizza, maka Italia adalah tempat yang tepat untuk makan sepuasnya dan menikmati hidup. Singkatnya, momen-per-momen di bagian “eat” ini sudah ditangkap dengan cukup baik oleh Ryan Murphy.
Di India, setelah memuaskan jasmani, Liz mencari ketenangan rohani. Liz belajar meditasi, dibantu oleh seorang pria dari Texas (Richard Jenkins), yang juga punya pengalaman perceraian. Dan Liz juga berteman dengan seorang gadis India, Tulsi (Rushita Singh), yang terjebak pada perjodohan yang sama sekali tidak dia inginkan. Pengalaman Tulis ini menjadi cerminan diri bagi Liz. Dan untuk Liz sendiri, sayangnya Ryan Murphy tidak berhasil menangkap momen “pray” dengan baik kali ini.
Terakhir, Liz pergi ke Bali, Indonesia, untuk belajar menemukan “balance” pada Ketut Liyer (Hadi Subiyanto). Liz juga berteman dengan seorang ahli obat-obatan tradisional, Wayan (Christine Hakim), yang juga mempunyai pengalaman pahit soal perceraian. Secara tidak terduga, Liz malah menemukan “love” di Bali (itu lah kenapa judul film ini “Eat Pray Love,” bukan “Eat Pray Balance”). Dan ya, ada satu bagian di mana (lagi-lagi) Liz menolak Felipe (Javier Bardem) dengan alasan “tidak tahu apa yang dia inginkan.” Bagian terakhir ini lah yang seharusnya jadi inti film ini, di mana Liz seharusnya bisa menemukan keseimbangan antara “eat” (kesenangan jasmani) dan “pray” (kesenangan rohani). Sayangnya, lagi-lagi Ryan Murphy tidak berhasil menerjemahkan kata “balance” dengan baik.
Di India, setelah memuaskan jasmani, Liz mencari ketenangan rohani. Liz belajar meditasi, dibantu oleh seorang pria dari Texas (Richard Jenkins), yang juga punya pengalaman perceraian. Dan Liz juga berteman dengan seorang gadis India, Tulsi (Rushita Singh), yang terjebak pada perjodohan yang sama sekali tidak dia inginkan. Pengalaman Tulis ini menjadi cerminan diri bagi Liz. Dan untuk Liz sendiri, sayangnya Ryan Murphy tidak berhasil menangkap momen “pray” dengan baik kali ini.
Terakhir, Liz pergi ke Bali, Indonesia, untuk belajar menemukan “balance” pada Ketut Liyer (Hadi Subiyanto). Liz juga berteman dengan seorang ahli obat-obatan tradisional, Wayan (Christine Hakim), yang juga mempunyai pengalaman pahit soal perceraian. Secara tidak terduga, Liz malah menemukan “love” di Bali (itu lah kenapa judul film ini “Eat Pray Love,” bukan “Eat Pray Balance”). Dan ya, ada satu bagian di mana (lagi-lagi) Liz menolak Felipe (Javier Bardem) dengan alasan “tidak tahu apa yang dia inginkan.” Bagian terakhir ini lah yang seharusnya jadi inti film ini, di mana Liz seharusnya bisa menemukan keseimbangan antara “eat” (kesenangan jasmani) dan “pray” (kesenangan rohani). Sayangnya, lagi-lagi Ryan Murphy tidak berhasil menerjemahkan kata “balance” dengan baik.
Untuk urusan pemain, Julia Roberts memang pilihan yang tepat sebagai Elizabeth Gilbert. Saya tidak bisa membayangkan aktris lain yang bisa melakukan adegan melahap Spaghetti secemerlang seperti Julia Roberts. Tapi sayangnya, Eat Pray Love tidak disampaikan dengan baik oleh Ryan Murphy. Saya bisa melihat sentuhan Glee di Eat Pray Love, juga di Running With Scissors (film debutan Ryan Murphy). Sayangnya, apa yang dipraktikkan Ryan Murphy di Glee tidak berhasil di dua film besutannya tersebut. Alasannya karena film-film semacam ini membutuhkan momen-momen yang tepat, bukan adegan-adegan verbal/direct seperti yang disajikan di film ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar