Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: John Duigan
Pemain: Noah Taylor, Thandie Newton, Nicole Kidman, Naomi Watts, Bartholomew Rose, Felix Nobis, Josh Picker, Kiri Paramore, Marc Aden, Gregg Palmer, Joshua Marshall, David Wieland, Craig Black, Les Hill, Jeff Truman, Marshall Napier, Kym Wilson, Lisa Spinadel
Tahun Rilis: 1991
Flirting mungkin salah satu film bertema remaja dan sekolahan yang terbilang berani sekaligus cerdas dalam membahas sexual awakening remaja. Senang rasanya melihat sebuah film tentang sekolahan yang tidak tanggung-tanggung dan tidak setengah-setengah dalam membahas isunya. Lagipula, sekalipun film ini merupakan film tentang remaja yang berlatar sekolahan, saya rasa film ini bukan ditujukan untuk penonton remaja, mengingat permasalahan yang dibahas, penggunaan istilah-istilah kasar, dan penampakan penis, dan juga terlihatnya payudara Thandie Newton (yang saat itu masih berusia 19 tahun) walaupun cuma sekilas.
Film ini merupakan sequel dari The Year My Voice Broke, film Australia tahun 1987. Konon, John Duigan merencanakan keduanya menjadi sebuah trilogi yang disebut trilogy of autobigraphical. Sayangnya film ketiga sampai sekarang belum muncul juga. Trilogi ini merupakan kisah seorang remaja, Danny Embling (diperankan oleh Noah Taylor di kedua film), dalam menghadapi pendewasaan (coming of age). Baik film kedua mau pun film pertama berhasil dinobatkan sebagai Film Terbaik AFI (Australian Film Institue) di tahunnya masing-masing. The Year My Voice Broke kurang lebih bercerita tentang Danny yang menawarkan menikahi sahabatnya, seorang gadis cantik seorang gadis cantik yang sebenarnya sudah lama di cintai, tetapi gadis itu lebih mencintai pria lain dan sudah dihamili oleh pria tersebut. Film pertama diakhiri dengan perpisahan antara Danny dan gadis yang dia cintainya itu.
Di Flirting, film kedua, Danny sudah menjadi siswa di sebuah sekolah asrama khusus laki-laki. Film kedua ber-setting tahun 1965, lima tahun sesudah film kisah di film pertama. Danny, adalah tipikal remaja unik, nyentrik, dan berbeda dengan remaja umumnya (kalau tidak mau dibilang nyeleneh). Kegagapannya membuat Danny mendapat julukan “bird” dari teman-teman seangkatannya. Di sebuah debat pelajar, Danny bahkan menggunakan filsafat fenomenologi dan eksistensialisme untuk mengolok-olok rugby.
Sekolah Danny bersebrangan dengan sebuah sekolah asrama khusus perempuan, keduanya hanya dipisahkan oleh sebuah danau (oh, what a great set). Dua sekolah ini, tentunya, seringkali melakukan kegiatan bersama, mulai dari dansa, debat, hingga pentas drama. Di sebuah debat, Danny terkesima dengan pendapat Thandiwe (Thandie Newton), seorang siswi kulit hitam (yang kemungkinan satu-satunya siswi kulit hitam) dari Uganda, yang kurang lebih membandingkan sisi sensualisme dari seni (tepatnya sajak dan puisi). Ironisnya, pendapat seronok, berani, sekaligus sarkastik ini ditentang habis-habisan oleh pihak sekolah. Dan, bisa dibilang senasib dengan Danny, atas kelantangannya seksualnya (baik dari sikap, bicara, maupun prilaku), yang notabene masih tabu di masa itu, Thandiwe juga mengalami pengasingan yang sama dari teman-teman sekelasnya.
Sebenarnya, baik Danny maupun Thandiwe, tidak benar-benar tidak punya teman. Danny punya satu sahabat, Gilby (Bartholomew Rose), sedangkan Thandiwe berteman dengan, Melissa (Kym Wilson) dan Janet (Naomi Watts di awal-awal karirnya).
Flirting bisa dilihat dari dua sudut pandang: dari sisi sexual awakening remaja (coming-of-age) ataupun dari segi sosial (nilai dan politik sosial). Dan Flirting terbilang berhasil menyajikan kedua sisi tersebut.
Dari segi keremajaan (coming-of-age) film ini bisa dilihat dari sisi sejauh mana perkembangan hubungan asmara antara Danny dan Thandiwe. Kalau di film pertama Danny dihadapkan pada tanggung jawab yang jauh lebih besar ketimbang usianya, di film kedua ini Danny dihadapkan pada prilaku yang jauh lebih besar ketimbang usianya. Baik Danny maupun Thandiwe, keduanya menemukan kecocokan satu sama lain: penolakan sosial (atau nilai sosial). Keduanya sama-sama membuka, bahkan memperlebar, pandangan masing-masing. Dari Danny, Thandiwe belajar tentang aspirasi, tanggung jawab, dan pengorbanan. Seedangkan dari Thandiwe, Danny belajar tentang bagaimana mengagumi seorang wanita tanpa perlu merendahkan harga diri (apalagi mengingat bahwa Thandiwe adalah sosok yang lebih bijak dan lebih dewasa ketimbang Danny). Scene demi scene dalam Flirting dibuat tidak lain untuk mendewasakan kedua tokoh tersebut, yang pada puncaknya diakhiri dengan sebuah adegan seks di sebuah motel. Dan yang paling menyenangkan adalah melihat bagaimana Danny dan Thandiwe, dua remaja di usia yang masih sangat muda, berusaha menyeimbangkan nafsu dan sikap menghormati satu sama lain dalam hubungan mereka.
Dari segi sosial, sosok Thandiwe bisa dilihat sebagai oposisi dari nilai-nilai sosial yang berlaku di masa itu. Seperti yang sudah diketahui, di masa itu masalah seksualitas masih merupakan hal yang tabu. Jangankan melakukannya, sekedar berciuman bibir saja merupakan hal yang tabu. Termasuk juga membicarakannya. Siswa-siswa tidak membicarakan sensualitas secara lantang seperti sekarang ini. “Don't go beyond six, you haven't know him that long,” ucap Janet. “I'd say eight. If you're going to risk a midnight rendezvous might as well make it worthwhile,” lalu Melissa menjelaskan bahwa “eight” adalah: “Top off, hands below. Blissful.” Hal ini menandakan bahwa dalam keremajaan sensualitas tidak benar ditolak, hanya saja mereka membicarakannya dengan teratur (atau sopan, atau tidak dengan lantang), yang artinya mereka juga sadar akan nilai-nilai. Termasuk juga ketika ketika teman-teman Danny menyebut “vagina” dengan sebutan “Lubar Lips.” Hal ini juga dipertegas oleh tokoh Nicola Radclife (Nicole Kidman), gadis paling populer, paling cantik, dan paling diidolakan di sekolah tersebut, yang juga dianggpa paling cerdas dan paling bertata-krama. Namun, di suatu malam, dibalik kesopan-santunannya, Nicola mengakui imajinasi liar (atau keinginan seksualnya) pada Thandiwe. Bisa juga diambil kesimpulan Nicola diam-diam iri akan keterus-terangan seksual Thandiwe.
Selain itu ada juga masalah rasis yang diselipkan di Flirting. Ejekan “banana” dan sebutan “abo” (singkatan dari Aborigin) yang dilemparkan pada Thandiwe merupakan bentuk rasisme, mengingat di masa itu kesetaraan ras tidak sekental sekarang. Dan hubungan interrasial antara Danny dan Thandiwe merupakan politik ras.
Dari sudut manapun Flirting dilihat, film ini jelas termasuk film yang menyenangkan, bijak, dan, yang paling penting, hidup.
Pemain: Noah Taylor, Thandie Newton, Nicole Kidman, Naomi Watts, Bartholomew Rose, Felix Nobis, Josh Picker, Kiri Paramore, Marc Aden, Gregg Palmer, Joshua Marshall, David Wieland, Craig Black, Les Hill, Jeff Truman, Marshall Napier, Kym Wilson, Lisa Spinadel
Tahun Rilis: 1991
Flirting mungkin salah satu film bertema remaja dan sekolahan yang terbilang berani sekaligus cerdas dalam membahas sexual awakening remaja. Senang rasanya melihat sebuah film tentang sekolahan yang tidak tanggung-tanggung dan tidak setengah-setengah dalam membahas isunya. Lagipula, sekalipun film ini merupakan film tentang remaja yang berlatar sekolahan, saya rasa film ini bukan ditujukan untuk penonton remaja, mengingat permasalahan yang dibahas, penggunaan istilah-istilah kasar, dan penampakan penis, dan juga terlihatnya payudara Thandie Newton (yang saat itu masih berusia 19 tahun) walaupun cuma sekilas.
Film ini merupakan sequel dari The Year My Voice Broke, film Australia tahun 1987. Konon, John Duigan merencanakan keduanya menjadi sebuah trilogi yang disebut trilogy of autobigraphical. Sayangnya film ketiga sampai sekarang belum muncul juga. Trilogi ini merupakan kisah seorang remaja, Danny Embling (diperankan oleh Noah Taylor di kedua film), dalam menghadapi pendewasaan (coming of age). Baik film kedua mau pun film pertama berhasil dinobatkan sebagai Film Terbaik AFI (Australian Film Institue) di tahunnya masing-masing. The Year My Voice Broke kurang lebih bercerita tentang Danny yang menawarkan menikahi sahabatnya, seorang gadis cantik seorang gadis cantik yang sebenarnya sudah lama di cintai, tetapi gadis itu lebih mencintai pria lain dan sudah dihamili oleh pria tersebut. Film pertama diakhiri dengan perpisahan antara Danny dan gadis yang dia cintainya itu.
Di Flirting, film kedua, Danny sudah menjadi siswa di sebuah sekolah asrama khusus laki-laki. Film kedua ber-setting tahun 1965, lima tahun sesudah film kisah di film pertama. Danny, adalah tipikal remaja unik, nyentrik, dan berbeda dengan remaja umumnya (kalau tidak mau dibilang nyeleneh). Kegagapannya membuat Danny mendapat julukan “bird” dari teman-teman seangkatannya. Di sebuah debat pelajar, Danny bahkan menggunakan filsafat fenomenologi dan eksistensialisme untuk mengolok-olok rugby.
Sekolah Danny bersebrangan dengan sebuah sekolah asrama khusus perempuan, keduanya hanya dipisahkan oleh sebuah danau (oh, what a great set). Dua sekolah ini, tentunya, seringkali melakukan kegiatan bersama, mulai dari dansa, debat, hingga pentas drama. Di sebuah debat, Danny terkesima dengan pendapat Thandiwe (Thandie Newton), seorang siswi kulit hitam (yang kemungkinan satu-satunya siswi kulit hitam) dari Uganda, yang kurang lebih membandingkan sisi sensualisme dari seni (tepatnya sajak dan puisi). Ironisnya, pendapat seronok, berani, sekaligus sarkastik ini ditentang habis-habisan oleh pihak sekolah. Dan, bisa dibilang senasib dengan Danny, atas kelantangannya seksualnya (baik dari sikap, bicara, maupun prilaku), yang notabene masih tabu di masa itu, Thandiwe juga mengalami pengasingan yang sama dari teman-teman sekelasnya.
Sebenarnya, baik Danny maupun Thandiwe, tidak benar-benar tidak punya teman. Danny punya satu sahabat, Gilby (Bartholomew Rose), sedangkan Thandiwe berteman dengan, Melissa (Kym Wilson) dan Janet (Naomi Watts di awal-awal karirnya).
Flirting bisa dilihat dari dua sudut pandang: dari sisi sexual awakening remaja (coming-of-age) ataupun dari segi sosial (nilai dan politik sosial). Dan Flirting terbilang berhasil menyajikan kedua sisi tersebut.
Dari segi keremajaan (coming-of-age) film ini bisa dilihat dari sisi sejauh mana perkembangan hubungan asmara antara Danny dan Thandiwe. Kalau di film pertama Danny dihadapkan pada tanggung jawab yang jauh lebih besar ketimbang usianya, di film kedua ini Danny dihadapkan pada prilaku yang jauh lebih besar ketimbang usianya. Baik Danny maupun Thandiwe, keduanya menemukan kecocokan satu sama lain: penolakan sosial (atau nilai sosial). Keduanya sama-sama membuka, bahkan memperlebar, pandangan masing-masing. Dari Danny, Thandiwe belajar tentang aspirasi, tanggung jawab, dan pengorbanan. Seedangkan dari Thandiwe, Danny belajar tentang bagaimana mengagumi seorang wanita tanpa perlu merendahkan harga diri (apalagi mengingat bahwa Thandiwe adalah sosok yang lebih bijak dan lebih dewasa ketimbang Danny). Scene demi scene dalam Flirting dibuat tidak lain untuk mendewasakan kedua tokoh tersebut, yang pada puncaknya diakhiri dengan sebuah adegan seks di sebuah motel. Dan yang paling menyenangkan adalah melihat bagaimana Danny dan Thandiwe, dua remaja di usia yang masih sangat muda, berusaha menyeimbangkan nafsu dan sikap menghormati satu sama lain dalam hubungan mereka.
Dari segi sosial, sosok Thandiwe bisa dilihat sebagai oposisi dari nilai-nilai sosial yang berlaku di masa itu. Seperti yang sudah diketahui, di masa itu masalah seksualitas masih merupakan hal yang tabu. Jangankan melakukannya, sekedar berciuman bibir saja merupakan hal yang tabu. Termasuk juga membicarakannya. Siswa-siswa tidak membicarakan sensualitas secara lantang seperti sekarang ini. “Don't go beyond six, you haven't know him that long,” ucap Janet. “I'd say eight. If you're going to risk a midnight rendezvous might as well make it worthwhile,” lalu Melissa menjelaskan bahwa “eight” adalah: “Top off, hands below. Blissful.” Hal ini menandakan bahwa dalam keremajaan sensualitas tidak benar ditolak, hanya saja mereka membicarakannya dengan teratur (atau sopan, atau tidak dengan lantang), yang artinya mereka juga sadar akan nilai-nilai. Termasuk juga ketika ketika teman-teman Danny menyebut “vagina” dengan sebutan “Lubar Lips.” Hal ini juga dipertegas oleh tokoh Nicola Radclife (Nicole Kidman), gadis paling populer, paling cantik, dan paling diidolakan di sekolah tersebut, yang juga dianggpa paling cerdas dan paling bertata-krama. Namun, di suatu malam, dibalik kesopan-santunannya, Nicola mengakui imajinasi liar (atau keinginan seksualnya) pada Thandiwe. Bisa juga diambil kesimpulan Nicola diam-diam iri akan keterus-terangan seksual Thandiwe.
Selain itu ada juga masalah rasis yang diselipkan di Flirting. Ejekan “banana” dan sebutan “abo” (singkatan dari Aborigin) yang dilemparkan pada Thandiwe merupakan bentuk rasisme, mengingat di masa itu kesetaraan ras tidak sekental sekarang. Dan hubungan interrasial antara Danny dan Thandiwe merupakan politik ras.
Dari sudut manapun Flirting dilihat, film ini jelas termasuk film yang menyenangkan, bijak, dan, yang paling penting, hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar