Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Yılmaz Arslan
Pemain: Xevat Gectan, Erdal Celik, Nurretin Celik, Bulent Buyukasik, Xhiljona Ndoja, Taies Farzan, Oral Uyan
Tahun Rilis: 2005
Judul Internasional: Fratricide
Drama kriminal asal Turki ini benar-benar mengingatkan saya pada Ajami, film keluaran tahun 2009 asal Israel. Cerita yang ditampilkan di kedua film itu jelas beda. Konflik dan kasus yang ada di kedua film itu pun tidak sama. Hanya saja arah cerita, suasana, dan muatan yang ada di kedua film tersebut benar-benar serupa (setidaknya bagi saya). Kedua-duanya sama-sama bercerita tentang kasus kriminal yang bisa dibilang same same but different. Sama-sama membawa isu kultur, ras, dan sosial. Dan sama-sama menggunakan pendekatan realisme pada pengemasaannya.
Cerita film ini menyoroti perselisihan antara kubu Turki (suku penghuni Turki) dan kubu Kurdi (suku yang bisa dibilang semi-nomaden). Perselisihan Turki-Kurdi ini mungkin memang tidak seterkenal konflik di Tel Aviv di dalam cerita Ajamai, tapi dua kubu tersebut memang sudah berselisih sejak bertahun-tahun silam. Di film ini, konflik Turki-Kurdi tersebut tidak terjadi di Turki, melainkan di German. Mungkin besok-besok bakal muncul film yang membawa perselisihan Indonesia-Malaysia dengan setting Cina, misalnya, dan bagaimana pihak Cina menanggapi wilahaynya dijadikan latar perselisihan di dalam sebuah film.
Film ini dibuka dengan prolog kepergian Azad (Erdal Celik), seorang remaja Kurdi, dari desanya di Turki. Azad hendak pergi ke German atas panggilan kakaknya (Nurettin Celik) untuk merantau mencari masa depan. Azad tinggal di asrama pemerintah khusus untuk pengungsi/perantau muda. Di asrama tersebut, Azad berteman dengan seorang bocah yatim piatu, Ibo (Xewat Gectan). Keduanya mencari berkah tambahan berdua sebagai tukang cukur.
Pemain: Xevat Gectan, Erdal Celik, Nurretin Celik, Bulent Buyukasik, Xhiljona Ndoja, Taies Farzan, Oral Uyan
Tahun Rilis: 2005
Judul Internasional: Fratricide
Drama kriminal asal Turki ini benar-benar mengingatkan saya pada Ajami, film keluaran tahun 2009 asal Israel. Cerita yang ditampilkan di kedua film itu jelas beda. Konflik dan kasus yang ada di kedua film itu pun tidak sama. Hanya saja arah cerita, suasana, dan muatan yang ada di kedua film tersebut benar-benar serupa (setidaknya bagi saya). Kedua-duanya sama-sama bercerita tentang kasus kriminal yang bisa dibilang same same but different. Sama-sama membawa isu kultur, ras, dan sosial. Dan sama-sama menggunakan pendekatan realisme pada pengemasaannya.
Cerita film ini menyoroti perselisihan antara kubu Turki (suku penghuni Turki) dan kubu Kurdi (suku yang bisa dibilang semi-nomaden). Perselisihan Turki-Kurdi ini mungkin memang tidak seterkenal konflik di Tel Aviv di dalam cerita Ajamai, tapi dua kubu tersebut memang sudah berselisih sejak bertahun-tahun silam. Di film ini, konflik Turki-Kurdi tersebut tidak terjadi di Turki, melainkan di German. Mungkin besok-besok bakal muncul film yang membawa perselisihan Indonesia-Malaysia dengan setting Cina, misalnya, dan bagaimana pihak Cina menanggapi wilahaynya dijadikan latar perselisihan di dalam sebuah film.
Film ini dibuka dengan prolog kepergian Azad (Erdal Celik), seorang remaja Kurdi, dari desanya di Turki. Azad hendak pergi ke German atas panggilan kakaknya (Nurettin Celik) untuk merantau mencari masa depan. Azad tinggal di asrama pemerintah khusus untuk pengungsi/perantau muda. Di asrama tersebut, Azad berteman dengan seorang bocah yatim piatu, Ibo (Xewat Gectan). Keduanya mencari berkah tambahan berdua sebagai tukang cukur.
Tapi menjadi perantau memang bukan urusan gampang. Seperti di Ajami, kasus-kasus atau kejadian-kejadian buruk yang menimpa Azad dan Ibo didatangkan dengan tiba-tiba. Mulai dari perselisihan mereka dengan dua saudara Turki, preman yang gayanya mirip skinhead (atau semacam itu – saya tidak terlau mengerti), dan anjingnya (Oral Uyan dan Bulent Buyukasik). Pertemuan pertama tersebut membuahkan permusuhan. Dan pada pertemuan kedua, terjadi pertumpahan darah ketika kakak Azad menikam salah satu dari prema Turki tersebut. Dendam pun semakin berlapis-lapis seiring dengan semakin rumitnya situasi.
Sekalipun tidak membawa format multiple pointview serumit Ajami, hanya ditampilkan dengan format naratif biasa, film ini cukup berhasil menghadirkan dinamika kriminalitas urban dengan cara menyeimbangkan narasi, yang lebih mirip sajak, dengan dimensi kejamnya. Pendekatan realisme-ala-dokumenter yang diterapkan, dan juga bisa ditemukan di Ajami, juga menambah intensitas ketegangan suasana. Lagi-lagi, sama seperti Ajami juga, film ini menggunakan aktor-aktor non-profesional sebagai dua pemeran utamanya, dan kedua-duanya berhasil memberikan penampilan yang sangat menyedot perhatian.
Dari segi muatan, film ini membahas isunya ke arah hitam dan putih, ketimbang berabu-abu. Dan yang saya maksudkan bukan dua remaja Kurdi dan dua preman Turki yang saling berselisih, melainkan nasib mereka secara keseluruhan. Ada adegan, yang merupakan bagian paling ironis dan paling miris di film ini, ketika mayat seorang Kurdi yang dibunuh (seorang Turki) malah diarak-arak oleh komunitas Kurdi yang justru menganggap mereka pahlawan (martir). Kembali ke belakang, lebih ironis lagi ketika semua permasalahaan yang dihadapi Azad malah hendak dimanfaatkan oleh pemimpin komunitas Kurdi (di kota itu) untuk kepentingan propaganda. Ya, sulit untukt tidak bersimpati pada Azad. Tapi Yılmaz Arslan justru membuat saya lebih sulit lagi untuk tidak merasa bahwa kedua kubu tidak lain hanya melakukan perbuatan bodoh sia-sia. Bahkan judulnya pun sudah memberi peringatan, Fratricide yang artinya “pembunuhan saudara,” bahwa film ini sama sekali tidak menampilkan gambaran bahagia.
Sekalipun tidak membawa format multiple pointview serumit Ajami, hanya ditampilkan dengan format naratif biasa, film ini cukup berhasil menghadirkan dinamika kriminalitas urban dengan cara menyeimbangkan narasi, yang lebih mirip sajak, dengan dimensi kejamnya. Pendekatan realisme-ala-dokumenter yang diterapkan, dan juga bisa ditemukan di Ajami, juga menambah intensitas ketegangan suasana. Lagi-lagi, sama seperti Ajami juga, film ini menggunakan aktor-aktor non-profesional sebagai dua pemeran utamanya, dan kedua-duanya berhasil memberikan penampilan yang sangat menyedot perhatian.
Dari segi muatan, film ini membahas isunya ke arah hitam dan putih, ketimbang berabu-abu. Dan yang saya maksudkan bukan dua remaja Kurdi dan dua preman Turki yang saling berselisih, melainkan nasib mereka secara keseluruhan. Ada adegan, yang merupakan bagian paling ironis dan paling miris di film ini, ketika mayat seorang Kurdi yang dibunuh (seorang Turki) malah diarak-arak oleh komunitas Kurdi yang justru menganggap mereka pahlawan (martir). Kembali ke belakang, lebih ironis lagi ketika semua permasalahaan yang dihadapi Azad malah hendak dimanfaatkan oleh pemimpin komunitas Kurdi (di kota itu) untuk kepentingan propaganda. Ya, sulit untukt tidak bersimpati pada Azad. Tapi Yılmaz Arslan justru membuat saya lebih sulit lagi untuk tidak merasa bahwa kedua kubu tidak lain hanya melakukan perbuatan bodoh sia-sia. Bahkan judulnya pun sudah memberi peringatan, Fratricide yang artinya “pembunuhan saudara,” bahwa film ini sama sekali tidak menampilkan gambaran bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar