Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Marjane Satrapi & Vincent Paronnaud
Tahun Rilis: 2007
Diadaptasi dari novel grafis Persepolis karya Marjane Satrapi.
Dewasa ini, ketika animasi-animasi Amerika berkutat seputar CGI-CGI imut nan lucu (biasanya binatang yang ditampilkan semenggemaskan mungkin) yang melakukan hal-hal yang tidak kalah lucunya, animator di luar Amerika malah berusaha menampilkan film-film animasi di luar batas konvensional tersebut. Persepolis ini misalnya, yang bisa juga dibilang autobiografi Marjane Satrapi sendiri, termasuk salah satu animasi yang berani, baik secara artistik maupun secara kontekstual.
Persepolis bisa saja disebut propaganda, bisa juga tidak, tergantung bagaimana cara memandangnya. Malahan, Marjane Satrapi mempersembahkan debut layar lebarnya ini pada penduduk Iran. Dari segi cerita, Persepolis jelas berkali-kali lebih besar dan epik daripada animasi-animasi Pixar sekalipun. Bayangkan film-film kronik zaman perang dengan timeline epik, sebut saja Blackbook dan setipenya, yang disajikan dalam wujud animasi gambar. Jadilah Persepolis.
Ketika animator-animator Hollywood sibuk menghibur penonton, Marjane Satrapi malah menceritakan kisah hidupnya. Secara singkat, film ini mengkronologikan (melalui flashback) kehidupan Marjane Satrapi selama periode revolusi Islam (mulai dari kecil hingga dewasa). Bermacam-macam kejadian terjadi sepanjang itu, mulai diktatorisme diktatorisme, tumbahnya pemerintahan Shah, Perang Iran-Irak, Islamic Fundamentalist, pemberontakan, radikalisme, Grand Ayatollah Sayyed Ruhollah Mostafawi Mousawi Khomeini, kematian pamannya, jilbab, Nikes, celana denim, pasar gelap, punk rock, Michael Jackson, Bruce Lee, rokok, wine, Austria, asrama Katolik, filsafat, homseksual, perselingkuhan, bronkitis, perceraian, bunga melati di dalam bra, bahkan Karl Marx dan Tuhan (Allah). Saking epik-nya cerita tersebut, film ini seakan-akan punya tumpukan kejadian yang ingin disampaikan. Untungnya Marjane Satrapi menceritakan kisahnya dengan hati-hati, dengan cara yang menyenangkan, dan dengan gaya yang menarik, hingga hasilnya tumpukan kejadian tersebut mampu disatukan menjadi satu kisah besar utuh (apalagi untuk ukuran sebuah animasi pada umumnya). Jelas kisah hidup Marjane ini bukan sesuatu yang lucu, memang ada humor, ada kekocakan (dan berhasil membuat saya tertawa), tapi bukan ala Hollywood-isme.
Dari segi artistik, yang paling mencolok dari Persepolis adalah tampilannya yang nyaris hitam-putih (kecuali untuk segmen masa kini). Ini agak mengingatkan dengan animasi-animasi hitam-putih klasik dari Disney, sebut saja judul-judul hitam-putih seri Silly Symphonies. Gaya yang digunakan mungkin bakal dianggap terlalu sederhana, bahkan terlalu tua, bagi beberapa orang. Bahkan mungkin dianggap terlalu sederhana untuk mengangkat muatan cerita seberat itu. Anehnya, justru gaya ini juga yang membuat saya makin merasakan atmosfir autobiografinya.
Untuk ukuran sebuah film animasi, pesona Persepolis justru ada pada materi yang dibawanya, bukan gayanya (layaknya animasi-animasi Rusia, misalnya). Penyajian karakterisitk Marjane dan keluarganya merupakan salah satu yang mendukung hal tersebut. Marjane adalah bintang utama keseluruhan film ini. Dan menyaksikan sepak-terjang Marjane merupakan kesenangan utamanya. Penokohan Marjane sendiri terbilang unik. Marjane tipikal remaja pemberontak, tapi di sisi bersamaan tetap mampi menghadirkan rasa perhatian terhadap keluarga pada penonton. Penokohan Marjane yang cenderung komik, ringan, dan ramah penonton tersebut menimbulkan juktaposisi dengan suasana suram-kelam yang ditampilkan dari awal sampai akhir. Untungnya Marjane Satrapi cukup berhasil menyeimbangkan keduanya (setidaknya bagi saya).
Ketimbang dianggap sebagai sebuah film propaganda politik, Persepolis lebih cocok disebut sebagai sebuah coming-of-age. Segmen ketika Marjane pindah dari Iran menuju Vienna menegaskan materi coming-of-age-nya tersebut. Memang pindahnya setting dari hiruk-pukuk revoulsi Iran menuju dunia remaja Marjane di Vienna jelas menghilangkan sejenak bagian sensasional dan kontroversial dari film. Tapi sejak awal film ini memang bukan tentang revolusinya, ataupun tentang politiknya, melainkan tentang tumbuhnya seorang Marjane di tengah kekacauan politik di Iran. Di masa kecilnya, Marjane sudah mengalami berbagai maca rintangan politik, revolusi, hingga pemberontakan, lantas di Vienna Marjane dihadapkan pada tahap coming-of-age yang lebih tinggi lagi: tantangan pendewasaan.
Tahun Rilis: 2007
Diadaptasi dari novel grafis Persepolis karya Marjane Satrapi.
Dewasa ini, ketika animasi-animasi Amerika berkutat seputar CGI-CGI imut nan lucu (biasanya binatang yang ditampilkan semenggemaskan mungkin) yang melakukan hal-hal yang tidak kalah lucunya, animator di luar Amerika malah berusaha menampilkan film-film animasi di luar batas konvensional tersebut. Persepolis ini misalnya, yang bisa juga dibilang autobiografi Marjane Satrapi sendiri, termasuk salah satu animasi yang berani, baik secara artistik maupun secara kontekstual.
Persepolis bisa saja disebut propaganda, bisa juga tidak, tergantung bagaimana cara memandangnya. Malahan, Marjane Satrapi mempersembahkan debut layar lebarnya ini pada penduduk Iran. Dari segi cerita, Persepolis jelas berkali-kali lebih besar dan epik daripada animasi-animasi Pixar sekalipun. Bayangkan film-film kronik zaman perang dengan timeline epik, sebut saja Blackbook dan setipenya, yang disajikan dalam wujud animasi gambar. Jadilah Persepolis.
Ketika animator-animator Hollywood sibuk menghibur penonton, Marjane Satrapi malah menceritakan kisah hidupnya. Secara singkat, film ini mengkronologikan (melalui flashback) kehidupan Marjane Satrapi selama periode revolusi Islam (mulai dari kecil hingga dewasa). Bermacam-macam kejadian terjadi sepanjang itu, mulai diktatorisme diktatorisme, tumbahnya pemerintahan Shah, Perang Iran-Irak, Islamic Fundamentalist, pemberontakan, radikalisme, Grand Ayatollah Sayyed Ruhollah Mostafawi Mousawi Khomeini, kematian pamannya, jilbab, Nikes, celana denim, pasar gelap, punk rock, Michael Jackson, Bruce Lee, rokok, wine, Austria, asrama Katolik, filsafat, homseksual, perselingkuhan, bronkitis, perceraian, bunga melati di dalam bra, bahkan Karl Marx dan Tuhan (Allah). Saking epik-nya cerita tersebut, film ini seakan-akan punya tumpukan kejadian yang ingin disampaikan. Untungnya Marjane Satrapi menceritakan kisahnya dengan hati-hati, dengan cara yang menyenangkan, dan dengan gaya yang menarik, hingga hasilnya tumpukan kejadian tersebut mampu disatukan menjadi satu kisah besar utuh (apalagi untuk ukuran sebuah animasi pada umumnya). Jelas kisah hidup Marjane ini bukan sesuatu yang lucu, memang ada humor, ada kekocakan (dan berhasil membuat saya tertawa), tapi bukan ala Hollywood-isme.
Dari segi artistik, yang paling mencolok dari Persepolis adalah tampilannya yang nyaris hitam-putih (kecuali untuk segmen masa kini). Ini agak mengingatkan dengan animasi-animasi hitam-putih klasik dari Disney, sebut saja judul-judul hitam-putih seri Silly Symphonies. Gaya yang digunakan mungkin bakal dianggap terlalu sederhana, bahkan terlalu tua, bagi beberapa orang. Bahkan mungkin dianggap terlalu sederhana untuk mengangkat muatan cerita seberat itu. Anehnya, justru gaya ini juga yang membuat saya makin merasakan atmosfir autobiografinya.
Untuk ukuran sebuah film animasi, pesona Persepolis justru ada pada materi yang dibawanya, bukan gayanya (layaknya animasi-animasi Rusia, misalnya). Penyajian karakterisitk Marjane dan keluarganya merupakan salah satu yang mendukung hal tersebut. Marjane adalah bintang utama keseluruhan film ini. Dan menyaksikan sepak-terjang Marjane merupakan kesenangan utamanya. Penokohan Marjane sendiri terbilang unik. Marjane tipikal remaja pemberontak, tapi di sisi bersamaan tetap mampi menghadirkan rasa perhatian terhadap keluarga pada penonton. Penokohan Marjane yang cenderung komik, ringan, dan ramah penonton tersebut menimbulkan juktaposisi dengan suasana suram-kelam yang ditampilkan dari awal sampai akhir. Untungnya Marjane Satrapi cukup berhasil menyeimbangkan keduanya (setidaknya bagi saya).
Ketimbang dianggap sebagai sebuah film propaganda politik, Persepolis lebih cocok disebut sebagai sebuah coming-of-age. Segmen ketika Marjane pindah dari Iran menuju Vienna menegaskan materi coming-of-age-nya tersebut. Memang pindahnya setting dari hiruk-pukuk revoulsi Iran menuju dunia remaja Marjane di Vienna jelas menghilangkan sejenak bagian sensasional dan kontroversial dari film. Tapi sejak awal film ini memang bukan tentang revolusinya, ataupun tentang politiknya, melainkan tentang tumbuhnya seorang Marjane di tengah kekacauan politik di Iran. Di masa kecilnya, Marjane sudah mengalami berbagai maca rintangan politik, revolusi, hingga pemberontakan, lantas di Vienna Marjane dihadapkan pada tahap coming-of-age yang lebih tinggi lagi: tantangan pendewasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar