Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Daniel Mann
Pemain: Elizabeth Taylor, Laurence Harvey, Eddie Fisher, Dina Merrill, Mildred Dunnock, Betty Field, Jeffrey Lynn, Kay Medford, Susan Oliver, George Voskovec
Tahun Rilis: 1960
Diadaptasi dari novel BUtterfield 8 karya John O'Hara .
Melalui penampilannya sebagai seorang wanita jalang yang tidak mau disebut jalang di BUtterfield 8, Elizabeth Taylor memenangkan Piala Oscar pertamanya (piala keduanya untuk film Who's Afraid of Virginia Woolf?). Dialog, “I was the slut all the time!,” yang dilafalkan Elizabeth Taylor adalah line yang paling memorabel di film ini. Bukan karena kata-katanya, tapi lebih pada bagaimana Elizabeth Taylor menyampaikan maknanya.
Sutradara film ini, yang juga menghasilkan The Teahouse of the August Moon dan The Rose Tattoo, berhasil membuat film ini terasa sangat intens dan seksi. Sayangnya hal tersebut tidak didukung dengan kedalaman cerita yang mumpuni.
Film ini bercerita tentang nasib tragis seorang wanita cantik, Gloria (Elizabeth Taylor). Film dibuka ketika Gloria terbangun di sebuah kamar mewah di pagi hari dalam keadaan telanjang (well, tertutup selimut). Gloria menemukan sepucuk surat yang di dalamnya berisi $250. Gloria langsung naik pitam. Ditulisnya “No Sale” di cermin kamar dengan lipsticknya. Gloria adalah seorang wanita panggilan yang berkerja untuk BUtterfield 8, semacam jasa telepon panggilan. Gloria juga model pakaian, sesekali. Simpelnya, Gloria adalah wanita “jalang” yang sedang berusaha mendapatkan kehormatan dan penghargaan. Tidak perlu saya jabarkan sinopsis film ini, inti dari BUtterfield 8 adalah kisah tragis Gloria dalam usahanya tersebut.
Hidup Gloria memang tidak pernah sederhana. Wanita ini mempunya pengalaman masa kecil yang traumatis. Dan sekarang, selain dihadapkan pada fakta bahwa dia adalah seorang “jalang,” dia juga harus dihadapkan pada penolakan sang ibu tentang fakta tersebut dan tentang ketidakbertanggungjawaban moralnya. Gloria terhanyut pada sebuah perselingkuhan dengan seorang pria kaya raya, Weston Ligget (Laurence Harvey), yang kekayaannya tersebut sebenarnya milik istrinya. Dan Gloria berharap bisa mendapatkan kembali kehormatannya melalui hubungannya dengan Ligget, yang menurutnya didasari atas cinta (walaupun dimuali melalui gairah). Tapi jalan yang ditempuh Gloria tidak pernah sederhana.
BUtterfield 8 adalah contoh melodrama Hollywood yang setengah-setengah dalam mengeksekusi subyeknya. Bahkan sebenarnya film ini tidak lebih dari FTV-FTV yang hanya menampilkan keseksian kulit luar semata. Satu-satunya yang membuat film ini patut dihargai adalah penampilan Elizabeth Taylor. Elizabeth Taylor memerankan tokoh yang menantang dengan sangat meyakinkan. Sekalipun, kalau dibandingkan dengan keseluruhan pencapaiannya, penampilannya di film ini bukan yang terbaik. Penampilan Laurence Harvey dan Eddie Fisher juga sangat membantu mempertahankan mata saya ketika menonton. Saya sendiri cukup menikmati film ini sebatas guilty pleasure.
Ironisnya, Elizabeth Taylor sendiri sangat membenci BUtterfield 8. Konon, di screening perdana, Elizabeth Taylor melempar high heels yang dipakainya ke layar, lalu kabur ke kamar mandi. Film ini juga lah yang menimbulkan skandal antara Elizabeth Taylor dan Eddie Fisher (yang saat itu masih beristri). Akibatnya, publik melabeli Elizabeth Tarlor dengan cap yang sama dengan tokohnya, Gloria. Yah, selain terkenal akan kredibilitasnya di dunia akting, Elizabet Taylor juga terkenal dengan skandal-skandalnya, kan?
Pemain: Elizabeth Taylor, Laurence Harvey, Eddie Fisher, Dina Merrill, Mildred Dunnock, Betty Field, Jeffrey Lynn, Kay Medford, Susan Oliver, George Voskovec
Tahun Rilis: 1960
Diadaptasi dari novel BUtterfield 8 karya John O'Hara .
Melalui penampilannya sebagai seorang wanita jalang yang tidak mau disebut jalang di BUtterfield 8, Elizabeth Taylor memenangkan Piala Oscar pertamanya (piala keduanya untuk film Who's Afraid of Virginia Woolf?). Dialog, “I was the slut all the time!,” yang dilafalkan Elizabeth Taylor adalah line yang paling memorabel di film ini. Bukan karena kata-katanya, tapi lebih pada bagaimana Elizabeth Taylor menyampaikan maknanya.
Sutradara film ini, yang juga menghasilkan The Teahouse of the August Moon dan The Rose Tattoo, berhasil membuat film ini terasa sangat intens dan seksi. Sayangnya hal tersebut tidak didukung dengan kedalaman cerita yang mumpuni.
Film ini bercerita tentang nasib tragis seorang wanita cantik, Gloria (Elizabeth Taylor). Film dibuka ketika Gloria terbangun di sebuah kamar mewah di pagi hari dalam keadaan telanjang (well, tertutup selimut). Gloria menemukan sepucuk surat yang di dalamnya berisi $250. Gloria langsung naik pitam. Ditulisnya “No Sale” di cermin kamar dengan lipsticknya. Gloria adalah seorang wanita panggilan yang berkerja untuk BUtterfield 8, semacam jasa telepon panggilan. Gloria juga model pakaian, sesekali. Simpelnya, Gloria adalah wanita “jalang” yang sedang berusaha mendapatkan kehormatan dan penghargaan. Tidak perlu saya jabarkan sinopsis film ini, inti dari BUtterfield 8 adalah kisah tragis Gloria dalam usahanya tersebut.
Hidup Gloria memang tidak pernah sederhana. Wanita ini mempunya pengalaman masa kecil yang traumatis. Dan sekarang, selain dihadapkan pada fakta bahwa dia adalah seorang “jalang,” dia juga harus dihadapkan pada penolakan sang ibu tentang fakta tersebut dan tentang ketidakbertanggungjawaban moralnya. Gloria terhanyut pada sebuah perselingkuhan dengan seorang pria kaya raya, Weston Ligget (Laurence Harvey), yang kekayaannya tersebut sebenarnya milik istrinya. Dan Gloria berharap bisa mendapatkan kembali kehormatannya melalui hubungannya dengan Ligget, yang menurutnya didasari atas cinta (walaupun dimuali melalui gairah). Tapi jalan yang ditempuh Gloria tidak pernah sederhana.
BUtterfield 8 adalah contoh melodrama Hollywood yang setengah-setengah dalam mengeksekusi subyeknya. Bahkan sebenarnya film ini tidak lebih dari FTV-FTV yang hanya menampilkan keseksian kulit luar semata. Satu-satunya yang membuat film ini patut dihargai adalah penampilan Elizabeth Taylor. Elizabeth Taylor memerankan tokoh yang menantang dengan sangat meyakinkan. Sekalipun, kalau dibandingkan dengan keseluruhan pencapaiannya, penampilannya di film ini bukan yang terbaik. Penampilan Laurence Harvey dan Eddie Fisher juga sangat membantu mempertahankan mata saya ketika menonton. Saya sendiri cukup menikmati film ini sebatas guilty pleasure.
Ironisnya, Elizabeth Taylor sendiri sangat membenci BUtterfield 8. Konon, di screening perdana, Elizabeth Taylor melempar high heels yang dipakainya ke layar, lalu kabur ke kamar mandi. Film ini juga lah yang menimbulkan skandal antara Elizabeth Taylor dan Eddie Fisher (yang saat itu masih beristri). Akibatnya, publik melabeli Elizabeth Tarlor dengan cap yang sama dengan tokohnya, Gloria. Yah, selain terkenal akan kredibilitasnya di dunia akting, Elizabet Taylor juga terkenal dengan skandal-skandalnya, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar