Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Richard Brooks
Pemain: Elizabeth Taylor, Paul Newman, Burl Ives, Judith Anderson, Jack Carson, Madeleine Sherwood, Larry Gates, Vaughn Taylor as Deacon Davis
Tahun Rilis: 1958
Diadaptasi dari naskah drama pemenang Putlizer, Cat on a Hot Tin Roof, karya Tennessee Williams.
Siapa yang tidak kenal almarhum Tennessee Williams? Beliau salah satu penulis naskah drama terkemuka Amerika. Dua naskah dramanya, A Streetcar Named Desire dan Cat on a Hot Tin Roof berhasil dianguerahi Putlizer untuk kategori drama. The Rose Tatto, naskah dramanya yang lain, juga berhasil menyabet Drama terbaik versi Piala Tony di tahun 1952. Karyanya lain yang juga cukup terkenal antara lain The Glass Menagerie dan The Night of the Iguana. Karya-karyanya yang saya sebutkan itu masing-masing juga sudah disulap ke layar bioskop. Dan yang paling terbaru, skenario filmnya yang terkatung-katung selama kurang lebih lima puluh tahun, The Loss of a Teardrop Diamond, akhirnya difilmkan juga di tahun 2008 silam.
Seperti karya-karya Tennessee Williams lainnya, film ini membahas konflik individual antar individu-individu. Film ini menceritakan krisis sebuah keluarga besar nan kaya yang dipimpin oleh Big Daddy (Burl Ives), pemilik semua harta kekayaan yang sedang sekarat, dengan istrinya yang lebih akrab disebut Big Momma (Judith Anderson). Mereka mempunyai dua orang putra, Gooper (Jack Carson), si sulung, seorang pengacara yang memperistri seorang wanita ketus, licik, cerewet, tajam, dan blak-blakan, Mae (Madeleine Sherwood). Sementara si bungsu, Brick Pollitt (Paul Newman), adalah seorang mantan atlit yang sampai sekarang masih dirundung rasa bersalah atas kematian sahabatnya. Walaupun istrinya, Maggie (Elizabeth Taylor) atau dijuluki “Maggie the Cat” oleh Brick, mati-matian mencuri perhatian Brick, Brick tidak pernah membalas. Kedua pasangan ini benar-benar bertolak belakang. Mae mengkoleksi keturunan, sementara Maggie sama sekali belum memiliki keturunan. Mae mempunyai bersuamikan seorang pengacara sukses, sementara Maggie bersuamikan pria pemabuk yang masih berangan-angan menjadi atlit. Maggie jauh lebih cantik ketimbang Mae. Dan Maggie, bisa dibilang, menantu kesayangan Big Daddy. Tapi Mae, yang kurang lebih penjilat, juga tidak tinggal diam dan terus berusaha mencuri hati Big Daddy. Kesamaan mereka hanyalah saling membenci satu sama lain. Ini lah situasi keluarga besar tersebut.
Konflik film ini beragam, mulai dari penipuan, kebohongan, hubungan, keserakahan, pengaiabain, kematian, penyesalan termasuk juga segelintir nada homoseksualitas. Tapi yang benar-benar ingin ditekankan di sini, saya rasa, adalah tabiat alami manusia sendiri yang cenderung lebih sering menutupi kebenaran dan bahkan menolak.
Keseluruhan film ini mengambil setting di hari ulang tahun Big Daddy. Filmnya sendiri lebih terfokus pada Maggie dan Brick, dan permasalahan mereka, baik menyangkut masalah rumah tangga ataupun yang sudah berhubungan dengan keluarga besar. Saya tidak akan memberikan sinopsis film ini, yang pasti, kurang lebihnya, film ini menceritakan hubungan antara para pria dan wanitanya (khususnya Brick dan Maggie).
Pria dan wanita jelas punya cara sendiri-sendiri dalam memperjuangkan kepentingannya. Umumnya pria lebih cenderung memanfaatkan kekuatan dan kekuasaannya. Sementara wanita, cenderung lebih memanfaatkan pengaruh-pengaruh persuasifnya pada prianya. Pengaruh wanita tersebut bisa saja berhasil, tapi pada akhirnya prialah yang lebih sering menentukan keputusan penting. Posisi gender tersebut digambarkan dengan jelas di Cat on a Hot Tin Roof. Kesadaran para pria di film ini akan kepentingan (atau keinginan istrinya) digambarkan sangat minim. Bahkan ketika Big Daddy dan Brick merenung berdua secara terbuka, percakapan tersebut hanya menjadi percakapan ayah-anak. Dan terlihat juga ketika Maggie berulang kali memaksa Brick membahas persoalan rumah tangga mereka (kepentingan Maggie), Brick selalu menghindar (atau menolak).
Apabila tokoh pria digambarkan “penuh dengan dilema,” para wanita malah digambarkan “penuh dengan kepentingan masing-masing.” Para wanita di film ini berbicara sebagai wujud untuk mendapatkan reaksi. Maggie, bisa dilihat, berkali-kali memperjuangkan kepentingannya pada Brick. Maggie, kurang lebih sadar akan potensi persuasif (sex appeal) yang dimilikinya, dan itu lah yang dia manfaatkan. Mae dan Big Momma juga melakukan hal yang sama demi kepentingannya dengan cara masing-masing. Mae, yang sayangnya tidak secantik Maggie, cenderung melakukan hal-hal yang lebih praktikal, seperti menyuruh anak-anaknya menyanyi untuk Big Daddy.
Tokoh Maggie adalah sosok yang paling kompleks dan menarik di sini. Maggie digambarkan sebagai wanita yang sadar dan tahu betul cara menggunakan kualitas dan potensi sebagai wanita. Maggie tidak bodoh, malah cenderung persuasif, seduktif, dan selalu sadar situasi. Tokoh semacam ini biasa dilabeli “jalang” oleh para penonton. Tapi Maggie bukan “jalang.” Film ini tidak mengarhkan sosoknya sebagai “jalang.” Maggie tidak lantang-lantang serakah seperti yang ditunjukkan Mae. Maggie, lebih tepatnya, adalah tipikal wanita yang dibuat bingung oleh hubungan kusamnya dengan Brick, suaminya. Ketika Maggie memanfaatkan potensi seksualnya, layaknya “jalang,” penonton diyakinkan bahwa hal tersebut dilakukan demi mendapatkan perhatian dari suaminya. Elizabeth Taylor melakukan tugas baik dalam meyakinkan penonton akan tokoh Maggie. Paul Newman juga tidak kalah cemerlang memerankan Brick, pria depresif yang dinikahi Maggie. Kedua aktor veteran tersebut mendapat nominasi Oscar untuk peran masing-masing di film ini. Secara keseluruhan, para aktor memberikan penampilan di atas rata-rata. Film ini sendiri dianugerahi beberapa nominasi Oscar, di antaranya Best Picture dan Best Director, sayangnya tidak satupun berhasil dimenangkan. Konon, salah satu kemungkinan alasannya adalah tema film ini yang terlalu suram dan kontroversial untuk ukuran Oscar.
Film ini, seperti umumnya film-film Hollywood di masa itu, merupakan melodrama yang dieksekusi dengan gaya teaterikal. Tapi, sekalipun terasa nuansa teaterikal di sini, film ini tidak benar-benar jatuh memuakkan seperti For Colored Girls atau Jamila dan Sang Presiden. Film ini tidak melakukannya secara berlebihan. Dan yang juga saya suka dari film ini adalah dialognya yang tidak kalah persuasif. Setiap tokoh film ini memang seakan-akan menyimpan rahasia (kebenaran) masing-masing, dan dialog yang ditampilkan terbilang berhasil menimbulkan keraguan penonton. Dan ya, saya sangat suka akhir film ini.
Pemain: Elizabeth Taylor, Paul Newman, Burl Ives, Judith Anderson, Jack Carson, Madeleine Sherwood, Larry Gates, Vaughn Taylor as Deacon Davis
Tahun Rilis: 1958
Diadaptasi dari naskah drama pemenang Putlizer, Cat on a Hot Tin Roof, karya Tennessee Williams.
Siapa yang tidak kenal almarhum Tennessee Williams? Beliau salah satu penulis naskah drama terkemuka Amerika. Dua naskah dramanya, A Streetcar Named Desire dan Cat on a Hot Tin Roof berhasil dianguerahi Putlizer untuk kategori drama. The Rose Tatto, naskah dramanya yang lain, juga berhasil menyabet Drama terbaik versi Piala Tony di tahun 1952. Karyanya lain yang juga cukup terkenal antara lain The Glass Menagerie dan The Night of the Iguana. Karya-karyanya yang saya sebutkan itu masing-masing juga sudah disulap ke layar bioskop. Dan yang paling terbaru, skenario filmnya yang terkatung-katung selama kurang lebih lima puluh tahun, The Loss of a Teardrop Diamond, akhirnya difilmkan juga di tahun 2008 silam.
Seperti karya-karya Tennessee Williams lainnya, film ini membahas konflik individual antar individu-individu. Film ini menceritakan krisis sebuah keluarga besar nan kaya yang dipimpin oleh Big Daddy (Burl Ives), pemilik semua harta kekayaan yang sedang sekarat, dengan istrinya yang lebih akrab disebut Big Momma (Judith Anderson). Mereka mempunyai dua orang putra, Gooper (Jack Carson), si sulung, seorang pengacara yang memperistri seorang wanita ketus, licik, cerewet, tajam, dan blak-blakan, Mae (Madeleine Sherwood). Sementara si bungsu, Brick Pollitt (Paul Newman), adalah seorang mantan atlit yang sampai sekarang masih dirundung rasa bersalah atas kematian sahabatnya. Walaupun istrinya, Maggie (Elizabeth Taylor) atau dijuluki “Maggie the Cat” oleh Brick, mati-matian mencuri perhatian Brick, Brick tidak pernah membalas. Kedua pasangan ini benar-benar bertolak belakang. Mae mengkoleksi keturunan, sementara Maggie sama sekali belum memiliki keturunan. Mae mempunyai bersuamikan seorang pengacara sukses, sementara Maggie bersuamikan pria pemabuk yang masih berangan-angan menjadi atlit. Maggie jauh lebih cantik ketimbang Mae. Dan Maggie, bisa dibilang, menantu kesayangan Big Daddy. Tapi Mae, yang kurang lebih penjilat, juga tidak tinggal diam dan terus berusaha mencuri hati Big Daddy. Kesamaan mereka hanyalah saling membenci satu sama lain. Ini lah situasi keluarga besar tersebut.
Konflik film ini beragam, mulai dari penipuan, kebohongan, hubungan, keserakahan, pengaiabain, kematian, penyesalan termasuk juga segelintir nada homoseksualitas. Tapi yang benar-benar ingin ditekankan di sini, saya rasa, adalah tabiat alami manusia sendiri yang cenderung lebih sering menutupi kebenaran dan bahkan menolak.
Keseluruhan film ini mengambil setting di hari ulang tahun Big Daddy. Filmnya sendiri lebih terfokus pada Maggie dan Brick, dan permasalahan mereka, baik menyangkut masalah rumah tangga ataupun yang sudah berhubungan dengan keluarga besar. Saya tidak akan memberikan sinopsis film ini, yang pasti, kurang lebihnya, film ini menceritakan hubungan antara para pria dan wanitanya (khususnya Brick dan Maggie).
Pria dan wanita jelas punya cara sendiri-sendiri dalam memperjuangkan kepentingannya. Umumnya pria lebih cenderung memanfaatkan kekuatan dan kekuasaannya. Sementara wanita, cenderung lebih memanfaatkan pengaruh-pengaruh persuasifnya pada prianya. Pengaruh wanita tersebut bisa saja berhasil, tapi pada akhirnya prialah yang lebih sering menentukan keputusan penting. Posisi gender tersebut digambarkan dengan jelas di Cat on a Hot Tin Roof. Kesadaran para pria di film ini akan kepentingan (atau keinginan istrinya) digambarkan sangat minim. Bahkan ketika Big Daddy dan Brick merenung berdua secara terbuka, percakapan tersebut hanya menjadi percakapan ayah-anak. Dan terlihat juga ketika Maggie berulang kali memaksa Brick membahas persoalan rumah tangga mereka (kepentingan Maggie), Brick selalu menghindar (atau menolak).
Apabila tokoh pria digambarkan “penuh dengan dilema,” para wanita malah digambarkan “penuh dengan kepentingan masing-masing.” Para wanita di film ini berbicara sebagai wujud untuk mendapatkan reaksi. Maggie, bisa dilihat, berkali-kali memperjuangkan kepentingannya pada Brick. Maggie, kurang lebih sadar akan potensi persuasif (sex appeal) yang dimilikinya, dan itu lah yang dia manfaatkan. Mae dan Big Momma juga melakukan hal yang sama demi kepentingannya dengan cara masing-masing. Mae, yang sayangnya tidak secantik Maggie, cenderung melakukan hal-hal yang lebih praktikal, seperti menyuruh anak-anaknya menyanyi untuk Big Daddy.
Tokoh Maggie adalah sosok yang paling kompleks dan menarik di sini. Maggie digambarkan sebagai wanita yang sadar dan tahu betul cara menggunakan kualitas dan potensi sebagai wanita. Maggie tidak bodoh, malah cenderung persuasif, seduktif, dan selalu sadar situasi. Tokoh semacam ini biasa dilabeli “jalang” oleh para penonton. Tapi Maggie bukan “jalang.” Film ini tidak mengarhkan sosoknya sebagai “jalang.” Maggie tidak lantang-lantang serakah seperti yang ditunjukkan Mae. Maggie, lebih tepatnya, adalah tipikal wanita yang dibuat bingung oleh hubungan kusamnya dengan Brick, suaminya. Ketika Maggie memanfaatkan potensi seksualnya, layaknya “jalang,” penonton diyakinkan bahwa hal tersebut dilakukan demi mendapatkan perhatian dari suaminya. Elizabeth Taylor melakukan tugas baik dalam meyakinkan penonton akan tokoh Maggie. Paul Newman juga tidak kalah cemerlang memerankan Brick, pria depresif yang dinikahi Maggie. Kedua aktor veteran tersebut mendapat nominasi Oscar untuk peran masing-masing di film ini. Secara keseluruhan, para aktor memberikan penampilan di atas rata-rata. Film ini sendiri dianugerahi beberapa nominasi Oscar, di antaranya Best Picture dan Best Director, sayangnya tidak satupun berhasil dimenangkan. Konon, salah satu kemungkinan alasannya adalah tema film ini yang terlalu suram dan kontroversial untuk ukuran Oscar.
Film ini, seperti umumnya film-film Hollywood di masa itu, merupakan melodrama yang dieksekusi dengan gaya teaterikal. Tapi, sekalipun terasa nuansa teaterikal di sini, film ini tidak benar-benar jatuh memuakkan seperti For Colored Girls atau Jamila dan Sang Presiden. Film ini tidak melakukannya secara berlebihan. Dan yang juga saya suka dari film ini adalah dialognya yang tidak kalah persuasif. Setiap tokoh film ini memang seakan-akan menyimpan rahasia (kebenaran) masing-masing, dan dialog yang ditampilkan terbilang berhasil menimbulkan keraguan penonton. Dan ya, saya sangat suka akhir film ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar