Oleh: Rio Johan (Rijon)
utradara: Burr Steers
Pemain: Zac Efron, Kim Basinger, Ray Liotta, Amanda Crew, Charlie Tahan, Kim Basinger, Donal Logue
Tahun Rilis: 2010
Diadaptasi dari novel The Death and Life of Charlie St. Cloud karya Bantam Books.
Pernah membayangkan Zac Efron bermain di film-film ala Nicholas Sparks? Charlie St. Cloud adalah jawabannya. Sekalipun film ini membawa bau-bau supranatural, yang sepertinya belum perna ditemukan di film-film adaptasi dari novel Nicholas Sparks, film ini tetap mempunyai bau-bau Nicholas Sparks yang sangat kuat. Dari segi romantisnya. Melodramatisnya. Bombaynya. Sampai opera-sabun-nya. Bahkan Zac Efron memamerkan otot-ototnya, seperti yang dilakukan Channing Tatum, di sini ini.
Untuk urusan cerita, film ini termasuk skeptis, sangat skeptis. Bagi mereka yang sudah sinis dengan tema-tema spiritual-non-logis semacam ini, sudah jelas film ini bakal ditolak mentah-mentah. Ingat Ghost yang dibintangi Demi Moore dan Patrick Swayze? Atau The Sixth Sense bikinan M. Night Shyamalan? Atau Birth yang dibintangi Nicole Kidman (sekalipun dari segi isi film ini lebih mirip Ghost atau The Sixth Sense). Charlie St. Cloud berada di area yang sama persis dengan film-film itu.
Film ini bercerita tentang janji brother-to-brother antara Charlie St. Cloud (Zac Efron) dan adiknya Sammuel “Sam” St. Cloud (Charlie Tahan). Keduanya memiliki hubungan kakak-beradik yang sangat so-sweet ala-ala Nicholas Spark. Bahkan kakak-beradik tersebut, dengan bermodalkan kekompakan, berhasil menjuarai kompetisi perahu layar setempat. Sayangnya sebuah kecelakan yang sangat tragis membuat Charlie berpisah dengan adiknya Sam (singkatnya: wafat). Bau-bau supranatural pun muncul ketika Charlie berjumpa dengan sosok arwah Sam yang menagih janjinya untuk berlatih baseball bersama-sama di hutan (hutan, kan?) di setiap senja di setiap hari. Dan janji ini selalu dipatuhi oleh Charlie. Charlie bahkan menghabiskan lima tahun lamanya untuk menepati janji pada arwah adiknya tersebut.
Film ini berbentuk melodrama, dan hal ini patut digaris bawahi. Bukan psychological thriller ala The Sixth Sense, tapi melodrama seperti Ghost. Atau lebih tepatnya, ya, searah dengan film-filmnya Nicholas Sparks yang serba so-sweet bahkan di bagian-bagian tragis sekalipun. Kalau Anda tipikal penonton yang sangat suka sekali di-bombay-bombay-kan oleh film-filmnya Nicholas Sparks, maka Anda mungkin akan menonton film Zac Efron yang ini (walaupun film ini tidak ada hubungannya dengan Nicholas Sparks)? Kalau Anda tidak termasuk kategori itu, maka film ini lebih berupa media agar Zac Efron bisa pamer sixpack ala agar penggila teen dan pre-teen bisa berteriak-teriak histeris di dalam bioskop. Setidaknya adegan pamer sixpack di sini tidak se-annoying Twilight Saga.
Sama seperti yang dialami Demi Moore atau Haley Joel Osment, di film ini cuma Zac Efron yang mampu melihat sosok adiknya. Agak mengagetkan (dan mengecewakan) ketika saya mendapati fakta bahwa yang dilihat Zac Efron tersebut benar-benar arwah, karena dari awal film saya mengira Zac Efron mengalami delusi-pasca-trauma atau semacam skizofrenia. Dan bukan cuma arwah adiknya semata, Zac Efron juga mampu melihat arwah teman sekolahannya yang sudah wafat di medan perang. Ada satu pertanyaan menggelitik yang muncul dari adegan ketika Zac Efron bermain baseball dengan arwah adiknya: “Apakah ketika bermain dengan arwah Zac Efron menggunakan alat baseball yang nyata?”
Ada sebuah twist besar di film ini ketika Charlie berjumpa dengan Tess (Amanda Crew), teman sekolah dan pelayar saingannya dulu, yang sekarang sudah menjadi pelayar profesional. Keduanya pun memulai sesuatu yang disebut romantis-bombay, dan Charlie mulai tidak melalaikan janjinya bersama adiknya, hingga twist besar pun muncul.
Charlie St. Cloud memang tidak membahas tema supranaturalnya secerdas Birth (salah satu film supranatural yang paling cerdas di era 2000-2009 ini, bagi saya), atau setidaknya The Sixth Sense. Bahkan dari segi melodramanya, film ini tidak semenarik Ghost. Film ini sama sekali tidak memberikan pertanyaan-pertanyaan tantangan pada penontonnya seputar kehadiran entitas supranatural tersebut. Permasalahannya, twist besar tersebut malah cenderung memaksa penonton untuk meyakini bahwa apa yang dilihat Charlie tersebut benar-benar ada hantu, tanpa ada pendalaman dan pembahasan lebih lanjut. Lebih parah lagi, Charlie St. Cloud malah melakukan metodanya itu dengan cara yang tidak rapi dan cenderung cheesy.
utradara: Burr Steers
Pemain: Zac Efron, Kim Basinger, Ray Liotta, Amanda Crew, Charlie Tahan, Kim Basinger, Donal Logue
Tahun Rilis: 2010
Diadaptasi dari novel The Death and Life of Charlie St. Cloud karya Bantam Books.
Pernah membayangkan Zac Efron bermain di film-film ala Nicholas Sparks? Charlie St. Cloud adalah jawabannya. Sekalipun film ini membawa bau-bau supranatural, yang sepertinya belum perna ditemukan di film-film adaptasi dari novel Nicholas Sparks, film ini tetap mempunyai bau-bau Nicholas Sparks yang sangat kuat. Dari segi romantisnya. Melodramatisnya. Bombaynya. Sampai opera-sabun-nya. Bahkan Zac Efron memamerkan otot-ototnya, seperti yang dilakukan Channing Tatum, di sini ini.
Untuk urusan cerita, film ini termasuk skeptis, sangat skeptis. Bagi mereka yang sudah sinis dengan tema-tema spiritual-non-logis semacam ini, sudah jelas film ini bakal ditolak mentah-mentah. Ingat Ghost yang dibintangi Demi Moore dan Patrick Swayze? Atau The Sixth Sense bikinan M. Night Shyamalan? Atau Birth yang dibintangi Nicole Kidman (sekalipun dari segi isi film ini lebih mirip Ghost atau The Sixth Sense). Charlie St. Cloud berada di area yang sama persis dengan film-film itu.
Film ini bercerita tentang janji brother-to-brother antara Charlie St. Cloud (Zac Efron) dan adiknya Sammuel “Sam” St. Cloud (Charlie Tahan). Keduanya memiliki hubungan kakak-beradik yang sangat so-sweet ala-ala Nicholas Spark. Bahkan kakak-beradik tersebut, dengan bermodalkan kekompakan, berhasil menjuarai kompetisi perahu layar setempat. Sayangnya sebuah kecelakan yang sangat tragis membuat Charlie berpisah dengan adiknya Sam (singkatnya: wafat). Bau-bau supranatural pun muncul ketika Charlie berjumpa dengan sosok arwah Sam yang menagih janjinya untuk berlatih baseball bersama-sama di hutan (hutan, kan?) di setiap senja di setiap hari. Dan janji ini selalu dipatuhi oleh Charlie. Charlie bahkan menghabiskan lima tahun lamanya untuk menepati janji pada arwah adiknya tersebut.
Film ini berbentuk melodrama, dan hal ini patut digaris bawahi. Bukan psychological thriller ala The Sixth Sense, tapi melodrama seperti Ghost. Atau lebih tepatnya, ya, searah dengan film-filmnya Nicholas Sparks yang serba so-sweet bahkan di bagian-bagian tragis sekalipun. Kalau Anda tipikal penonton yang sangat suka sekali di-bombay-bombay-kan oleh film-filmnya Nicholas Sparks, maka Anda mungkin akan menonton film Zac Efron yang ini (walaupun film ini tidak ada hubungannya dengan Nicholas Sparks)? Kalau Anda tidak termasuk kategori itu, maka film ini lebih berupa media agar Zac Efron bisa pamer sixpack ala agar penggila teen dan pre-teen bisa berteriak-teriak histeris di dalam bioskop. Setidaknya adegan pamer sixpack di sini tidak se-annoying Twilight Saga.
Sama seperti yang dialami Demi Moore atau Haley Joel Osment, di film ini cuma Zac Efron yang mampu melihat sosok adiknya. Agak mengagetkan (dan mengecewakan) ketika saya mendapati fakta bahwa yang dilihat Zac Efron tersebut benar-benar arwah, karena dari awal film saya mengira Zac Efron mengalami delusi-pasca-trauma atau semacam skizofrenia. Dan bukan cuma arwah adiknya semata, Zac Efron juga mampu melihat arwah teman sekolahannya yang sudah wafat di medan perang. Ada satu pertanyaan menggelitik yang muncul dari adegan ketika Zac Efron bermain baseball dengan arwah adiknya: “Apakah ketika bermain dengan arwah Zac Efron menggunakan alat baseball yang nyata?”
Ada sebuah twist besar di film ini ketika Charlie berjumpa dengan Tess (Amanda Crew), teman sekolah dan pelayar saingannya dulu, yang sekarang sudah menjadi pelayar profesional. Keduanya pun memulai sesuatu yang disebut romantis-bombay, dan Charlie mulai tidak melalaikan janjinya bersama adiknya, hingga twist besar pun muncul.
Charlie St. Cloud memang tidak membahas tema supranaturalnya secerdas Birth (salah satu film supranatural yang paling cerdas di era 2000-2009 ini, bagi saya), atau setidaknya The Sixth Sense. Bahkan dari segi melodramanya, film ini tidak semenarik Ghost. Film ini sama sekali tidak memberikan pertanyaan-pertanyaan tantangan pada penontonnya seputar kehadiran entitas supranatural tersebut. Permasalahannya, twist besar tersebut malah cenderung memaksa penonton untuk meyakini bahwa apa yang dilihat Charlie tersebut benar-benar ada hantu, tanpa ada pendalaman dan pembahasan lebih lanjut. Lebih parah lagi, Charlie St. Cloud malah melakukan metodanya itu dengan cara yang tidak rapi dan cenderung cheesy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar