Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Habiburrahman El Shirazy
Pemain: Dude Harlino, Asmirandah, Meyda Sefira, Tsania Marwa, Boy Hamzah, El Manik, Ninik L. Karim, Elma Theana, Umar Libus, Neno Warisman, Iszur Muchtar, Berliana Febriyanti, Kaharudin Syah
Tahun Rilis: 2010
Film ini diadaptasi dari novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
Bukan masalah kalau-kalau ada penulis/sastrawan yang berniat coba-coba bikin film. Djenar Maesa Ayu pernah mencobanya, dan tidak terlalu mengecewakan. Kali ini Habiburrahman El Shirazy, penulis novel yang katanya megabestseller Ayat-Ayat Cinta (yang versi filmnya tidak terlalu saya suka) dan Ketika Cinta Bertasbih (yang lagi-lagi versi filmnya tidak saya suka). Sejujurnya saya sama sekali belum pernah membaca satupun novel karangan Habiburrahman El Shirazy, jadi sejauh ini yang saya komentari hanyalah hasil adaptasi dari novel-novelnya.
Kali ini Habiburrahman El Shirazy menampilkan cerita tentang Syamsul (Dude Herlino), pemuda korban fitnah temannya sendiri, Burhan (Boy Hamzah). Alasan Burhan melakukan hal tersebut, kemugkinan, tidak lain cemburu karena Zizi (Meyda Sefira), putri pemilik pesantren yang ditaksirnya, lebih menaruh perhatian pada Syamsul.
Pemilik pesantren dan isi-isinya yang termakan mentah fitnahan Burhan pun melakukan tindakan main hakim sendiri pada Syamsul. Kepala Syamsul digunduli, dan Syamsul pun dikeluarkan secara tidak hormat dari pesantren. Kurang sial pula, bapak dan dua kakak Syamsul pun ikut termakan fitnah tersebut. Merasa tidak ada lagi orang terdekat yang percaya padanya, Syamsul kabur dari rumah. Kekacauan hidup pun membuat Syamsul akhirnya benar-benar (khilaf) mencopet. Syamsul terus-terusan makan dari uang mencopet, semakin hari semakin lihai, sampai akhirnya nasib mempertemukannya dengan Syilvie (Asmirandah) seorang gadis saleh yang kelak mengubah nasibnya dan hidupnya.
Film tentang agama, iman, dan keyakinan biasanya selalu mengarah pada dua kemungkinan: “terlalu berani” dan “terlalu tidak berani.” Dalam Mihrab Cinta ini, sama halnya dengan Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, lebih cocok dimasukkan kategori “terlalu tidak berani.” No problemo! Pada dasarnya film ini sendiri lebih ditujukan untuk menginspirasi penontonnya, ketimbang membuat penontonnya memikirkan dan menelaah. Di film-film semacam ini, penonton disuguhkan pesan-pesan siap jadi, pesan-pesan siap pakai, dan pesan-pesan yang siap untuk disuapi, ketimbang pesan-pesan untuk dicerna secara mandiri oleh penontonnya masing-masing. Hanung Brahmantyo, kalau tidak salah, pernah memberikan pernyataan, “Penonton Indonesia belum siap dengan film yang berat-berat.”
Saya yakin Habiburrahman El Shirazy punya maksud baik di balik film ini. Jelas dari segi tujuan, film ini berbeda dengan sebagian besar film-film Maxima atau Nayato lainnya yang juga saya beri label “sangat buruk.”
“Pesan yang ingin disampaikan adalah, siapa pun kalau didorong berbuat tidak baik bisa benar-benar jadi orang yang tidak baik. Tapi sebaliknya, kalau dimotivasi untuk menjadi baik dan diberi ruang untuk berbuat baik, dia benar-benar bisa jadi orang baik,” begitulah kata sastrawan lulusan Universitas Al Azhar tersebut.
Saya merasa bukan orang yang tepat (atau pantas) untuk mengomentari isi pesan-pesan yang ingin disampaikan di film ini, jadi review saya selanjutnya lebih ke sekitar bagaimana cara penyampaian film ini.
Film ini menampilkan beragam konflik secara bergiliran, mulai dari ujian iman dari Allah hingga roman picisan. Masalahnya perjalanan dari konflik yang satu hingga berganti ke konflik lainnya semakin menurun, semakin tidak menarik, dan semakin datar. Dan pada akhirnya, konflik-konflik tersebut terasa dipaksakan. Atau bisa juga dibilang kalau sebenarnya film ini sudah tidak mampu bercerita lagi, tapi tetap saja dipaksakan bercerita.
Dalam resensi Satu Jam Saja saya pernah menyatakan kalau “film bermateri melodrama tidak seharusnya diperlakukan layaknya opera sabun, apalagi sinetron.” Pernyataan itu juga bisa diberlakukan di Dalam Mihrab Cinta. Layaknya Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, selain sama-sama mengemban kata “cinta,” film ini juga berbau-bau melodrama. Tapi tidak seharusnya juga sebuah melodrama diberlakukan dengan sangat mendayu-dayu, apalagi dalam kadar yang sudah berlebihan sekali. Sejujurnya, kalau ada yang menyatakan bahwa melodrama identik dengan cengeng, saya akan protes. Pada dasarnya melodrama lebih ke arah film-film dengan pendekatan emosional yang intensif, dan itu tidak harus bersendu-sendu ria setiap menit setiap detik durasi.
Sayangnya tingkat emosi dalam film perdana Habiburrahman El Shirazy ini terlalu overdosis dan sekedar mengena pada kulit luarnya. Hampir sebagian besar (lebih dari 3/4 mungkin) durasi film dihabiskan dengan menangis, menangis, dan menangis. Bahkan pada adegan yang tingkat emosional biasa-biasa saja, film ini menghadirkan tangisan yang luar biasa. Masalahnya kebanyakan tangisan yang ditampilkan justru gagal menyentuh sisi emosional tokoh (yang menangis itu) lebih jauh. Ya semua orang di film ini punya semua alasan yang tepat untuk menangis. Tapi apakah semua adegan harus ditampilkan beriringan dengan tangisan? Apakah semua emosi, semua perasaan, dan semua situasi tokoh-tokoh film ini harus ditampilkan dengan tangisan? Saya rasa tidak juga. Melodrama tidak selalu harus diidentikkan dengan tangisan. Menyentuh sisi emosional tidak harus dilakukan dengan banjiran air mata lengkap air muka yang selalu mewek-mewek. Lagipula kebanyakan menangis juga tidak baik buat kesehatan, kan?
Sutradara: Habiburrahman El Shirazy
Pemain: Dude Harlino, Asmirandah, Meyda Sefira, Tsania Marwa, Boy Hamzah, El Manik, Ninik L. Karim, Elma Theana, Umar Libus, Neno Warisman, Iszur Muchtar, Berliana Febriyanti, Kaharudin Syah
Tahun Rilis: 2010
Film ini diadaptasi dari novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
Bukan masalah kalau-kalau ada penulis/sastrawan yang berniat coba-coba bikin film. Djenar Maesa Ayu pernah mencobanya, dan tidak terlalu mengecewakan. Kali ini Habiburrahman El Shirazy, penulis novel yang katanya megabestseller Ayat-Ayat Cinta (yang versi filmnya tidak terlalu saya suka) dan Ketika Cinta Bertasbih (yang lagi-lagi versi filmnya tidak saya suka). Sejujurnya saya sama sekali belum pernah membaca satupun novel karangan Habiburrahman El Shirazy, jadi sejauh ini yang saya komentari hanyalah hasil adaptasi dari novel-novelnya.
Kali ini Habiburrahman El Shirazy menampilkan cerita tentang Syamsul (Dude Herlino), pemuda korban fitnah temannya sendiri, Burhan (Boy Hamzah). Alasan Burhan melakukan hal tersebut, kemugkinan, tidak lain cemburu karena Zizi (Meyda Sefira), putri pemilik pesantren yang ditaksirnya, lebih menaruh perhatian pada Syamsul.
Pemilik pesantren dan isi-isinya yang termakan mentah fitnahan Burhan pun melakukan tindakan main hakim sendiri pada Syamsul. Kepala Syamsul digunduli, dan Syamsul pun dikeluarkan secara tidak hormat dari pesantren. Kurang sial pula, bapak dan dua kakak Syamsul pun ikut termakan fitnah tersebut. Merasa tidak ada lagi orang terdekat yang percaya padanya, Syamsul kabur dari rumah. Kekacauan hidup pun membuat Syamsul akhirnya benar-benar (khilaf) mencopet. Syamsul terus-terusan makan dari uang mencopet, semakin hari semakin lihai, sampai akhirnya nasib mempertemukannya dengan Syilvie (Asmirandah) seorang gadis saleh yang kelak mengubah nasibnya dan hidupnya.
Film tentang agama, iman, dan keyakinan biasanya selalu mengarah pada dua kemungkinan: “terlalu berani” dan “terlalu tidak berani.” Dalam Mihrab Cinta ini, sama halnya dengan Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, lebih cocok dimasukkan kategori “terlalu tidak berani.” No problemo! Pada dasarnya film ini sendiri lebih ditujukan untuk menginspirasi penontonnya, ketimbang membuat penontonnya memikirkan dan menelaah. Di film-film semacam ini, penonton disuguhkan pesan-pesan siap jadi, pesan-pesan siap pakai, dan pesan-pesan yang siap untuk disuapi, ketimbang pesan-pesan untuk dicerna secara mandiri oleh penontonnya masing-masing. Hanung Brahmantyo, kalau tidak salah, pernah memberikan pernyataan, “Penonton Indonesia belum siap dengan film yang berat-berat.”
Saya yakin Habiburrahman El Shirazy punya maksud baik di balik film ini. Jelas dari segi tujuan, film ini berbeda dengan sebagian besar film-film Maxima atau Nayato lainnya yang juga saya beri label “sangat buruk.”
“Pesan yang ingin disampaikan adalah, siapa pun kalau didorong berbuat tidak baik bisa benar-benar jadi orang yang tidak baik. Tapi sebaliknya, kalau dimotivasi untuk menjadi baik dan diberi ruang untuk berbuat baik, dia benar-benar bisa jadi orang baik,” begitulah kata sastrawan lulusan Universitas Al Azhar tersebut.
Saya merasa bukan orang yang tepat (atau pantas) untuk mengomentari isi pesan-pesan yang ingin disampaikan di film ini, jadi review saya selanjutnya lebih ke sekitar bagaimana cara penyampaian film ini.
Film ini menampilkan beragam konflik secara bergiliran, mulai dari ujian iman dari Allah hingga roman picisan. Masalahnya perjalanan dari konflik yang satu hingga berganti ke konflik lainnya semakin menurun, semakin tidak menarik, dan semakin datar. Dan pada akhirnya, konflik-konflik tersebut terasa dipaksakan. Atau bisa juga dibilang kalau sebenarnya film ini sudah tidak mampu bercerita lagi, tapi tetap saja dipaksakan bercerita.
Dalam resensi Satu Jam Saja saya pernah menyatakan kalau “film bermateri melodrama tidak seharusnya diperlakukan layaknya opera sabun, apalagi sinetron.” Pernyataan itu juga bisa diberlakukan di Dalam Mihrab Cinta. Layaknya Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, selain sama-sama mengemban kata “cinta,” film ini juga berbau-bau melodrama. Tapi tidak seharusnya juga sebuah melodrama diberlakukan dengan sangat mendayu-dayu, apalagi dalam kadar yang sudah berlebihan sekali. Sejujurnya, kalau ada yang menyatakan bahwa melodrama identik dengan cengeng, saya akan protes. Pada dasarnya melodrama lebih ke arah film-film dengan pendekatan emosional yang intensif, dan itu tidak harus bersendu-sendu ria setiap menit setiap detik durasi.
Sayangnya tingkat emosi dalam film perdana Habiburrahman El Shirazy ini terlalu overdosis dan sekedar mengena pada kulit luarnya. Hampir sebagian besar (lebih dari 3/4 mungkin) durasi film dihabiskan dengan menangis, menangis, dan menangis. Bahkan pada adegan yang tingkat emosional biasa-biasa saja, film ini menghadirkan tangisan yang luar biasa. Masalahnya kebanyakan tangisan yang ditampilkan justru gagal menyentuh sisi emosional tokoh (yang menangis itu) lebih jauh. Ya semua orang di film ini punya semua alasan yang tepat untuk menangis. Tapi apakah semua adegan harus ditampilkan beriringan dengan tangisan? Apakah semua emosi, semua perasaan, dan semua situasi tokoh-tokoh film ini harus ditampilkan dengan tangisan? Saya rasa tidak juga. Melodrama tidak selalu harus diidentikkan dengan tangisan. Menyentuh sisi emosional tidak harus dilakukan dengan banjiran air mata lengkap air muka yang selalu mewek-mewek. Lagipula kebanyakan menangis juga tidak baik buat kesehatan, kan?
akhir ketemu juga dengan orang yang sama dengan pendapatku. aku nggak ngerti film yang diangkat dari novel Habiburrahman El Shirazy. jujur saja, waktu novel pertamanya di filmkan dan booming. aku mah ogah-ogahan. intinya jelek. sangat jelek. aku kesulitan mau menangkap pesan apa yang sebenarnya ingin di sampaikannya. ujung2nya, nihil. hampa.
BalasHapus