Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Marcel Rasquin
Pemain: Fernando Moreno, Eliú Armas, Beto Benites, Gonzalo Cubero, Marcela Girón, Alí Rondon
Tahun Rilis: 2010
Judul Internasional: Brother
Pemain: Fernando Moreno, Eliú Armas, Beto Benites, Gonzalo Cubero, Marcela Girón, Alí Rondon
Tahun Rilis: 2010
Judul Internasional: Brother
Pada dasarnya film-film tentang olahraga selalu luput dari minat saya. Kebanyakan dari film-film tersebut selalu berada pada daftar yang tidak terlalu menarik untuk ditonton bagi saya. Bukan berarti saya tidak pernah menonton film-film tentang olahraga. Bukan berarti film-film olahraga selalu buruk hasilnya. Malah, bukan berarti saya tidak suka sama sekali dengan film-film semacam ini. Yang membuat saya tidak terlalu tertarik adalah stereotipe dan kecenderungan film-film semacam ini untuk menjadi terlalu formulaik.
Dari sekian banyak film dari berbagai penjuru dunia yang dikirim untuk kategori Best Foreign Language Oscar 2011 kelak, sejauh yang sudah saya tonton, ada dua film tentang sepak bola. Yang pertama dari Korea Selatan, A Barefoot Dream, yang diangkat dari kisah nyata pelatih sepak bola, Kim Sin-Hwa, yang melatih anak-anak di Timor Leste. Selain berbicara tentang sepak bola, film tersebut juga mencoba berbicara tentang humanistik. Atau bisa dibilang juga, film Dan film kedua adalah Hermano dari Venezuela yang lebih berupa crime drama. Kedua film tersebut sama-sama mengusung nuansa melodramatik dengan cara sendiri-sendiri.
Sekalipun sama-sama berbau melodrama, film dari Venezuela ini tampil lebih kelam dan suram ketimbang A Barefoot Dream. Ketimbang perwakilan dari Korea Selatan yang berbau-bau humanstik, film asal Venezuela ini malah duduk di level yang lebih personal. Hermano berlatar di daerah kumuh di Caracas, salah satu tempat dimana hidup benar-benar keras secara harfiah.
Film dibuka ketika Julio (masih kecil) tengah melintasi gerbang penjara di Caracas bersama ibunya. Julio mendengar suara kucing dari tumpukan sampah, yang ternyata adalah seorang bayi. Mulanya sang ibu ragu untuk memungut bayi tersebut, tapi didorong akan rasa iba, wanita itu pun mengangkat bayi itu sebagai anaknya. Film pun diloncatkan enam belas tahun kemudian, ketika Julio (Eliú Armas) dan Daniel (Fernando Moreno), adik pungutnya yang lebih sering dipanggil “El Gato” (Si Kucing), sudah dewasa. Keduanya adalah pemain sepak bola terbaik di La Ceniza, nama kampung kumuh tempat mereka tinggal. Daniel, yang masih duduk di bangku sekolah, merupakan remaja yang lugu, polos, penakut, dan cenderung berpangku pada kakaknya,. Daniel menumpuk erat-erat mimpinya untuk bermain di Caracas FC. Sementara Julio, kakaknya, lebih memfokuskan diri sebagai tulang punggung keluarga. Julio bekerja untuk sebuah geng (semacam gengnya Vino G. Bastian di Serigala Terakhir). Bersama sahabatnya, Max (Alí Rondon), Julio menjadi anggota yang paling dipercaya bos geng tersebut. Kedua kakak beradik ini sama-sama disatukan oleh sepak bola.
Peluang untuk bermain di Caracas FC bagi Daniel dan Julio terbuka ketika keduanya ditawari untuk mengikuti sebuah (semacam) audisi. But, life is a bitch. Karena kepengecutan Daniel, ibunya (Marcela Girón), tanpa sengaja tewas tertembak oleh Max. Dan kakanya, Julio, jelas tidak akan tinggal diam pada pelakunya. Daniel dihadapkan pada sebuah dilema: bicara dengan konsekuensi menanggalkan mimpinya untuk bermain bersama kakaknya di Caracas FC, atau memilih untuk menyimpan rahasia pahit tersebut (dan selalu menahan diri setiap kali berpapasan dengan pembunuhnya).
Film-film tentang olahraga, apapun itu olahraga yang ditonjolkan, umumnya selalu dimulai dan diakhiri dengan formula yang sama. Si protagonis dimulai dengan nasib buruk, terpuruk, atau ,setidaknya, sial. Lalu film puj menampilkan perjuangan mati-matian si protagonis demi impiannya, demi harapannya, atau demi apapun yang dia perjuangkan melalui olahraga tersebut. Dan pada akhirnya, si protagonis mendapatkan hasil akhir yang, entah itu menang atau kalah, biasanya mengharapkan penonton untuk tersentuh secara emosional, semangat, spiritual, atau apalah yang bisa disentuh-sentuh. Hermano, sekilas, juga menggunakan formula yang sama, tapi dengan cara yang berbeda. Ketimbang terfokus pada bagian inspiring-nya, Hermano lebih menekankan pada sisi kriminal dan dilema Daniel. Saya lebih suka melihat cerita yang disuguhkan ini sebagai sebuah risiko dari sebuah impian. Film ini membawa genre film-film olahraga pada ambien kekerasan.
Pada dasarnya Hermano bukanlah kandidat kuat untuk dikirim sebagai perwakilan untuk kategori Best Foreign Language Oscar. Tidak juga A Barefoot Dream, atau kandidat dari Indonesia sendiri. Film ini jelas mempunya kelemahan di berbagai bagian, beberapa saya sadari, beberapa mungkin tidak saya sadari. Sisi positifnya, film ini kaya dari segi visual. Warna-warna cerah-natural yang berhasil ditangkap dengan baik sialnya berhasil membangun mood saya selama menonton. Dan dari segi penampilan, sekalipun keseluruhan penampilan tidak termasuk profesional, para pemain memberikan penampilan natural. Dan itu cukup untuk membuat saya yakin akan tokoh mereka masing-masing. Tapi saya merasa tidak ingin berpanjang-panjang membahas tetek-bengek teknis kali ini.
Satu hal yang pasti: Saya bukan penggemar olahraga, terutama sepak bola! Jadi terbilang sulit bagi seseorang seperti saya untuk menyukai film-film tentang sepak bola. Saya pernah membaca sebuah istilah umum bahwa film yang baik adalah film yang berhasil berkomunikasi dengan penontonnya. Dan film ini berhasil berkomunikasi dengan saya secara emosional. Hal itu tidak lain karena film ini, bagi saya, sudah berhasil memberikan emosi yang sangat tepat untuk penontonnya. Film ini malah membawa kembali kenangan ketika saya menonton Billy Elliot pertama kali (sewaktu saya masih duduk di bangku SMA). Lagipula, Hermano sebenarnya tidak hanya sekedar tentang olahrga. Film ini lebih universal dari umumnya film-film olahraga konvensional. Resensi saya kali ini mungkin terasa sangat subyektif, tapi bukankah memang begitulah sifat sebuah review film? Kalau mau lebih spesifiknya, ketimbang disebut subyektif, saya lebih suka kata “personal.”
Dari sekian banyak film dari berbagai penjuru dunia yang dikirim untuk kategori Best Foreign Language Oscar 2011 kelak, sejauh yang sudah saya tonton, ada dua film tentang sepak bola. Yang pertama dari Korea Selatan, A Barefoot Dream, yang diangkat dari kisah nyata pelatih sepak bola, Kim Sin-Hwa, yang melatih anak-anak di Timor Leste. Selain berbicara tentang sepak bola, film tersebut juga mencoba berbicara tentang humanistik. Atau bisa dibilang juga, film Dan film kedua adalah Hermano dari Venezuela yang lebih berupa crime drama. Kedua film tersebut sama-sama mengusung nuansa melodramatik dengan cara sendiri-sendiri.
Sekalipun sama-sama berbau melodrama, film dari Venezuela ini tampil lebih kelam dan suram ketimbang A Barefoot Dream. Ketimbang perwakilan dari Korea Selatan yang berbau-bau humanstik, film asal Venezuela ini malah duduk di level yang lebih personal. Hermano berlatar di daerah kumuh di Caracas, salah satu tempat dimana hidup benar-benar keras secara harfiah.
Film dibuka ketika Julio (masih kecil) tengah melintasi gerbang penjara di Caracas bersama ibunya. Julio mendengar suara kucing dari tumpukan sampah, yang ternyata adalah seorang bayi. Mulanya sang ibu ragu untuk memungut bayi tersebut, tapi didorong akan rasa iba, wanita itu pun mengangkat bayi itu sebagai anaknya. Film pun diloncatkan enam belas tahun kemudian, ketika Julio (Eliú Armas) dan Daniel (Fernando Moreno), adik pungutnya yang lebih sering dipanggil “El Gato” (Si Kucing), sudah dewasa. Keduanya adalah pemain sepak bola terbaik di La Ceniza, nama kampung kumuh tempat mereka tinggal. Daniel, yang masih duduk di bangku sekolah, merupakan remaja yang lugu, polos, penakut, dan cenderung berpangku pada kakaknya,. Daniel menumpuk erat-erat mimpinya untuk bermain di Caracas FC. Sementara Julio, kakaknya, lebih memfokuskan diri sebagai tulang punggung keluarga. Julio bekerja untuk sebuah geng (semacam gengnya Vino G. Bastian di Serigala Terakhir). Bersama sahabatnya, Max (Alí Rondon), Julio menjadi anggota yang paling dipercaya bos geng tersebut. Kedua kakak beradik ini sama-sama disatukan oleh sepak bola.
Peluang untuk bermain di Caracas FC bagi Daniel dan Julio terbuka ketika keduanya ditawari untuk mengikuti sebuah (semacam) audisi. But, life is a bitch. Karena kepengecutan Daniel, ibunya (Marcela Girón), tanpa sengaja tewas tertembak oleh Max. Dan kakanya, Julio, jelas tidak akan tinggal diam pada pelakunya. Daniel dihadapkan pada sebuah dilema: bicara dengan konsekuensi menanggalkan mimpinya untuk bermain bersama kakaknya di Caracas FC, atau memilih untuk menyimpan rahasia pahit tersebut (dan selalu menahan diri setiap kali berpapasan dengan pembunuhnya).
Film-film tentang olahraga, apapun itu olahraga yang ditonjolkan, umumnya selalu dimulai dan diakhiri dengan formula yang sama. Si protagonis dimulai dengan nasib buruk, terpuruk, atau ,setidaknya, sial. Lalu film puj menampilkan perjuangan mati-matian si protagonis demi impiannya, demi harapannya, atau demi apapun yang dia perjuangkan melalui olahraga tersebut. Dan pada akhirnya, si protagonis mendapatkan hasil akhir yang, entah itu menang atau kalah, biasanya mengharapkan penonton untuk tersentuh secara emosional, semangat, spiritual, atau apalah yang bisa disentuh-sentuh. Hermano, sekilas, juga menggunakan formula yang sama, tapi dengan cara yang berbeda. Ketimbang terfokus pada bagian inspiring-nya, Hermano lebih menekankan pada sisi kriminal dan dilema Daniel. Saya lebih suka melihat cerita yang disuguhkan ini sebagai sebuah risiko dari sebuah impian. Film ini membawa genre film-film olahraga pada ambien kekerasan.
Pada dasarnya Hermano bukanlah kandidat kuat untuk dikirim sebagai perwakilan untuk kategori Best Foreign Language Oscar. Tidak juga A Barefoot Dream, atau kandidat dari Indonesia sendiri. Film ini jelas mempunya kelemahan di berbagai bagian, beberapa saya sadari, beberapa mungkin tidak saya sadari. Sisi positifnya, film ini kaya dari segi visual. Warna-warna cerah-natural yang berhasil ditangkap dengan baik sialnya berhasil membangun mood saya selama menonton. Dan dari segi penampilan, sekalipun keseluruhan penampilan tidak termasuk profesional, para pemain memberikan penampilan natural. Dan itu cukup untuk membuat saya yakin akan tokoh mereka masing-masing. Tapi saya merasa tidak ingin berpanjang-panjang membahas tetek-bengek teknis kali ini.
Satu hal yang pasti: Saya bukan penggemar olahraga, terutama sepak bola! Jadi terbilang sulit bagi seseorang seperti saya untuk menyukai film-film tentang sepak bola. Saya pernah membaca sebuah istilah umum bahwa film yang baik adalah film yang berhasil berkomunikasi dengan penontonnya. Dan film ini berhasil berkomunikasi dengan saya secara emosional. Hal itu tidak lain karena film ini, bagi saya, sudah berhasil memberikan emosi yang sangat tepat untuk penontonnya. Film ini malah membawa kembali kenangan ketika saya menonton Billy Elliot pertama kali (sewaktu saya masih duduk di bangku SMA). Lagipula, Hermano sebenarnya tidak hanya sekedar tentang olahrga. Film ini lebih universal dari umumnya film-film olahraga konvensional. Resensi saya kali ini mungkin terasa sangat subyektif, tapi bukankah memang begitulah sifat sebuah review film? Kalau mau lebih spesifiknya, ketimbang disebut subyektif, saya lebih suka kata “personal.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar