Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Joseph Kosinski
Pemain: Jeff Bridges, Garrett Hedlund, Bruce Boxleitner, Olivia Wilde, Michael Sheen, James Frain
Tahun Rilis: 2010
Film ini merupakan sequel dari Tron (1982) karya Steven Lisberger.
Pemain: Jeff Bridges, Garrett Hedlund, Bruce Boxleitner, Olivia Wilde, Michael Sheen, James Frain
Tahun Rilis: 2010
Film ini merupakan sequel dari Tron (1982) karya Steven Lisberger.
Saya sama sekali belum pernah menonton Tron, film tahun 1982 yang dikenal sebagai salah satu pioneer film-film CGI itu. Film tersebut dibuat di masa Pac Man masih berupa ikon arkade terkenal. Entah kenapa sampai sekarang pun saya belum terpanggil untuk menonton film yang juga dikenal penghargaan Academy Award for Technical Achievement yang dianugerahkan empat belas tahun setelah rilis. Tidak seperti di masa kini di mana CGI merupakan salah satu medium paling umum bom-bom Box Office, Tron lebih dikenal sebagai cult classic, terutama di kalangan gamer.
Sekalipun saya belum menyentuh Tron, saya tidak mengalami kesulitan mengikuti sequel-nya. Film ini berlatar sekitar 20 tahunan semenjak kejadian di film pertamanya. Bercerita tentang Sam Flynn (Garrett Hedlund), pemuda 27 tahun yang selalu dihantu bayang-bayang kehilangan bapaknya, Kevin (Jeff Bridges – tokoh utama di film pertama yang juga diperankan oleh Jeff Bridges), seorang programer komputer dan CEO ENCOM (sebuah perusahaan ternama). Suatu hari, setelah mendapatkan pesan misterius dari ayahnya, Sam menemukan ruang kerja rahasia milik ayahnya di bawah gedung arkade yang sudah terlantar. Sam menemukan (semacam) komputer (hasil kerja ayahnya). Dan tanpa sengaja, komputer tersebut membawa Sam masuk kedalam dunia virtual (dunia game) yang disebut “The Grid,” yang lebih mirip dunia neon. Petualangan Sam pun dimulai – yang artinya saya rasa saya tidak perlu lagi menceritakan detil sinopsisnya. Lagipula saya malas menjabarkan detil-detil istilah virtual di film ini.
Tron: Legacy sebenarnya dibuka dengan cukup menyenangkan, mulai dari opening, Sam masuk ke dunia neon tersebut, menggunakan pakiana neon, hingga adegan pertempuran cakram. Sayangnya, ketika Tron memulai tone dramatisnya, film ini malah tampil membosankan – sangat membosankan. Dan ketika Tron mencapai titik klimaksnya, saya sebagai penonton sudah terlebih dahulu dibuat kelelahan dan kebosanan akibat nada dramatisnya yang menjemukan.
Dari segi visual, Tron: Legacy bisa dibilang setipe dengan film pertamanya: showoff CGI. Dunia CGI yang ditampilkan di sini, seperti yang saya bilang sebelumnya, cenderung futuristik, vitualistik, dan berbau-bau neon (dengan sinar-sinar simetrik-asimetrik, mayoritas oranye dan putih, membanjiri layar). Saya ingat sebelumnya pernah mereview Sky Captain and the World of Tomorrow, film popcorn lainnya yang juga lebih ke arah showoff-style CGI. Sayangnya style yang ditampilkan di Tron: Legacy hanya sebatas eye candy semata. Tidak ada hal yang mendalam, hal yang jauh lebih inovatif, lebih artistik, lebih artifisial dari pameran CGI di sini.
Rentang waktu 28 antara film pertama dan sequel-nya jelas bukan waktu yang sebentar. Sayang sekali hal tersebut tidak mampu dibayar oleh Walt Disney. Tidak ada yang spesial dari sequel ini. Bahkan untuk sekedar menjadi hiburan semata, film ini gagal melakukannya.
Sekalipun saya belum menyentuh Tron, saya tidak mengalami kesulitan mengikuti sequel-nya. Film ini berlatar sekitar 20 tahunan semenjak kejadian di film pertamanya. Bercerita tentang Sam Flynn (Garrett Hedlund), pemuda 27 tahun yang selalu dihantu bayang-bayang kehilangan bapaknya, Kevin (Jeff Bridges – tokoh utama di film pertama yang juga diperankan oleh Jeff Bridges), seorang programer komputer dan CEO ENCOM (sebuah perusahaan ternama). Suatu hari, setelah mendapatkan pesan misterius dari ayahnya, Sam menemukan ruang kerja rahasia milik ayahnya di bawah gedung arkade yang sudah terlantar. Sam menemukan (semacam) komputer (hasil kerja ayahnya). Dan tanpa sengaja, komputer tersebut membawa Sam masuk kedalam dunia virtual (dunia game) yang disebut “The Grid,” yang lebih mirip dunia neon. Petualangan Sam pun dimulai – yang artinya saya rasa saya tidak perlu lagi menceritakan detil sinopsisnya. Lagipula saya malas menjabarkan detil-detil istilah virtual di film ini.
Tron: Legacy sebenarnya dibuka dengan cukup menyenangkan, mulai dari opening, Sam masuk ke dunia neon tersebut, menggunakan pakiana neon, hingga adegan pertempuran cakram. Sayangnya, ketika Tron memulai tone dramatisnya, film ini malah tampil membosankan – sangat membosankan. Dan ketika Tron mencapai titik klimaksnya, saya sebagai penonton sudah terlebih dahulu dibuat kelelahan dan kebosanan akibat nada dramatisnya yang menjemukan.
Dari segi visual, Tron: Legacy bisa dibilang setipe dengan film pertamanya: showoff CGI. Dunia CGI yang ditampilkan di sini, seperti yang saya bilang sebelumnya, cenderung futuristik, vitualistik, dan berbau-bau neon (dengan sinar-sinar simetrik-asimetrik, mayoritas oranye dan putih, membanjiri layar). Saya ingat sebelumnya pernah mereview Sky Captain and the World of Tomorrow, film popcorn lainnya yang juga lebih ke arah showoff-style CGI. Sayangnya style yang ditampilkan di Tron: Legacy hanya sebatas eye candy semata. Tidak ada hal yang mendalam, hal yang jauh lebih inovatif, lebih artistik, lebih artifisial dari pameran CGI di sini.
Rentang waktu 28 antara film pertama dan sequel-nya jelas bukan waktu yang sebentar. Sayang sekali hal tersebut tidak mampu dibayar oleh Walt Disney. Tidak ada yang spesial dari sequel ini. Bahkan untuk sekedar menjadi hiburan semata, film ini gagal melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar