Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Kerry Conran
Pemain: Jude Law, Gwyneth Paltrow, Giovanni Ribisi, Michael Gambon, Bai Ling, Omid Djalili, Sir Laurence Olivier, Angelina Jolie
Tahun Rilis: 2004
Untuk kasus Sky Captain and the World of Tomorrow, saya rasa saya harus tidak memberlakukan ketentuan yang sering saya umbar-umbar di film-film petulangan-penuh-efek-spesial seperti ini. Pakem yang saya maksud adalah: “Saya tidak terlalu suka tontonan yang lebih mengedepankan style ketimbang substansi.”
Film ini adalah salah satu jawaban kenapa di akhir review Skyline saya melemparkan pertanyaan: “Apakah lantas semua orang yang sekedar mahir dalam urusan efek-efek spesial bisa langsung menghasilkan film yang baik?” Singkat saja, karena sutradara film ini tahu betul style yang dia kemudikan, dan tahu ke arah mana style tersebut harus dibanting agar karyanya bisa menjadi sebuah film, bukan sekedar pameran efek-spesial-super-canggih.
Sebenarnya, dari segi substansi, film ini tidak buruk-buruk (atau tidak jeblok) amat kok. Hanya saja, cerita yang ditawarkan Sky Captain and the World of Tomorrow terbilang klasik, old-fashioned, dan cenderung sulit diterima oleh tipe-tipe penonton dengan selera (sok?) kekinian. Kalau Anda menikmati film-film petualangan klasik setipe Raiders of the Lost Ark atau Big Trouble in Little China, kemungkinan besar anda akan menikmati Sky Captain and the World of Tomorrow. Saya sendiri? Saya termasuk penonton yang menganggap kisah di film ini adalah sesuatu yang menyenangkan sekalipun old-fashioned atau kuno.
Singkatnya, film ini bercerita tentang usaha Jude Law dan Gwyneth Paltrow, dibantu oleh Angelina Jolie, untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran. Film ini ber-setting di tahun 1939, tidak jauh seusai PDI. Joe Sullivan (Jude Law), atau dikenal dengan julukan “Sky Captain,” adalah pemimpin sebuah pasukan udara yang bertugas membasmi pasukan-pasukan robot liar yang muncul mengacaukan kota. Sementara Polly Perkins (Gwyneth Paltrow), teman tapi mesarnya Joe, adalah seorang wartawati harian The Chronicle yang sedang menyelidiki kasus kematian para cendikiawan-cendikiawan. Keduanya berkerja sama untuk menyatukan puzzle-demi-puzzle (yang lebih berupa petulangan ketimbang misterinya) demi menyelamatkan dunia.
Untuk urusan cerita, saya rasa hanya itu saja yang bisa saya tuliskan. Menuliskan sisanya tentu akan menjadi spoiler yang tidak menyenangkan. Saya rasa yang lebih menarik untuk dibahasi dari film ini, ketimbang ceritanya, justru style-nya yang sangat berbeda dengan film-film petualangan (katakan saja National Treasure, etc.) umumnya dewasa ini. Style yang digunakan sangat mengingatkan, malah terlihat sekali berupa homage, pada film-film klasik era 30-40-an. Penggambaran suasana kotanya, entah bagaimana, sangat mengingatkan dengan gaya sci-fi legendaris Metropolis karya Fritz Lang. Dan ya, selain dari gaya neo-klasiknya, homage sinema klasik juga bisa dilihat dari penayangan The Wizard of Oz dan munculnya replika CGI wajah Sir Laurence Olivier (yang sudah meninggal 15 tahun yang lalu ketika film ini dibuat). Seakan-akan gaya film ini, atau bisa dibilang film ini, merupakan perpaduan nostalgia gaya klasik bercampur dengan detil-detil modern.
Metoda yang digunakan Kerry Conran dalam Sky Captain and the World of Tomorrow juga terbilang unik. Film ini tercatat sebagai salah satu film sinematik pertama yang menggunakan teknik “digital backlot.” Metoda ini juga dapat ditemukan pada Casshern, Able Edwards, Sin City, dan beberapa film lainnya. Simpelnya, ini adalah teknik pengambilan gambar di mana para aktor hanya berakting di sebuah panggung kosong (biasanya ber-background hijau). Nah, panggung kosong ini lah yang nantinya akan diisi dengan background artifisial. Ada yang masih bertanya dari mana asalnya background artifisial tersebut? Dari mana lagi kalau bukan kecanggihan visualisasi (baca: CGI).
Dari sini saja sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa apapun yang ada di film ini, selain para pemain dan benda-benda yang menempel pada tubuh mereka, adalah rekayasa CGI. Pada dasarnya saya sangat tidak suka film yang over-CGI-ed (sebut saja Catwoman, Resident Evil, Hellboy, Van Helsing, dan lain-lain), tapi untuk kasus Sky Captain and the World of Tomorrow, penggunaan CGI (yang bisa dibilang 80% bahkan 90%) ini malah menjadi salah satu daya tarik utama. Seperti yang saya bilang di awal-awal, di sini Kerry Conran jelas sekali bisa mengolah spesial efek menjadi sebuah film bergaya dan berkelas, bukan cuma sekedar pamer kecanggihan visualisasi.
Sutradara: Kerry Conran
Pemain: Jude Law, Gwyneth Paltrow, Giovanni Ribisi, Michael Gambon, Bai Ling, Omid Djalili, Sir Laurence Olivier, Angelina Jolie
Tahun Rilis: 2004
Untuk kasus Sky Captain and the World of Tomorrow, saya rasa saya harus tidak memberlakukan ketentuan yang sering saya umbar-umbar di film-film petulangan-penuh-efek-spesial seperti ini. Pakem yang saya maksud adalah: “Saya tidak terlalu suka tontonan yang lebih mengedepankan style ketimbang substansi.”
Film ini adalah salah satu jawaban kenapa di akhir review Skyline saya melemparkan pertanyaan: “Apakah lantas semua orang yang sekedar mahir dalam urusan efek-efek spesial bisa langsung menghasilkan film yang baik?” Singkat saja, karena sutradara film ini tahu betul style yang dia kemudikan, dan tahu ke arah mana style tersebut harus dibanting agar karyanya bisa menjadi sebuah film, bukan sekedar pameran efek-spesial-super-canggih.
Sebenarnya, dari segi substansi, film ini tidak buruk-buruk (atau tidak jeblok) amat kok. Hanya saja, cerita yang ditawarkan Sky Captain and the World of Tomorrow terbilang klasik, old-fashioned, dan cenderung sulit diterima oleh tipe-tipe penonton dengan selera (sok?) kekinian. Kalau Anda menikmati film-film petualangan klasik setipe Raiders of the Lost Ark atau Big Trouble in Little China, kemungkinan besar anda akan menikmati Sky Captain and the World of Tomorrow. Saya sendiri? Saya termasuk penonton yang menganggap kisah di film ini adalah sesuatu yang menyenangkan sekalipun old-fashioned atau kuno.
Singkatnya, film ini bercerita tentang usaha Jude Law dan Gwyneth Paltrow, dibantu oleh Angelina Jolie, untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran. Film ini ber-setting di tahun 1939, tidak jauh seusai PDI. Joe Sullivan (Jude Law), atau dikenal dengan julukan “Sky Captain,” adalah pemimpin sebuah pasukan udara yang bertugas membasmi pasukan-pasukan robot liar yang muncul mengacaukan kota. Sementara Polly Perkins (Gwyneth Paltrow), teman tapi mesarnya Joe, adalah seorang wartawati harian The Chronicle yang sedang menyelidiki kasus kematian para cendikiawan-cendikiawan. Keduanya berkerja sama untuk menyatukan puzzle-demi-puzzle (yang lebih berupa petulangan ketimbang misterinya) demi menyelamatkan dunia.
Untuk urusan cerita, saya rasa hanya itu saja yang bisa saya tuliskan. Menuliskan sisanya tentu akan menjadi spoiler yang tidak menyenangkan. Saya rasa yang lebih menarik untuk dibahasi dari film ini, ketimbang ceritanya, justru style-nya yang sangat berbeda dengan film-film petualangan (katakan saja National Treasure, etc.) umumnya dewasa ini. Style yang digunakan sangat mengingatkan, malah terlihat sekali berupa homage, pada film-film klasik era 30-40-an. Penggambaran suasana kotanya, entah bagaimana, sangat mengingatkan dengan gaya sci-fi legendaris Metropolis karya Fritz Lang. Dan ya, selain dari gaya neo-klasiknya, homage sinema klasik juga bisa dilihat dari penayangan The Wizard of Oz dan munculnya replika CGI wajah Sir Laurence Olivier (yang sudah meninggal 15 tahun yang lalu ketika film ini dibuat). Seakan-akan gaya film ini, atau bisa dibilang film ini, merupakan perpaduan nostalgia gaya klasik bercampur dengan detil-detil modern.
Metoda yang digunakan Kerry Conran dalam Sky Captain and the World of Tomorrow juga terbilang unik. Film ini tercatat sebagai salah satu film sinematik pertama yang menggunakan teknik “digital backlot.” Metoda ini juga dapat ditemukan pada Casshern, Able Edwards, Sin City, dan beberapa film lainnya. Simpelnya, ini adalah teknik pengambilan gambar di mana para aktor hanya berakting di sebuah panggung kosong (biasanya ber-background hijau). Nah, panggung kosong ini lah yang nantinya akan diisi dengan background artifisial. Ada yang masih bertanya dari mana asalnya background artifisial tersebut? Dari mana lagi kalau bukan kecanggihan visualisasi (baca: CGI).
Dari sini saja sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa apapun yang ada di film ini, selain para pemain dan benda-benda yang menempel pada tubuh mereka, adalah rekayasa CGI. Pada dasarnya saya sangat tidak suka film yang over-CGI-ed (sebut saja Catwoman, Resident Evil, Hellboy, Van Helsing, dan lain-lain), tapi untuk kasus Sky Captain and the World of Tomorrow, penggunaan CGI (yang bisa dibilang 80% bahkan 90%) ini malah menjadi salah satu daya tarik utama. Seperti yang saya bilang di awal-awal, di sini Kerry Conran jelas sekali bisa mengolah spesial efek menjadi sebuah film bergaya dan berkelas, bukan cuma sekedar pamer kecanggihan visualisasi.
setuju, film ini memang lain dari yang lain. selain CGInya, gue suka tone warnanya yang menambah kesan jadul.
BalasHapusbtw ijin taro link alamat blog sampeyan di "Sobekan Tiket Bioskop" gue yah! :D