Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Teguh Karya
Pemain: Tuti Indra Malaon, Alex Komang, Ria Irawan, Umar Chatab, Ayu Azhari, Wawan Sarwani, Galeb Husin, Ira N., Santi Sardi, Rasyid, Niniek L. Karim, Onny Mayor, Rossi S. Dradjat, Rita Zahara, Sari Manumpil, Mark Sungkar, Henky Solaiman, Arswendo Atmowiloto
Tahun Rilis: 1986
Putri sulungnya, Farida (Niniek L. Karim), mengeluhkan hubungan Fitri (Ria Irawan), putri bungsunya, dengan Luke (Onny Mayor), seorang pria mapan dari Irian. Alasannya karena suami Farida, yang berasal dari kalangan bangsawan Jawa dan merupakan penopang ekonomi utama keluarga, tidak menyetujui Fitri bergaul (apalagi berpacaran) dengan pria yang bukan dari kalangan Jawa. Sementara Fitri protes padanya tentang halangan-rintangan atas hubungannya tersebut. Di sisi lain, rumah tangga putranya, Fikar (Alex Komang), dengan istrinya (Ayu Azhari) sedang diujung tanduk karena Fikar sedang dipelihara wanita lain yang lebih berpengaruh bagi kelangsungan karir aktingnya. Putranya yang kedua (kedua kan?) sedang bertugas di Surabaya sehingga tidak bisa membantu banya. Sementara putra bungsunya, Fahri (maaf, tidak tahu siapa nama pemerannya), justru balik menyatakan keengganannya (atau kemalasannya) untuk ikut campur ini-itu tiap kali diajak bertukar pendapat. Ditambah lagi cucunya yang mabuk karena lari dari masalah. Semua keluhan-keluhan tersebut dengan senang hati ditampung oleh Ibu Rakhim (Tuti Indra Malaon), atau ibunda yang dimaksud di judul film.
Film kesekian dari Teguh karya ini dimulai dengan plot-plot kecil tentang masalah masing-masing anak Ibu Rakhim. Kemudian plot-plot kecil itu berkumpul menjadi satu kesatuan di tangan Ibu Rakhim. Di film ini, sosok Ibu digambarkan ibarat bak besar yang nyaris tidak pernah bocor. Seberat dan sehebat apapun masalah anak-anaknya, Ibu selalu bersedia menampung, merangkul, dan menyelesaikannya dengan cara yang dianggap paling bijaksana. Beban berat itu dipikul oleh Tuti Indra Malaon, salah satu aktris panggung dan televisi terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, dengan penampilan yang begitu menghenyak.
Pemain: Tuti Indra Malaon, Alex Komang, Ria Irawan, Umar Chatab, Ayu Azhari, Wawan Sarwani, Galeb Husin, Ira N., Santi Sardi, Rasyid, Niniek L. Karim, Onny Mayor, Rossi S. Dradjat, Rita Zahara, Sari Manumpil, Mark Sungkar, Henky Solaiman, Arswendo Atmowiloto
Tahun Rilis: 1986
Putri sulungnya, Farida (Niniek L. Karim), mengeluhkan hubungan Fitri (Ria Irawan), putri bungsunya, dengan Luke (Onny Mayor), seorang pria mapan dari Irian. Alasannya karena suami Farida, yang berasal dari kalangan bangsawan Jawa dan merupakan penopang ekonomi utama keluarga, tidak menyetujui Fitri bergaul (apalagi berpacaran) dengan pria yang bukan dari kalangan Jawa. Sementara Fitri protes padanya tentang halangan-rintangan atas hubungannya tersebut. Di sisi lain, rumah tangga putranya, Fikar (Alex Komang), dengan istrinya (Ayu Azhari) sedang diujung tanduk karena Fikar sedang dipelihara wanita lain yang lebih berpengaruh bagi kelangsungan karir aktingnya. Putranya yang kedua (kedua kan?) sedang bertugas di Surabaya sehingga tidak bisa membantu banya. Sementara putra bungsunya, Fahri (maaf, tidak tahu siapa nama pemerannya), justru balik menyatakan keengganannya (atau kemalasannya) untuk ikut campur ini-itu tiap kali diajak bertukar pendapat. Ditambah lagi cucunya yang mabuk karena lari dari masalah. Semua keluhan-keluhan tersebut dengan senang hati ditampung oleh Ibu Rakhim (Tuti Indra Malaon), atau ibunda yang dimaksud di judul film.
Film kesekian dari Teguh karya ini dimulai dengan plot-plot kecil tentang masalah masing-masing anak Ibu Rakhim. Kemudian plot-plot kecil itu berkumpul menjadi satu kesatuan di tangan Ibu Rakhim. Di film ini, sosok Ibu digambarkan ibarat bak besar yang nyaris tidak pernah bocor. Seberat dan sehebat apapun masalah anak-anaknya, Ibu selalu bersedia menampung, merangkul, dan menyelesaikannya dengan cara yang dianggap paling bijaksana. Beban berat itu dipikul oleh Tuti Indra Malaon, salah satu aktris panggung dan televisi terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, dengan penampilan yang begitu menghenyak.
Setelah bermain di tema-tema besar (November 1828, Doea Tanda Mata), Teguh Karya kembali membumi melalui Ibunda. Sekalipun permasalahan yang ditampung Ibu Rakhim terkesan sangat rumit, Ibunda bukan lah film yang rumit. Film ini justru tampil sesederhana sebuah foto keluarga – seperti yang diperlihatkan di akhir film.
Kemampuan almarhum Teguh Karya sebagai sutradara jelas tidak perlu diragukan lagi. Melalui Ibunda, Teguh Karya menunjukkan kemampuannya membangun tekanan-tekanan dari setiap permasalahan secara teratur, baik itu dari segi visual, dialog, maupun kemampuan para pemainnya. Dengan hati-hati, efektif, dan tidak terburu-buru, Teguh Karya juga berhasil merangkum semua plot-plot film ini mejadi satu kesatuan utuh, lagi-lagi, melalui sosok Ibu.
Yang paling menarik dari film Teguh Karya ini adalah cara penggambaran sosok Ibu. Sosok Ibu justru hadir paling misterius di antara sosok anak-anaknya. Semua orang berkeluh ini itu pada Ibu, dan si Ibu terus menampungnya dengan bijak. Sebisa mungin sosok Ibu di sini tidak berpihak, tidak membenarkan siapapun, kebalikannya Ibu justru mencoba mengerti semua kekurangan dan kesalahan anak-anaknya. Apabila tiba waktunya bagi si Ibu untuk bicara, beliau pun bicara. Terlepas dari semua permasalahan yang ditampung si Ibu, Teguh Karya tidak malah menampilkan keinginan paling mendasar si Ibu secara terang-terangan. Di saat semua anaknya menuntut macam-macam, keinginan si Ibu malah tersimpan rapat-rapat. Dan ketika film ini berakhir, tiba-tiba saja keingian sederhana si Ibu tersebut serasa sudah terpenuhi. Ibarat sebuah foto keluarga – keluarga besar, Ibu tentu berharap semua anggota keluarganya hadir tanpa terlewat satu orang pun, berbagi satu sama lain.
Kemampuan almarhum Teguh Karya sebagai sutradara jelas tidak perlu diragukan lagi. Melalui Ibunda, Teguh Karya menunjukkan kemampuannya membangun tekanan-tekanan dari setiap permasalahan secara teratur, baik itu dari segi visual, dialog, maupun kemampuan para pemainnya. Dengan hati-hati, efektif, dan tidak terburu-buru, Teguh Karya juga berhasil merangkum semua plot-plot film ini mejadi satu kesatuan utuh, lagi-lagi, melalui sosok Ibu.
Yang paling menarik dari film Teguh Karya ini adalah cara penggambaran sosok Ibu. Sosok Ibu justru hadir paling misterius di antara sosok anak-anaknya. Semua orang berkeluh ini itu pada Ibu, dan si Ibu terus menampungnya dengan bijak. Sebisa mungin sosok Ibu di sini tidak berpihak, tidak membenarkan siapapun, kebalikannya Ibu justru mencoba mengerti semua kekurangan dan kesalahan anak-anaknya. Apabila tiba waktunya bagi si Ibu untuk bicara, beliau pun bicara. Terlepas dari semua permasalahan yang ditampung si Ibu, Teguh Karya tidak malah menampilkan keinginan paling mendasar si Ibu secara terang-terangan. Di saat semua anaknya menuntut macam-macam, keinginan si Ibu malah tersimpan rapat-rapat. Dan ketika film ini berakhir, tiba-tiba saja keingian sederhana si Ibu tersebut serasa sudah terpenuhi. Ibarat sebuah foto keluarga – keluarga besar, Ibu tentu berharap semua anggota keluarganya hadir tanpa terlewat satu orang pun, berbagi satu sama lain.
Wah dri reviewnya kayaknya film e bagus ya. Ia seh teguh karya memang sutradara terbaik yg pernah dimiliki indonesia. jadi penasaran pengen nonton tapi dmn ya dapatnya heheh laam banget aku masih kecil tuh...
BalasHapushenry
@henry:
BalasHapusAku belum lahir malah. :P
Aku punya VCD-nya sih ....
mnta lahhhh... kirim ke email y, ifruslan_simpson@rocketmail.com atau bagi linkx
BalasHapus