Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Luca Guadagnino
Pemain: Tilda Swinton, Flavio Parenti, Edoardo Gabbriellini, Mattia Zaccaro, Alba Rohrwacher, Pippo Delbono, Maria Paiato, Diane Fleri, Waris Ahluwalia, Marisa Berenson, Gabriele Ferzetti
Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: I Am Love
Mungkin istilah “dari perut turun ke hati (juga selangkangan)” cukup pantas untuk menggambarkan I Am Love, sebuah film asal Italia yang mampang di festival film Venice, Sundance, dan Toronte serta terpilih sebagai salah satu nominasi Golden Globe kategori Best Foreign Langue Film, lebih cocok disebut film cantik tentang hidangan meja makan – terserah mau disebut – kaum-kaum borjuis, kaum aristokrat, atau, sederhananya, kaum kaya-raya.
Mengambil latar Milan, salah satu kota eksotis di Italia, di tahun 2000, I Am Love dibuka dengan adegan jamuan peringatan ulang tahun kakek tua pemimpin sekaligus pendiri kerajaan industri tekstil keluarga Recchi (Gabriele Ferzetti), yang tidak lama lagi akan pensiun – juga wafat – dan hendak menyerahkan tahta bisnisnya ke tangan putranya, Tancredi (Pippo Delbono), dan cucu kesayangannya, Edo (Flavio Parenti). Adegan jamuan makan ini merupakan pembuka yang sangat sempurna untuk film ini. Melalu adegan jamuan makan keluarga ini, I Am Love ingin memperlihatkan terlebih dahulu struktur keluarga borjuis tersebut sebelum selanjutnya memasuki lapisan yang lebih intim dari orang-orang tersebut.
Banyak yang bisa dipelajari dari jamuan makan tersebut. Misalnya, tentang posisi Emma (Tilda Swinton), seorang wanita Russia yang diperistri Tancredi (Pippo Delbono) di rumah besar tersebut. Juga, tentang Edo, putra kesayangan keluarga Recchi (anaknya Emma), yang tengah menjalin hubungan asmara dengan Eva (Diane Fleri), seorang gadis dari keluarga biasa-biasa saja. Edo juga baru saja kalah dari balapan dari seorang koki bernama Antonio (Edoardo Gabbriellini), yang selanjutnya menjadi teman akrabnya. Selain Edo, Emma juga mempunyai seorang putra, Guadagnino (Mattia Zaccaro), dan seorang putri, Betta (Alba Rohrwacher). Juga Allegra (Marisa Berenson), nenek keluarga Recchi – tetap modis dan glamor walau sudah berlabel nenek – yang terlihat sudah banyak makan asam-garam perihal “menjadi istri di keluarga Recchi.” Juga diperkenalkan Ida (Maria Paiato), kepala pembantu – dia punya mata, tahu, dan mengerti seluk-beluk keluarga tersebut. Selain itu, penonton juga diberi tahu bahwa Edo sangat menyukai ukha, sebuah sup ala Rusia, bikinan ibunya.
Jamuan makan malam ini juga memberikan gambaran dingin dan tanpa emosi – seperti ini lah wujud komunikasi keluarga Recchi. Di keluarga-keluarga borjuis semacam ini, barang-barang mewah dan megah yang terpampang digunakan sebagai tameng untuk menutupi minimnya cinta, sementara sikap formal antar anggota keluarga merupakan tameng atas ketidakbahagiaan tiap individu. Begitulah cara hidup keluarga Recchi, atau boleh juga dibilang, “tradisi keluarga Recchi.”
Penonton melihat sisi-sisi keluarga Recchi melalui sebagian besar dari kacamata Emma Recchi. Wanita ini melayani keluarganya layaknya seorang istri sekaligus ibu. terlihat jelas bahwa wanita ini sudah sangat lihai dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai istri di sebuah keluarga borjuis. Misalnya, ketika tidak sengaja mendapati bahwa putrinya, Betta, sedang berkencan dengan seorang wanita, Emma menanggapi hal tersebu dengan bijak, sebagai seorang ibu, juga dengan pengertian, sebagai seorang wanita. Permasalahannya, apakah Emma sadar risiko menjadi seorang istri di sebuah keluarga borjuis? Apakah wanita ini bahagia dengan keadaannya? Satu hal lagi yang pasti, wanita ini begitu tenang dan sangat pandai menyimpan rapat-rapat emosinya. Sulit mengatakan apa yang sedang dan akan terjadi pada Emma.
Untuk urusan tersebut, Tilda Swinton jelas aktris yang tepat untuk memerankan Emma. Tidak banyak aktris yang bisa menyeruakkan emosi tanpa perlu banyak berekspresi, dan Tilda Swinton jelas salah satunya. Terlebih, untuk perannya di film ini beliau harus melafalkan dialog Italia dengan aksen Rusia. Jujur saja, telinga saya tuli total untuk urusan aksen Rusianya, tapi Tilda Swinton sudah sangat meyakinkan dengan dialog Italianya.
Jelas sudah bukan rahasia lagi kalau salah satu hal yang terkenal dari Italia adalah makanannya, termasuk juga bagi keluarga Recchi. Keluarga ini seakan-akan suka sekali mengadakan pesta, jamuan makan, atau sekedar duduk di restoran dan makan. Dalam I Am Love, makanan ditampilkan sebagai sesuatu yang sangat elegan sekaligus sangat erotik. Tiga tokoh penting di film ini, Emma, Edo, dan Antonio, masing-masing terhubung satu sama lain melalui makanan. Antonio adalah koki yang handal. Dengan bantuan Edo, temannya, mereka berdua hendak membuka sebuah bisnis restoran kecil-kecilan. Edo juga mempercayakan hidangan jamuan-jamuan makan penting keluarganya di tangan Antonio. Berkat makanan juga Emma dan Antonio merasakan cinta (terlarang?). Ketika Emma mencicipi udang (entah apapun itu nama makanannya) yang dimasak Antonio, gairahnya bergejolak. Sampai-sampai ketika di kesempatan selanjutnya Emma tidak sengaja melihat Antonio di seberang jalan, wanita ini membuntutuinya, bahkan akhirnya, bercinta dengannya. Emma dan Edo, yang di film ini digambarkan sebagai putra kesayangan keluarga, juga mempunyai ikatan orangtua-anak melalui sup ukha. Ikatan, melalui makanan, tersebut terjalin amat sangat kuat, sampai-sampai Edo tidak terima ikatannya itu dibagi dengan Antonio. Bagi ketiga orang itu, makanan mempunyai dampak yang sangat personal – permasalahan di film ini dimulai dan diakhiri dengan makanan.
I Am Love datang dari Italia, sudah jelas, dan merupakan bagian dari sinema Italia, bukan di kelompok neorealism tapi di kelompok opera-opera semacam Il Gattopardo karya Luchiono Visconti. Film ini menampilkan gaya-gaya visual yang sangat mengingatkan pada film-film Italia dari era Vittorio de Sica atau Federico Fellini. Luca Guadagnino menghadirkan shot-shot cantik secara acak, bahkan cenderung tidak terduga. Ada adegan ditampilkan dari sudut-sudut misterius ruangan, seakan-akan penonton sedang mengintip keluarga Recchi di sudut-sudut kecil ruangan. Ada juga adegan yang ditampilkan dengans sangat megah melalui establishment shot yang sangat ekstrim. Ada juga bagian-bagian di mana penonton langsung ditabrakkan dengan close-up detil-detil tertentu untuk mempertegas sesuatu. Pennyajian adegan erotis dengan pencahayaan terang (siang) – sesuatu yang tidak lazim untuk adegan sejenis – di film ini juga sangat mengingatkan pada Dear John, sebuah film Swedia tahun 1964 (bukan Dear John-nya Amanda Seyfried). Gaya visual klasik yang tidak terduga di film ini tidak hanya menjadi bonus sisi artistiknya, tapi juga berhasil menambah intensitas suasana di setiap adegannya.
Dulu sekali, ketika masih aktif di sebuah forum sastra, ada seseorang (yang lebih pakem ilmu sastranya ketimbang saya) yang seringkali mengeluarkan pernyataan, “Saya lebih suka penulis yang menyajikan kisahnya dengan cara show, bukan tell.” Kalau pernyataan itu diterapkan pada film, mungkin I Am Love adalah contoh film show, not tell. I Am Love dipenuhi dengan berbagai mise-en-scène, baik seacra teknis maupun kontekstual. Dengan cara tersebut, Luca Guadagnino dengan hati-hati menunjukkan intrik dan dilema dari penemuan kembali cinta.
Sutradara: Luca Guadagnino
Pemain: Tilda Swinton, Flavio Parenti, Edoardo Gabbriellini, Mattia Zaccaro, Alba Rohrwacher, Pippo Delbono, Maria Paiato, Diane Fleri, Waris Ahluwalia, Marisa Berenson, Gabriele Ferzetti
Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: I Am Love
Mungkin istilah “dari perut turun ke hati (juga selangkangan)” cukup pantas untuk menggambarkan I Am Love, sebuah film asal Italia yang mampang di festival film Venice, Sundance, dan Toronte serta terpilih sebagai salah satu nominasi Golden Globe kategori Best Foreign Langue Film, lebih cocok disebut film cantik tentang hidangan meja makan – terserah mau disebut – kaum-kaum borjuis, kaum aristokrat, atau, sederhananya, kaum kaya-raya.
Mengambil latar Milan, salah satu kota eksotis di Italia, di tahun 2000, I Am Love dibuka dengan adegan jamuan peringatan ulang tahun kakek tua pemimpin sekaligus pendiri kerajaan industri tekstil keluarga Recchi (Gabriele Ferzetti), yang tidak lama lagi akan pensiun – juga wafat – dan hendak menyerahkan tahta bisnisnya ke tangan putranya, Tancredi (Pippo Delbono), dan cucu kesayangannya, Edo (Flavio Parenti). Adegan jamuan makan ini merupakan pembuka yang sangat sempurna untuk film ini. Melalu adegan jamuan makan keluarga ini, I Am Love ingin memperlihatkan terlebih dahulu struktur keluarga borjuis tersebut sebelum selanjutnya memasuki lapisan yang lebih intim dari orang-orang tersebut.
Banyak yang bisa dipelajari dari jamuan makan tersebut. Misalnya, tentang posisi Emma (Tilda Swinton), seorang wanita Russia yang diperistri Tancredi (Pippo Delbono) di rumah besar tersebut. Juga, tentang Edo, putra kesayangan keluarga Recchi (anaknya Emma), yang tengah menjalin hubungan asmara dengan Eva (Diane Fleri), seorang gadis dari keluarga biasa-biasa saja. Edo juga baru saja kalah dari balapan dari seorang koki bernama Antonio (Edoardo Gabbriellini), yang selanjutnya menjadi teman akrabnya. Selain Edo, Emma juga mempunyai seorang putra, Guadagnino (Mattia Zaccaro), dan seorang putri, Betta (Alba Rohrwacher). Juga Allegra (Marisa Berenson), nenek keluarga Recchi – tetap modis dan glamor walau sudah berlabel nenek – yang terlihat sudah banyak makan asam-garam perihal “menjadi istri di keluarga Recchi.” Juga diperkenalkan Ida (Maria Paiato), kepala pembantu – dia punya mata, tahu, dan mengerti seluk-beluk keluarga tersebut. Selain itu, penonton juga diberi tahu bahwa Edo sangat menyukai ukha, sebuah sup ala Rusia, bikinan ibunya.
Jamuan makan malam ini juga memberikan gambaran dingin dan tanpa emosi – seperti ini lah wujud komunikasi keluarga Recchi. Di keluarga-keluarga borjuis semacam ini, barang-barang mewah dan megah yang terpampang digunakan sebagai tameng untuk menutupi minimnya cinta, sementara sikap formal antar anggota keluarga merupakan tameng atas ketidakbahagiaan tiap individu. Begitulah cara hidup keluarga Recchi, atau boleh juga dibilang, “tradisi keluarga Recchi.”
Penonton melihat sisi-sisi keluarga Recchi melalui sebagian besar dari kacamata Emma Recchi. Wanita ini melayani keluarganya layaknya seorang istri sekaligus ibu. terlihat jelas bahwa wanita ini sudah sangat lihai dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai istri di sebuah keluarga borjuis. Misalnya, ketika tidak sengaja mendapati bahwa putrinya, Betta, sedang berkencan dengan seorang wanita, Emma menanggapi hal tersebu dengan bijak, sebagai seorang ibu, juga dengan pengertian, sebagai seorang wanita. Permasalahannya, apakah Emma sadar risiko menjadi seorang istri di sebuah keluarga borjuis? Apakah wanita ini bahagia dengan keadaannya? Satu hal lagi yang pasti, wanita ini begitu tenang dan sangat pandai menyimpan rapat-rapat emosinya. Sulit mengatakan apa yang sedang dan akan terjadi pada Emma.
Untuk urusan tersebut, Tilda Swinton jelas aktris yang tepat untuk memerankan Emma. Tidak banyak aktris yang bisa menyeruakkan emosi tanpa perlu banyak berekspresi, dan Tilda Swinton jelas salah satunya. Terlebih, untuk perannya di film ini beliau harus melafalkan dialog Italia dengan aksen Rusia. Jujur saja, telinga saya tuli total untuk urusan aksen Rusianya, tapi Tilda Swinton sudah sangat meyakinkan dengan dialog Italianya.
Jelas sudah bukan rahasia lagi kalau salah satu hal yang terkenal dari Italia adalah makanannya, termasuk juga bagi keluarga Recchi. Keluarga ini seakan-akan suka sekali mengadakan pesta, jamuan makan, atau sekedar duduk di restoran dan makan. Dalam I Am Love, makanan ditampilkan sebagai sesuatu yang sangat elegan sekaligus sangat erotik. Tiga tokoh penting di film ini, Emma, Edo, dan Antonio, masing-masing terhubung satu sama lain melalui makanan. Antonio adalah koki yang handal. Dengan bantuan Edo, temannya, mereka berdua hendak membuka sebuah bisnis restoran kecil-kecilan. Edo juga mempercayakan hidangan jamuan-jamuan makan penting keluarganya di tangan Antonio. Berkat makanan juga Emma dan Antonio merasakan cinta (terlarang?). Ketika Emma mencicipi udang (entah apapun itu nama makanannya) yang dimasak Antonio, gairahnya bergejolak. Sampai-sampai ketika di kesempatan selanjutnya Emma tidak sengaja melihat Antonio di seberang jalan, wanita ini membuntutuinya, bahkan akhirnya, bercinta dengannya. Emma dan Edo, yang di film ini digambarkan sebagai putra kesayangan keluarga, juga mempunyai ikatan orangtua-anak melalui sup ukha. Ikatan, melalui makanan, tersebut terjalin amat sangat kuat, sampai-sampai Edo tidak terima ikatannya itu dibagi dengan Antonio. Bagi ketiga orang itu, makanan mempunyai dampak yang sangat personal – permasalahan di film ini dimulai dan diakhiri dengan makanan.
I Am Love datang dari Italia, sudah jelas, dan merupakan bagian dari sinema Italia, bukan di kelompok neorealism tapi di kelompok opera-opera semacam Il Gattopardo karya Luchiono Visconti. Film ini menampilkan gaya-gaya visual yang sangat mengingatkan pada film-film Italia dari era Vittorio de Sica atau Federico Fellini. Luca Guadagnino menghadirkan shot-shot cantik secara acak, bahkan cenderung tidak terduga. Ada adegan ditampilkan dari sudut-sudut misterius ruangan, seakan-akan penonton sedang mengintip keluarga Recchi di sudut-sudut kecil ruangan. Ada juga adegan yang ditampilkan dengans sangat megah melalui establishment shot yang sangat ekstrim. Ada juga bagian-bagian di mana penonton langsung ditabrakkan dengan close-up detil-detil tertentu untuk mempertegas sesuatu. Pennyajian adegan erotis dengan pencahayaan terang (siang) – sesuatu yang tidak lazim untuk adegan sejenis – di film ini juga sangat mengingatkan pada Dear John, sebuah film Swedia tahun 1964 (bukan Dear John-nya Amanda Seyfried). Gaya visual klasik yang tidak terduga di film ini tidak hanya menjadi bonus sisi artistiknya, tapi juga berhasil menambah intensitas suasana di setiap adegannya.
Dulu sekali, ketika masih aktif di sebuah forum sastra, ada seseorang (yang lebih pakem ilmu sastranya ketimbang saya) yang seringkali mengeluarkan pernyataan, “Saya lebih suka penulis yang menyajikan kisahnya dengan cara show, bukan tell.” Kalau pernyataan itu diterapkan pada film, mungkin I Am Love adalah contoh film show, not tell. I Am Love dipenuhi dengan berbagai mise-en-scène, baik seacra teknis maupun kontekstual. Dengan cara tersebut, Luca Guadagnino dengan hati-hati menunjukkan intrik dan dilema dari penemuan kembali cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar