An American Werewolf in London
Sutradara: John Landis
Pemain: David Naughton, Griffin Dunne, Jenny Agutter, John Woodvine, Lila Kaye, Frank Oz, John Landis, David Schofield
Tahun Rilis: 1981
An American Werewolf, sesuai dengan judulnya, bercerita tentang seorang pemuda Amerika, David Kessler (David Naughton), yang terkena kutukan werewolf setelah mendapat serangan dari seekor/seorang werewolf, yang juga memakan nyawa temannya, Jack (Griffin Dunne), di sebuah pedesaan di Inggris. Selanjutnya, David pun dihantui oleh dilema bahwa dia adalah seorang werewolf yang akan membahayakan nyawa banyak orang – juga dihantui oleh arwah temannya, Jack, yang menginginkan agar David bunuh diri demi kebaikan banyak orang dan sendiri.
An American Werewolf in London berdiri di antara batas horror dan humor gelap. Yap, terasa humor, tapi bukan humor yang menyenangkan untuk ditertawakan, melainkan yang merinding untuk ditertawakan – disturbing atau discomfort dark humor, singkatnya.
Untuk sebuah film yang mempertontonkan adegan transformasi seorang manusia menjadi serigala jadi-jadian, spesial efek yang digunkana termasuk jempolan – apalagi untuk ukuran masanya. Yap, berkat kepiawaian Rick Baker lah film ini mampu tampil mencengangkan, terutama di adegan David berubah menjadi werewolf. Sang ahli spesial-efek-makeup itu berhasil meraih Academy Award for Best Makeup untuk kerjanya di film ini (sampai sekarang tercatat meraih sepuluh nominasi dan enam Oscar di kategori yang sama). Selain itu, film ini juga dihiasi adegan-adegan panjang, ganjil, aneh, dan jarang untuk sebuah film horror yang menawan, atau mungkin lebih tepat disebut mencengangkan. Tapi, apabila Anda bukan penonton yang hanya mencari kefantastisan visual, jelas tidak ada yang spesial dari An American Werewolf in London selain visualnya. Justru film ini seakan-akan tidak terlalu peduli dengan hal-hal intrinsik cerita, seperti pengembangan karakter dan transisi cerita.
Secara keseluruhan, An American Werewolf bukanlah film yang spesial. Walaupun begitu, film ini tetap bisa dinikmati karena keberhasilannya memadukan horror dan komedi – selain dari sisi visualnya. Film ini masih jauh dari Bride of Frankenstein, atau film bernada serupa lainnya, tapi tetap mempunyai bagian-bagian yang menarik.
Ella Enchanted
Sutradara: Tommy O'Haver
Pemain: Anne Hathaway, Hugh Dancy, Cary Elwes, Steve Coogan, Aidan McArdle, Minnie Driver, Eric Idle, Vivica A. Fox, Parminder Nagra, Jim Carter, Patrick Bergin, Joanna Lumley, Lucy Punch, Jennifer Higham, Alvaro Lucchesi, Heidi Klum
Tahun Rilis: 2004
Diadaptasi dari novel Ella Enchanted karya Gail Carson.
Kalau biasanya dongeng-dongeng kuno, terutama Cinderella, yang disulap menjadi sebuah cerita modern, kali ini malah unsur-unsur modern yang disuntikkan ke dalam dongeng. Dalam Ella Enchanted, Ella (Anne Hathaway) adalah gadis muda cantik yang hidupnya harus direpotkan oleh sebuah hadiah, lebih tepatnya sebuah kutukan, kepatuhan yang membuatnya selalu meamatuhi semua perintah yang diberikan padanya. Ditambah lagi saudari tiri Ella, yang juga ketua dari fansclub pangeran tampan, turut memanfaatkan kutukan tersebut. Ella pun memutuskan untuk berkelana mencari peri yang sudah mengutuknya untuk memintanya mencabut kembali. Ella juga berhasil menarik hati si pangeran tampan, Charmont (Hugh Dancy), yang sebentar lagi bakal dinobatkan menjadi raja, mempunyai sekelompok penggemar-gadis-remaja-anarkis, dan sepertinya sudah jadi langganan isu hangat Medieval Teen (semacam majalah remaja era medieval, kah?). Bahkan dunia Medieval Ella Enchanted memiliki sebuah mal lengkap dengan eskalator kayu – dan benar-benar bisa bergerak entah bagiamana teknologinya di masa itu (yah, ini sebuah dongeng, kan?).
Bukan cuma tampilan fisik, tapi atmosfir dan humor di film ini juga sudah disuntik dengan bau-bau modernisme. Bahkan, karena Ella juga bertindak layaknya seorang aktivis kesetaraan hak, ada tambahan muatan satir-politik di film ini. Sayangnya pesan sisipan tersebut hal tersebut disajikan dengan baik sehingga terlalu terkesan menggebu-gebu dalam penyampaiannya. Juga tidak perlu heran kalau film ini tidak menyajikan humor-humor slapstick yang juga disuntik dengan bau-bau modernisme (red army sebagai CIA/FBI/agen-rahasia era medieval, misalnya). Bukan slapstick yang renyah ala Charlie Chaplin, tapi slapstick-slapstick konvensional yang cenderung konyol. Namun tidak semua yang ada di film ini buruk, apalagi ketika berbicara soal pesona kedua pemain utamanya. Setidaknya, chemistry manus antara Anne Hathaway dan Hugh Dancy masih bisa dinikmati sebagai hiburan-hiburan pelepas penat.
Dorian Gray
Sutradara: Oliver Parker
Pemain: Ben Barnes, Colin Firth, Rebecca Hall, Ben Chaplin, Emilia Fox, Rachel Hurd-Wood, Fiona Shaw, Maryam d'Abo, Pip Torrens, Douglas Henshall, Caroline Goodall, Michael Culkin, Johnny Harris
Tahun Rilis: 2009
Diadaptasi dari novel The Picture of Dorian Gray karya Oscar Wilde.
Setelah sukses berperan sebagai Pangeran Caspian di sebuah film anak-anak hasil adaptasi dari penulis ternama Inggris, Ben Barnes di sini tampil lebih telanjang dan sensional sebagai Dorian Gray, yang juga diadaptasi dari karya seorang penulis Inggris ternama. Sejauh yang saya ingat dan yang saya tahu, Ben Barnes bukan orang pertama yang memerankan Dorian Gray di dalam layar sinematik. Sebelumnya saya pernah menonton The Picture of Dorian Gray (1945), adaptasi pertama dari satu-satunya novel Oscar Wilde (ada yang masih asing dengan nama ini?) yang diterbitkan. Hurd Hatfield, aktor Amerika yang sayangnya tidak terlalu terkenal, memerankan Dorian Gray di versi 1945 itu. Versi klasik itu mungkin lebih dikenal dengan nama Angela Lansbury, yang masih muda dan cantik, yang berhasil memenangkan Oscar-nya sebagai Sibyl Vane.
Ben Barnes OK sebagai Dorian Gray, sekalipun sebenarnya masih banyak aktor muda yang tidak kalah tampan, rupawan, dan karismatik yang lebih berpengalaman untuk memerankan Dorian Gray. Tapi, OK-lah, saya tidak keberatan dengan Ben Barnes, walaupun penampilannya di film ini tidak se-enjoyable ketika dia memerankan Caspian, walaupun ada beberapa bagian di mana permainan Ben Barnes terasa berlebihan. Di sisi lain, Colin Firth malah mencuri semua perhatian ketika dia tampil di layar. Saya tidak akan bertela-tele, versi 2009 ini memang tidak seberapa kalau dibandingkan dengan adaptasi klasiknya (saya belum membaca novel Oscar Wilder tersebut, jadi tidak bisa membandingkan dengan novelnya). Oliver Parker, yang sebelumnya juga menyutradarai The Imprtance of Being Earnest dan An Ideal Husband – dua-duanya juga diangkat dari naskah panggung Oscar Wilde, seakan-akan terlena pada sisi sensasionalnya ketimbang menggali lebih dalam makna dibalik kisah Dorian Gray ini. Bukan berarti Dorian Gray benar-benar gagal, film ini cukup berhasil menyajikan suasana mencekam yang merambat perlahan-lahan. Setidaknya, film ini masih mempunyai momen-momen yang cukup menantang. Setidaknya film ini tidak terlalu buruk-buruk amat untuk (mungkin) bisa jadi media untuk memperkenalkan sastra klasik pada generasi muda, terutama remaja-remaja-perempuan yang (mungkin) bakal suka melihat begitu banyak eksploitasi wajah Ben Barnes – oh, saya lupa, film ini tidak untuk konsumsi remaja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar