Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Rachid Bouchareb
Pemain: Jamel Debbouze, Samy Naceri, Roschdy Zem, Sami Bouajila, Bernard Blancan,Mathieu Simonet, Assaad Bouab, Benoît Giros, Mélanie Laurent, Antoine Chappey, Aurélie Eltvedt, Thomas Langmann, Thibault de Montalembert, Dioucounda Koma, Philippe Beglia
Tahun Rilis: 2006
Judul Internasional: Days of Glory
Judul Arab: بلديون
Saya tidak terlalu sering menonton film perang. Selera personal saya memang lebih ke arah film-film yang lebih personal. Tapi bukan berarti saya anti film perang, tapi saya memang jarang dipuaskan oleh film perang. Seingat saya, film perang terakhir yang berhasil memuaskan saya adalah The Wind That Shakes the Barley buah karya Ken Loach.
Pada hakikatnya, film-film perang memang bertujuan mempertontonkan adegan manusia-manusia saling membunuh satu sama lain. Tapi hanya sedikit film perang yang berhasil menyajikan kulit paling mendalam dari perang – entah itu dampaknya, lukanya, pahitnya, perihnya, dilemanya, gejolaknya, atau sekedar sisi realistiknya. Bagi saya, Indigènes termasuk dari sedikit film itu.
Indigènes, judul originalnya, kalau dibahasaindonesiakan kira-kira searti dengan “pribumi.” Film ini bercerita tentang pribumi-pribumi Afrika Utara (kaum Aljazair, kaum Tunisa, dan kaum Moroko – saat itu masih dibawah kekuasaan Perancis) yang direkrut oleh militer Perancis untuk berperang demi memerdekakan Perancis dari kekuasaan Nazi pada Perang Dunia II. Kebanyakan memutuskan untuk bergabung karena iming-imingan kemakmuran dan kesejahteraan kelak – mengingat kehidupan para pribumi tersebut terbilang miskin. Kejadian (nyata) tersebut kira-kira dimulai sekitar 1942-1943 – setting pembukaan film ini.
Itu lah yang dilakukan oleh Saïd (Jamel Debbouze), Yassir (Samy Neceri), Messaoud Souni (Roschdy Zem), dan Abdelkader (Sami Boujila). Mereka rela berperang meninggalkan kampung halaman demi kemakmuran untuk hari kelak. Ketiganya rela bergabung dengan tentara kaukasoid Perancis, menyerahkan nyawa mereka di medan perang demi tanah pertiwi yang sama sekali belum pernah mereka injak. Dan ketika mereka menginjak tanah tersebut, mereka takjub dengan kesuburannya – ketimbang kampung halaman mereka.
Saïd, Yassir, Messoud, maupun Abdelkader juga diharuskan menyanyikan lagu pertiwi (Perancis), menyeruakkan bendera Perancis – patriotisme mereka kepada Perancis dituntut di sini. Sekalipun sejak awal Perancis lah yang menjajah daerah mereka (Perancis menguasai Aljazair di sejak 1830). Bahkan seorang tentara muslim terang-terangan menyatakan bahwa orang-orang itulah – tentara Perancis – yang dulunya membunuh keluarganya, dan dengan gampang mereka menyebutnya sebagai “pengamanan.” Dan sepanjang kekuasaan itu juga Perancis terus menanamkan liberté, égalité, fraternité di benak rakyat-rakyat Afrika Utara.
Yap, patriotisme merupakan salah satu isu utama dalam Indigènes. Tapi bukan patriotisme preachy ala Tanah Air Beta atau patriotisme yang sekedar mampang ala trilogi Merah Putih, tapi mempertanyakan sejauh mana patriotisme tersebut patut diperjuangkan. Orang-orang Afrika ini sama saja dengan tentara kaukasoid Perancis. Ketika peluru German menembak mereka, mereka mati juga. Dan peluru German tidak pernah pilih-pilih.
Liberté, égalité, fraternité? Apakah militer Perancis juga menerapkan tripartite yang sama terhadap tentara-tentara Afrika – yang sama seperti mereka terapkan terhadap tentara Perancis? Sayangnya tidak. Tentara Afrika malah didiskriminasi. Mereka tidak mendapatkan jatah tomat ketika waktu makan. Mereka tidak mendapatkan jatah pulang ke kampung halaman seperti tentara Perancis lainnya. Dan tidak jarang juga mereka mendapat cemoohan dari tentara Perancis. Padahal mereka berjuang dengan tujuan yang sama, melawan musuh yang sama, di bawah naungan bendera yang sama, dan rela mati di tanah yang sama – terlebih tentara Afrika tersebut sama sekali tidak pernah menginjak tanah yang mereka bela sebelumnya.
Jelas hal tersebut tidak adil bagi tentara Afrika. Isu utamanya: Pantaskah patriotisme mereka terus diperjuangkan dengan situasi seperti itu? Sepadankah hasil akhirnya kelak?
Tentu banyak kejadian yang dialami Saïd, Yassir, Messoud, dan Abdelkader. Ada tentang pangkat. Ada tentang perselisihan dengan atasan. Ada juga tentang asmara dengan seorang gadis Perancis. Tidak mungkin rasanya kalau saya harus menjabarkan semuanya di sini. Keempat tokoh tersebut mempunyai sub-plot masing-masing. Dan berkat kepiawaian pemainnya – film ini meraih Prix d'interprétation masculine (Best Actor) di Festival Cannes – tokoh-tokoh itu pun berhasil tergambar dengan tajam.
Adegan-adegan perang di dalam film yang mendapatkan nominasi Best Foreign Language Film Oscar ini digambarkan lebih realistik. Berkat hal itu, adegan-adegan perang tersebut tampak lebih nyata – dan lebih perih ketika korban berjatuhan, ketimbang adegan-adegan perang yang fenomenal dan sensasional ala film-film klise Hollywood.
Sebenarnya, untuk ukuran film perang, tidak terlalu ada hal-hal baru di dalam Indigènes. Pencinta Saving Private Ryan dan film-film perang lainnya pasti akan akrab dengan apa yangditampilkan film ini, baik ceritanya maupun pesannya. Untungnya, Rachid Bouchareb mampu menunjukkan kedalaman dan ketajaman dalam level yang cukup menarik di Indigènes. Sekalipun pesan tentang diskirminasi dan ketidakadilan yang ditampilkan bukan barang baru lagi, pesan tersebut juga mampu dibahas dengan cukup baik – dan tidak terkesan memaksa ataupun menggurui.
Pemain: Jamel Debbouze, Samy Naceri, Roschdy Zem, Sami Bouajila, Bernard Blancan,Mathieu Simonet, Assaad Bouab, Benoît Giros, Mélanie Laurent, Antoine Chappey, Aurélie Eltvedt, Thomas Langmann, Thibault de Montalembert, Dioucounda Koma, Philippe Beglia
Tahun Rilis: 2006
Judul Internasional: Days of Glory
Judul Arab: بلديون
Saya tidak terlalu sering menonton film perang. Selera personal saya memang lebih ke arah film-film yang lebih personal. Tapi bukan berarti saya anti film perang, tapi saya memang jarang dipuaskan oleh film perang. Seingat saya, film perang terakhir yang berhasil memuaskan saya adalah The Wind That Shakes the Barley buah karya Ken Loach.
Pada hakikatnya, film-film perang memang bertujuan mempertontonkan adegan manusia-manusia saling membunuh satu sama lain. Tapi hanya sedikit film perang yang berhasil menyajikan kulit paling mendalam dari perang – entah itu dampaknya, lukanya, pahitnya, perihnya, dilemanya, gejolaknya, atau sekedar sisi realistiknya. Bagi saya, Indigènes termasuk dari sedikit film itu.
Indigènes, judul originalnya, kalau dibahasaindonesiakan kira-kira searti dengan “pribumi.” Film ini bercerita tentang pribumi-pribumi Afrika Utara (kaum Aljazair, kaum Tunisa, dan kaum Moroko – saat itu masih dibawah kekuasaan Perancis) yang direkrut oleh militer Perancis untuk berperang demi memerdekakan Perancis dari kekuasaan Nazi pada Perang Dunia II. Kebanyakan memutuskan untuk bergabung karena iming-imingan kemakmuran dan kesejahteraan kelak – mengingat kehidupan para pribumi tersebut terbilang miskin. Kejadian (nyata) tersebut kira-kira dimulai sekitar 1942-1943 – setting pembukaan film ini.
Itu lah yang dilakukan oleh Saïd (Jamel Debbouze), Yassir (Samy Neceri), Messaoud Souni (Roschdy Zem), dan Abdelkader (Sami Boujila). Mereka rela berperang meninggalkan kampung halaman demi kemakmuran untuk hari kelak. Ketiganya rela bergabung dengan tentara kaukasoid Perancis, menyerahkan nyawa mereka di medan perang demi tanah pertiwi yang sama sekali belum pernah mereka injak. Dan ketika mereka menginjak tanah tersebut, mereka takjub dengan kesuburannya – ketimbang kampung halaman mereka.
Saïd, Yassir, Messoud, maupun Abdelkader juga diharuskan menyanyikan lagu pertiwi (Perancis), menyeruakkan bendera Perancis – patriotisme mereka kepada Perancis dituntut di sini. Sekalipun sejak awal Perancis lah yang menjajah daerah mereka (Perancis menguasai Aljazair di sejak 1830). Bahkan seorang tentara muslim terang-terangan menyatakan bahwa orang-orang itulah – tentara Perancis – yang dulunya membunuh keluarganya, dan dengan gampang mereka menyebutnya sebagai “pengamanan.” Dan sepanjang kekuasaan itu juga Perancis terus menanamkan liberté, égalité, fraternité di benak rakyat-rakyat Afrika Utara.
Yap, patriotisme merupakan salah satu isu utama dalam Indigènes. Tapi bukan patriotisme preachy ala Tanah Air Beta atau patriotisme yang sekedar mampang ala trilogi Merah Putih, tapi mempertanyakan sejauh mana patriotisme tersebut patut diperjuangkan. Orang-orang Afrika ini sama saja dengan tentara kaukasoid Perancis. Ketika peluru German menembak mereka, mereka mati juga. Dan peluru German tidak pernah pilih-pilih.
Liberté, égalité, fraternité? Apakah militer Perancis juga menerapkan tripartite yang sama terhadap tentara-tentara Afrika – yang sama seperti mereka terapkan terhadap tentara Perancis? Sayangnya tidak. Tentara Afrika malah didiskriminasi. Mereka tidak mendapatkan jatah tomat ketika waktu makan. Mereka tidak mendapatkan jatah pulang ke kampung halaman seperti tentara Perancis lainnya. Dan tidak jarang juga mereka mendapat cemoohan dari tentara Perancis. Padahal mereka berjuang dengan tujuan yang sama, melawan musuh yang sama, di bawah naungan bendera yang sama, dan rela mati di tanah yang sama – terlebih tentara Afrika tersebut sama sekali tidak pernah menginjak tanah yang mereka bela sebelumnya.
Jelas hal tersebut tidak adil bagi tentara Afrika. Isu utamanya: Pantaskah patriotisme mereka terus diperjuangkan dengan situasi seperti itu? Sepadankah hasil akhirnya kelak?
Tentu banyak kejadian yang dialami Saïd, Yassir, Messoud, dan Abdelkader. Ada tentang pangkat. Ada tentang perselisihan dengan atasan. Ada juga tentang asmara dengan seorang gadis Perancis. Tidak mungkin rasanya kalau saya harus menjabarkan semuanya di sini. Keempat tokoh tersebut mempunyai sub-plot masing-masing. Dan berkat kepiawaian pemainnya – film ini meraih Prix d'interprétation masculine (Best Actor) di Festival Cannes – tokoh-tokoh itu pun berhasil tergambar dengan tajam.
Adegan-adegan perang di dalam film yang mendapatkan nominasi Best Foreign Language Film Oscar ini digambarkan lebih realistik. Berkat hal itu, adegan-adegan perang tersebut tampak lebih nyata – dan lebih perih ketika korban berjatuhan, ketimbang adegan-adegan perang yang fenomenal dan sensasional ala film-film klise Hollywood.
Sebenarnya, untuk ukuran film perang, tidak terlalu ada hal-hal baru di dalam Indigènes. Pencinta Saving Private Ryan dan film-film perang lainnya pasti akan akrab dengan apa yangditampilkan film ini, baik ceritanya maupun pesannya. Untungnya, Rachid Bouchareb mampu menunjukkan kedalaman dan ketajaman dalam level yang cukup menarik di Indigènes. Sekalipun pesan tentang diskirminasi dan ketidakadilan yang ditampilkan bukan barang baru lagi, pesan tersebut juga mampu dibahas dengan cukup baik – dan tidak terkesan memaksa ataupun menggurui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar