Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Sally Potter
Pemain: Tilda Swinton, Quentin Crisp, Billy Zane, Jimmy Somerville, John Wood, John Bott, Elaine Banham, Anna Farnworth, Sara Mair-Thomas, Anna Healy, Dudley Sutton, Simon Russell Beale, Matthew Sim, Charlotte Valandrey, Toby Stephens, Oleg Pogodin, Heathcote Williams, Thom Hoffman, Sarah Crowden, Lol Coxhill
Tahun Rilis: 1992
Diangkat dari novel Orlando: A Biography karya Virginia Woolf.
Mungkin Orlando (Tilda Swinton) termasuk salah satu manusia sempena, itu pun jikalau benar-benar nyata adanya. Ia bersyafaat untuk menggarami masa berbagai jaman. Pun turut merasa hidup dengan dua kelamin berbeda; jejantan dan perempuan. Jelas sekali, salah satu novel termasyhur Virginia Woolf ini merupakan studi masa, kelamin, dan keberadaan insani.
Orlando bukan tentang plot, ataupun konflik, melainkan lebih berupa studi insani: Apa bedanya dilahirkan sebagai perempuan atau kebalikan? Lelaki tak akan tahu pasti, pun sebaliknya. Tak heran film semacam ini diusung dari karya tangan Virginia Woolf, yang memang tersohor akan argumen-argumen sastrawinya yang memecah persoalan gender dan strata. (Yup, Virginia Woolf salah satu penulis yang paling menginspirasi saya.)
Orlando, diperankan oleh Tilda Swinton ketika bertunas jantan maupun berpucuk perempuan, dijabarkan berpostur tubuh bak androgini. Tilda Swinton, sekalipun sejatinya tak androgini, memang betullah berpostur bak androgini. Sisi menariknya, Tilda Swinton mampu menghayati feminitas saat berwujud lelaki, pun dapat meresapi maskulinitas saat berbidang perempuan. Dimulai dari ujung era Elizabeth I (diperankan cross-gender oleh Quentin Crisp), Orlando menjalani satu jaman ke jaman lain dengan dua identitas berbeda; lelaki di setengah film awal dan perempuan di setengah film akhir.
Sekali, Ratu Elizabeth memberi petuah: Bahwasanya Orlando boleh memiliki rumah mewahnya selama-lamanya, asalkan ia mampu mempertahankan kemudaannya. Begitulah selanjutnya: Orlando kekal. Dengan masa yang berbeda, Orlando menghadapi permasalahan yang berbeda. Dengan kelamin yang berbeda, kesulitan yang dihadap pun turut berbeda pula. Tatkala berwujud lelaki, Orlando disibukkan pada ikhwal dominasi dan kegagahan: Mencampakkan tunangan demi cinta, merasakan karma, sampai perihal perang dan perihnya pengkhianatan. Yang mana yang lebih menyakitkan: Pengkhianatan perempuan atau lelaki? Manakala berraut perempuan, Orlando malah mendapat tekanan yang berbeda: Mulai dari persoalan hak sampai persoalan seks. Mana yang lebih naim: Menjadi lelaki atau perempuan?
Terebab khuluk dan perangainya yang sering tak wajar, sejatinya tiada novel Virginia Woolf yang mudah untuk diadaptasi ke layar lebar. (Saya tak terlalu suka dengan adaptasi stream of consciousness pada novel Mrs. Dalloway.) Untungnya, sejauh ini, Orlando lah yang paling memuaskan. Sally Potter memotong beberapa detil jaman, pun tak terlalu repot mendeskripsikan ketakwajaran. Pilihan untuk menitkberatkan pada nanah pokoknya adalah pilihan tepat untuk melepaskan film ini dari kebosanan. (Bukan berarti saya menyatakan bosan pada novel Virginia Woolf, saya suka, tapi saya tak yakin andaikata diadaptasi menjadi film dengan cara polos dan legat.)
Pemain: Tilda Swinton, Quentin Crisp, Billy Zane, Jimmy Somerville, John Wood, John Bott, Elaine Banham, Anna Farnworth, Sara Mair-Thomas, Anna Healy, Dudley Sutton, Simon Russell Beale, Matthew Sim, Charlotte Valandrey, Toby Stephens, Oleg Pogodin, Heathcote Williams, Thom Hoffman, Sarah Crowden, Lol Coxhill
Tahun Rilis: 1992
Diangkat dari novel Orlando: A Biography karya Virginia Woolf.
Mungkin Orlando (Tilda Swinton) termasuk salah satu manusia sempena, itu pun jikalau benar-benar nyata adanya. Ia bersyafaat untuk menggarami masa berbagai jaman. Pun turut merasa hidup dengan dua kelamin berbeda; jejantan dan perempuan. Jelas sekali, salah satu novel termasyhur Virginia Woolf ini merupakan studi masa, kelamin, dan keberadaan insani.
Orlando bukan tentang plot, ataupun konflik, melainkan lebih berupa studi insani: Apa bedanya dilahirkan sebagai perempuan atau kebalikan? Lelaki tak akan tahu pasti, pun sebaliknya. Tak heran film semacam ini diusung dari karya tangan Virginia Woolf, yang memang tersohor akan argumen-argumen sastrawinya yang memecah persoalan gender dan strata. (Yup, Virginia Woolf salah satu penulis yang paling menginspirasi saya.)
Orlando, diperankan oleh Tilda Swinton ketika bertunas jantan maupun berpucuk perempuan, dijabarkan berpostur tubuh bak androgini. Tilda Swinton, sekalipun sejatinya tak androgini, memang betullah berpostur bak androgini. Sisi menariknya, Tilda Swinton mampu menghayati feminitas saat berwujud lelaki, pun dapat meresapi maskulinitas saat berbidang perempuan. Dimulai dari ujung era Elizabeth I (diperankan cross-gender oleh Quentin Crisp), Orlando menjalani satu jaman ke jaman lain dengan dua identitas berbeda; lelaki di setengah film awal dan perempuan di setengah film akhir.
Sekali, Ratu Elizabeth memberi petuah: Bahwasanya Orlando boleh memiliki rumah mewahnya selama-lamanya, asalkan ia mampu mempertahankan kemudaannya. Begitulah selanjutnya: Orlando kekal. Dengan masa yang berbeda, Orlando menghadapi permasalahan yang berbeda. Dengan kelamin yang berbeda, kesulitan yang dihadap pun turut berbeda pula. Tatkala berwujud lelaki, Orlando disibukkan pada ikhwal dominasi dan kegagahan: Mencampakkan tunangan demi cinta, merasakan karma, sampai perihal perang dan perihnya pengkhianatan. Yang mana yang lebih menyakitkan: Pengkhianatan perempuan atau lelaki? Manakala berraut perempuan, Orlando malah mendapat tekanan yang berbeda: Mulai dari persoalan hak sampai persoalan seks. Mana yang lebih naim: Menjadi lelaki atau perempuan?
Terebab khuluk dan perangainya yang sering tak wajar, sejatinya tiada novel Virginia Woolf yang mudah untuk diadaptasi ke layar lebar. (Saya tak terlalu suka dengan adaptasi stream of consciousness pada novel Mrs. Dalloway.) Untungnya, sejauh ini, Orlando lah yang paling memuaskan. Sally Potter memotong beberapa detil jaman, pun tak terlalu repot mendeskripsikan ketakwajaran. Pilihan untuk menitkberatkan pada nanah pokoknya adalah pilihan tepat untuk melepaskan film ini dari kebosanan. (Bukan berarti saya menyatakan bosan pada novel Virginia Woolf, saya suka, tapi saya tak yakin andaikata diadaptasi menjadi film dengan cara polos dan legat.)
Kendaraan bergaya wagon mungkin perlahan-lahan mulai ditingalkan sebab crossover terus bermunculan dengan tampilan dan teknologi lebih menggoda. Tetapi sepertinya hal hal yang demikian tak membuat Toyota berhenti memproduksi kendaraan beroda empat Continue Reading →
BalasHapus