Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Nicholas Hytner
Pemain: Nigel Hawthorne, Helen Mirren, Ian Holm, Rupert Graves, Amanda Donohoe, Rupert Everett, Julian Rhind-Tutt, Julian Wadham, Jim Carter, Geoffrey Palmer, Charlotte Curley, Anthony Calf, Matthew Lloyd Davies, Adrian Scarborough, Paul Corrigan
Tahun Rilis: 1994
Kalau The King's Speech bercerita tentang calon raja pesakitan yang segan naik tahta, pendahulunya ini berkisah tentang raja tua pesakitan yang enggan turun tahta. Manakalah di King's Speech simpati penonton timbul akibat tingkah bodoh sang calon raja yang sudah lebih dulu memandang rendah potensi dirinya, di film ini si raja dianggap bodoh malah karena menghancurkan segala yang ia punya.
Di awal saja film sudah dihadapkan pada kehancuran kekuasan Raja George III (Nigel Hawthorne) atas Amerika yang semula di bawah tekuk lututnya. Belum lagi putranya, Prince of Wales (Rupert Everett) makin lama makin tak sabaran ingin bertahta di kursi raja. Hubungan bapak-anak semakin meregang. Suatu pagi si Raja keluar dari istana hanya dengan mengenakan piyama (tak layak pandang), dibuntuti Ratu (Helen Mirren) serta pengikut-pengikutnya yang kesemuanya kebingungan. Tanpa permisi si Raja mencumbu lady-in-waiting kepercayaan Ratu demi melampiaskan polah seksualnya. Di sebuah konser yang menjemukan, si Raja mendadak muak hanya karena seorang bansawan hamil sekedar pingin duduk. Di konser lainnya, si Raja bergulat dengan anaknya sendiri. Di tengah ingar-bingar itu, si Ratu nan setia cuma bisa bersumringah demi menjaga citra. Di sebuah momen-momen intens, sehabis diludahi suaminya, dengan muka penuh kasih tapi pasti, si Ratu bertanya pada suaminya: “Apakah kamu merasa tak sehat?”
Tak terpikir aktor-aktris Inggris lain yang mampu membawakan adegan itu secemerlang Nigel Hawthorne dan Helen Mirren. Vanessa Redgrave? Mungkin. Mungkin juga tak secerkas itu. Deretan bintang televisi Inggris yang memenuhi peran-peran pembantu juga turut berkontribusi pada nikmatnya kejenakaan film ini.
Seorang dokter khusus kejiwaan didatangkan (Ian Holm). Metoda yang ia gunakan cukup masokis; membuat seisi istana tercengah-cengah sambil kucar-kacir sendiri. Di sisi lain, kelompok pendukung Prince of Wales malah memanfaatkan situasi untuk berusaha menyetir parlemen untuk bersegera mengunmumkan pemindahaan tahta yang sedang kosong. Berhubung teknologi psikiatri masa itu belum mampu mencapai penyakit si Raja (yang menurut ilmu medis modern diduga sebagai acute intermittent porphyria), maka kembali pada si Raja urusan kesehatannya.
Berbeda dengan humor The King's Speech yang cenderung anggun-malu-malu, humor pada The Madness of King George lebih banal dan tak tahu malu. Lucunya, Nicholas Hytner malah menabraknya dengan tata-gaya elegan. Tentu jenaka melihat tingkah-polah si Raja yang semakin menggila, sementara seisi istana yang masih waras berusaha seelegan mungkin menutupi. Nicholas Hytner juga tak serta merta hilang rasa pada bagian melankolinya, tanpa perlu bersentimentil. Pun ia tak kehilangan urgensi.
Sebetulnya The King's Speech dan The Madness of King George mempunya kesamaan: Pancuran kenikmataan dari pencak-silat akting para pemainnya. Kala tokoh Colin Firth menyembuhkan ketidakmampunya dengan keberanian dan kepercayaan diri, George III malah mengalahkan kegilaannya menggunakan keeksentrikan. Keeksentrikan berbeda tipis dengan kegilaan, bukan?
Pemain: Nigel Hawthorne, Helen Mirren, Ian Holm, Rupert Graves, Amanda Donohoe, Rupert Everett, Julian Rhind-Tutt, Julian Wadham, Jim Carter, Geoffrey Palmer, Charlotte Curley, Anthony Calf, Matthew Lloyd Davies, Adrian Scarborough, Paul Corrigan
Tahun Rilis: 1994
Kalau The King's Speech bercerita tentang calon raja pesakitan yang segan naik tahta, pendahulunya ini berkisah tentang raja tua pesakitan yang enggan turun tahta. Manakalah di King's Speech simpati penonton timbul akibat tingkah bodoh sang calon raja yang sudah lebih dulu memandang rendah potensi dirinya, di film ini si raja dianggap bodoh malah karena menghancurkan segala yang ia punya.
Di awal saja film sudah dihadapkan pada kehancuran kekuasan Raja George III (Nigel Hawthorne) atas Amerika yang semula di bawah tekuk lututnya. Belum lagi putranya, Prince of Wales (Rupert Everett) makin lama makin tak sabaran ingin bertahta di kursi raja. Hubungan bapak-anak semakin meregang. Suatu pagi si Raja keluar dari istana hanya dengan mengenakan piyama (tak layak pandang), dibuntuti Ratu (Helen Mirren) serta pengikut-pengikutnya yang kesemuanya kebingungan. Tanpa permisi si Raja mencumbu lady-in-waiting kepercayaan Ratu demi melampiaskan polah seksualnya. Di sebuah konser yang menjemukan, si Raja mendadak muak hanya karena seorang bansawan hamil sekedar pingin duduk. Di konser lainnya, si Raja bergulat dengan anaknya sendiri. Di tengah ingar-bingar itu, si Ratu nan setia cuma bisa bersumringah demi menjaga citra. Di sebuah momen-momen intens, sehabis diludahi suaminya, dengan muka penuh kasih tapi pasti, si Ratu bertanya pada suaminya: “Apakah kamu merasa tak sehat?”
Tak terpikir aktor-aktris Inggris lain yang mampu membawakan adegan itu secemerlang Nigel Hawthorne dan Helen Mirren. Vanessa Redgrave? Mungkin. Mungkin juga tak secerkas itu. Deretan bintang televisi Inggris yang memenuhi peran-peran pembantu juga turut berkontribusi pada nikmatnya kejenakaan film ini.
Seorang dokter khusus kejiwaan didatangkan (Ian Holm). Metoda yang ia gunakan cukup masokis; membuat seisi istana tercengah-cengah sambil kucar-kacir sendiri. Di sisi lain, kelompok pendukung Prince of Wales malah memanfaatkan situasi untuk berusaha menyetir parlemen untuk bersegera mengunmumkan pemindahaan tahta yang sedang kosong. Berhubung teknologi psikiatri masa itu belum mampu mencapai penyakit si Raja (yang menurut ilmu medis modern diduga sebagai acute intermittent porphyria), maka kembali pada si Raja urusan kesehatannya.
Berbeda dengan humor The King's Speech yang cenderung anggun-malu-malu, humor pada The Madness of King George lebih banal dan tak tahu malu. Lucunya, Nicholas Hytner malah menabraknya dengan tata-gaya elegan. Tentu jenaka melihat tingkah-polah si Raja yang semakin menggila, sementara seisi istana yang masih waras berusaha seelegan mungkin menutupi. Nicholas Hytner juga tak serta merta hilang rasa pada bagian melankolinya, tanpa perlu bersentimentil. Pun ia tak kehilangan urgensi.
Sebetulnya The King's Speech dan The Madness of King George mempunya kesamaan: Pancuran kenikmataan dari pencak-silat akting para pemainnya. Kala tokoh Colin Firth menyembuhkan ketidakmampunya dengan keberanian dan kepercayaan diri, George III malah mengalahkan kegilaannya menggunakan keeksentrikan. Keeksentrikan berbeda tipis dengan kegilaan, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar