Destino
Sutradara: Dominique Monféry
Tahun Rilis: 2003
Tahun Rilis: 2003
Salvador Dalí, salah satu pelukis surealis terbaik sepanjang sejarah manusia. Walt Disney, salah satu tokoh berpengaruh dalam sejarah animasi Amerika, juga dunia. Konon kedua manusia ini saling menganggumi satu sama lain. Apa hasilnya kalau keduanya berkolaborasi dalam sebuah film pendek? Jadilah Destino. Produksi Destino sebenarnya dimulai di tahun 1945. Kolaborasi ini bisa dibilang tersendat-sendat nasibnya karena berbagai macam alasan, salah satunya finansial. Baru lah lima puluh delapan tahun kemudian (tahun 2003) Destino bisa dinikmati oleh khalayak ramai. Jauh setelah Dalí dan Disney berpulang ke sisiNya.
Secara keseluruhan Destino lebih seperti tribute untuk Dalí ketimbang Disney. Sekalipun film ini mendapat polesan tangan CGI, yang artinya tidak benar-benar animasi lukisan kanvas seperti yang diharapkan untuk seorang Dalí, film ini tidak kehilangan pesona seorang Dalí. Destino lebih ke arah imajiner ketimbang ke arah animasi-animasi Disney. Apa jadinya kalau seorang Salvador Dalí bicara tentang cinta? Mungkin Destino bisa jadi jawabannya. Diiringi dengan sebuah ballad ala Meksiko, film yang cuma berdurasi kurang lebih enam menit sangat sederhana. Sangat simpel. Ketimbang bercerita, film ini malah bernyanyi. Bernada. Berirama. Dan tentunya imajiner, sesuai dengan ciri khas seorang Salvador Dalí. Dalí menyebut proyek ini sebagai “a magical exposition on the problem of life in the labyrinth of time.” Hasilnya adalah sebuah campur aduk yang menawan tentang cinta. Tapi yang benar-benar membuat Destino sepesial adalah kekuatan imajinasinya yang menurut saya sudah cukup mewakili seorang Salvador Dalí.
Secara keseluruhan Destino lebih seperti tribute untuk Dalí ketimbang Disney. Sekalipun film ini mendapat polesan tangan CGI, yang artinya tidak benar-benar animasi lukisan kanvas seperti yang diharapkan untuk seorang Dalí, film ini tidak kehilangan pesona seorang Dalí. Destino lebih ke arah imajiner ketimbang ke arah animasi-animasi Disney. Apa jadinya kalau seorang Salvador Dalí bicara tentang cinta? Mungkin Destino bisa jadi jawabannya. Diiringi dengan sebuah ballad ala Meksiko, film yang cuma berdurasi kurang lebih enam menit sangat sederhana. Sangat simpel. Ketimbang bercerita, film ini malah bernyanyi. Bernada. Berirama. Dan tentunya imajiner, sesuai dengan ciri khas seorang Salvador Dalí. Dalí menyebut proyek ini sebagai “a magical exposition on the problem of life in the labyrinth of time.” Hasilnya adalah sebuah campur aduk yang menawan tentang cinta. Tapi yang benar-benar membuat Destino sepesial adalah kekuatan imajinasinya yang menurut saya sudah cukup mewakili seorang Salvador Dalí.
Den danske dikteren
Sutradara: Torill Kove
Tahun Rilis: 2006
Judul Internasional: The Danish Poet
Tahun Rilis: 2006
Judul Internasional: The Danish Poet
The Danish Poet bercerita tentang Kasper Jørgensen, seorang penyair Denmark yang sedang buntu inspirasi. Dalam usaha pencarian inspirasi, Kasper bertualang ke Norwegia untuk menemui Sigrid Undset, pengarang idamannya. Di perjalanan, Kasper kepincut dengan Ingeborg, putri seorang petani Norwegia. Sayangnya Ingeborg sudah dijodohkan dengan petani tetangga. Demi ketulusan cinta, Ingeborg pun membuat janji tidak akan pernah memotong rambutnya sampai bertemu kembali dengan pujaan hati.
Animasi gambar yang digunakan bisa dibilang tradisional. Sekalipun tradsional, The Danish Poet tidak serta merta kehilangan pesona. Kemenawanannya justru ada pada kemasannya. Humor-humornya kocak, tapi tidak kekanak-kanakan. Manis, tanpa perlu dilebih-lebihkan. Dan dengan cara yang begitu murni, dengan cara bercerita menggunakan narator orang ketiga yang sangat baik, The Danish Poet berhasil tampil sangat asyik untuk dinikmati. Tanpa perlu bertele-tele, The Danish Poet berbicara tentang hal yang tidak perlu bertele-tele juga: “Bahwa hidup ini dibangun dari kemungkinan-kemungkinan kecil.”
Animasi gambar yang digunakan bisa dibilang tradisional. Sekalipun tradsional, The Danish Poet tidak serta merta kehilangan pesona. Kemenawanannya justru ada pada kemasannya. Humor-humornya kocak, tapi tidak kekanak-kanakan. Manis, tanpa perlu dilebih-lebihkan. Dan dengan cara yang begitu murni, dengan cara bercerita menggunakan narator orang ketiga yang sangat baik, The Danish Poet berhasil tampil sangat asyik untuk dinikmati. Tanpa perlu bertele-tele, The Danish Poet berbicara tentang hal yang tidak perlu bertele-tele juga: “Bahwa hidup ini dibangun dari kemungkinan-kemungkinan kecil.”
Piotruś i wilk
Sutradara: Suzie Templeton
Tahun Rilis: 2006
Judul Internasional: Peter and the Wolf
Film ini diangkat dari dongeng Peter and the Wolf karya Sergei Prokofiev.
Sekalipun stop mation yang digunakan terbilang kelam untuk ukuran sebuah adaptas dongeng klasik dari Rusia. Peter and the Wolf tidak kehilangan esensi, simpati, dan pesona kisah tersebut. Dongeng tersebut nyatanya dengan cemerlang berhasil diangkat ke level yang lebih matang. Orang-orang di sekitar Peter ditampilkan sedingin salju, kontemporer, dan dengkit. Sementara teman-teman binatang Peter ditampilkan sehangat mungkin. Yang jadi titik puncak pesona Peter and the Wolf justru penyajian tatapan mata Peter yang begitu intens. Boneka ternyata bisa juga menampilkan emosi sedalam ini. Di mata itu lah tinggal segala sisi gelap manusia. Mata-mata makhluk lain juga tidak kalah intens. Mata lah kunci sukses utama stop mation ini. Dan Peter pun dihadapkan pada sebuah masalah klasik: keberanian.
Logorama
Sutradara: François Alaux, Hervé de Crécy, & Ludovic Houplain
Tahun Rilis: 2009
Ronald McDonald. Big Boy. haribo. Mr. Clean. Bidenbum. Esso. Original Pringles. Pringles Hot & Spicy. Pizza Hut. KFC. Nintendo. Master Card. VAIO. Microsoft. Zenith. North Face. Apple. Dan masih banyak lagi logo dan icon-icon marketing lainnya ditampilkan di Logorama, sebuah animasi unik tentang logo. Bahkan Ronald McDonald mendapat porsi lebih sebagai krimnal. Sementara dua Bidenbum diceritakan sebagai polisi-polisi yang memburu icon rumah makan cepat saji itu.
Saya rasa yang ditampilkan di dalam Logorama adalah sebuah dunia satir sebagai pengganti dunia nyata ini. Dunia di mana marketing sudah meraja-lela melang-lang buana. Dunia di mana logo-logo tersebut sudah mendarah daging sebagai bagian dari kehidupan masyarakat maju. Masyarakat modern. Dan bukan rahasia lagi kalau segala macam logo modern tersebut sudah kelewat mewabah, wabah alamiah pun akan benar-benar datang. Peringatan alam.
Kalau boleh saya bilangi, Logorama termasuk salah satu animasi modern teraneh yang pernah saya tonton. Sudah jelas film ini punya misi tersendiri. Dan sudah jelas lelucon-lelucon yang ditampilkan mengandung pesan satu arah. Setidaknya Logorama tidak menyampaikan maksudnya dengan terlalu mendidih-didih. Setidaknya lelucon di film ini mampu mengocok perut. Saya penasaran, apakah kreator film ini mendapat ijin menggunakan ikon dan logo-logo tersebut? Kalau iya, repot juga dong harus minta ijin ke sebegitu banyak trademark.
The Lost Thing
Sutradara: Andrew Ruhemann & Shaun Tan
Tahun Rilis: 2010
Diangkat dari buku The Lost Thing karya Shaun Tan.
Seorang bocah menemukan sebuah “The Lost Thing” di tepi pantai. Tidak seorang pun pedul.i Namun bocah itu tertarik. Bermain lah dia dengan “The Lost Thing” itu. Dalam waktu singkat, sebuah kedekatan pun terjalin. Bermodalkan simpati dan hati nurani, bocah itu bertekad membantu si “The Lost Thing” mencari habitatnya (atau tempatnya yang sebenarnya).
Cerita sederhana dalam animasi Australia ini ditampilkan dengan kadar sensitifitas dan sensibilitas yang pas. Di situ kuncinya. CGI yang kaku dan kikuk justru jadi daya artistiknya. Dan satu pesona lagi. Kekikukan itu justru dibangun dengan sangat hati-hati. Dengan sangat teratur. Saya suka ketajaman animasinya, juga kontras warnanya. Pada akhirnya, The Lost Thing hadir berhasil menghangatkan seperti warna-warna cerah matahari yang digunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar