Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Eran Riklis
Pemain: Hiam Abbass, Ali Suliman, Rona Lipaz-Michael, Doron Tavory, Tarik Kopty, Amos Lavi, Amnon Wolf, Liron Baranes, Smadar Jaaron, Danny Leshman, Ayelet Robinson, Amos Tamam, Loai Nofi, Hili Yalon, Makram Khoury
Tahun Rilis: 2008
Judul Internasional: Lemon Tree
Judul Arab: شجرة ليمون
Konyol memang. Salma Zidane (Hiam Abbass), seorang janda yang tinggal di West Bank (semacam area perbatasan Israel-Palestina), mati-matian berjuang mempertahankan kebun lemonnya yang bakal digusur. Padahal pihak penggusur, pemerintah Israel, sudah menjanjikan kompensasi (entah besar atau kecil, tidak disebutkan) sebagai pengganti kebun lemonnya. Alasan penggusurannya pun bisa dibilang konyol-tak-konyol: seorang Menteri Pertahanan Israel (Doron Tavory) baru saja pindah di sebuah rumah di seberang kebun lemon milik Salma (di wilayah Israel). Kebun Lemon salma yang sebegitu lebatnya dicurigai menganggu keamanan Pak Menteri, misalnya, bisa-bisa saja seseorang bersembunyi di balik rindangnya pepohonan lemon itu untuk menembakkan peluru. Padahal berbagai sistem keamanan mutakhir sudah dipasangi: mulai dari kamera pengintai sampai kawat berduri. Kurang apa lagi coba? Kenapa juga Pak Menteri mau tinggal di dekat tanah Palestina (kalau tidak mau keamanaannya terancam)?
Tapi, bak sihir atau hipnotis, untung Hiam Abbass mampu menghidupi perannya yang satu ini. Aktris keturunan Palestina yang kini menetap di Perancis itu tidak membuat tidak membuat Selma Zidane terlihat mengemis-ngemis simpati, pun tidak membuat si janda itu terlihat lemah dan lunglai, sekalipun yang dilawan adalah sebuah opresor yang merasa punya kekuatan untuk membantai. Yang dilakukan Hiam Abbass hanya menampilkan Salma Zidane sebagai seorang jandai yang berdiri sebagai manusia, manusia yang punya nilai-nilai kemanusiaan, cuma manusia yang merasa hak (dan segala kepentingannya) diusik oleh orang yang punya kuasa.
Sudah lima puluh tahun Selma Zidane tinggal dan menghidupi kebun lemon di tanah warisan moyangnya itu, dan selama itu juga tidak ada peluru atau bom yang meluncur dari kebunnya, begitu bantah si wanita janda. Kalau-kalau ada peluru yang tiba-tiba meluncur dari kebun lemonnya, menuju kediaman Pak Menteri, yang mana yang salah: kerindangan kebun lemon Bu Salma atau posisi kediaman Pak Menteri?
Ah, tapi hukum dan politik memang selalu bicara lain. Walaupun Bu Salma, dan Ziad Daud (Ali Sulaiman) pengacara muda baik hati yang rela membantunya, sudah mati-matian memperjuangkan kasus perdata ini, kebun lemon itu tetap saja dipagari, dan Bu Salma tidak diizinkan menginjakkan kaki di tanahnya sendiri. Bahkan cuma sekedar untuk menyirami kebun lemonnya. Hasilnya, kebun lemon itu jadi kering kerontang. Tapi Bu Salma tidak mau menyerahkan harta warisan berharganya itu begitu saja. Dengan kemantapan dan keberanian yang membuncah-buncah, Bu Salma dan pengacaranya, mengajukan kasus ini ke tingkat Mahkamah Agung (Supreme Court). Tentu saja hal ini menarik hendusan-hedusan hidung nyamuk-nyamuk media massa, bukan cuma lokal dan interlokal, tapi juga internasional. Bendera-bendera berbagai negara pun ditancapkan di kebun lemon Bu Salma, iming-iming mendukung Bu Salma atas nama kemanusiaan. Sementara Pak Menteri, ketika ditanyai, cuma bisa menjawab: “Kenapa sih harus disibukkan oleh sekedar kebun lemon?” Penting gak sih? Ah, politik dan hukum, kadang konyol memang.
Gampang mengatakan kalau sebaiknya Bu Salma menerima putusan pengadilan, kebun lemonnya di gusur, dan ia mendapatkan kompensasi, lalu terbang ke Amerika seperti yang disarankan anaknya. Lagipula kebun lemonnya memang tidak seproduktif masa silam. Dan ia cuma tinggal sendirian di rumah kayu di samping kebun lemon itu. Hanya seorang pekerja tua, yang sudah seperti keluarga, yang setidaknya jadi pengobat hari-hari sepi Bu Salma. Bu Salma memang kesepian. Anak-anaknya sudah punya keluarga sendiri-sendiri. Kini ia cuma mau menanti masa tua (walau sebenarnya belum terlalu tua) di kebun lemon itu. Kebun lemon yang penuh memori-memori hangat masa silam.
Namun, di lubuk yang paling dasar, Bu Salma memang kesepian. Maka kedatangan si pengacara muda ibarat siraman bagi dahaga kesepiannya itu. Di mata Ziad Daud pun, Bu Salam tetap cantik dan menawan. Tak luput oleh usia. Dan melihat keberanian Bu Salma membangkitkan hasrat tersendiri yang sudah lama diselali. Tapi Bu Salma cukup tahu diri. Walau di saat-saat tertentu, di puncak ia merasa sepi, kecupan kecil pun terjadi.
Tapi bukan cinta, atau asmara, yang ingin dicerkaskan dari hubungan Bu Salma dan Ziad Daud, melainkan kesepian. Kesepian yang sama yang juga dirasakan Mira (Rona Lipaz-Michael), istri Pak Menteri Pertahanan Israel yang selalu ditinggal pergi kesana-kemari. Kerap kali ia ditanyai temannya, tentang kebahagiannya, ia tidak menjawab kalau ia tidak bahagia. Mira mengerti risikonya sebagai istri menteri. Karena, kerap kali pula suaminya berkata, entah pertanyaan atau pernyataan, “Susah kan jadi Bu Menteri?”
Kehadiran sosok Mira ini merupakan penyeimbang penggambaran kaum opresor yang kebanyakan sesuka hati sendiri. Melihat perjuangan, kesusahan, kesendirian, dan ketegaran Bu Salma, membuat Mira menyadari sesuatu: ketidakbahagiannya. Mereka sama-sama sendiri. Mereka sama-sama wanita. Dan karena hal tersebut juga Mira memberi simpati pada Bu Salma yang tinggal di seberang rumahnya, yang tidak diberikan oleh suaminya. Ia juga akan melakukan hal yang sama kalau berada di posisi Bu Salma, tegasnya pada suaminya. Ketika Mira mengucap maaf, Bu Salma memberikan wajah mengerti. Seolah-olah keduanya saling mengerti sebagai wanita.
Tentu, bahkan jelas sekali, Lemon Tree bisa dilihat sebagai metafora konflik dua kubu yang sudah tidak perlu saya sebut lagi itu, di mana kediaman Pak Menteri mewakili pihak yang lebih punya kekuatan sehingga merasa lebih punya kuasa (singkatnya: opresor) sementara kebun lemon Bu Salma mewakili pihak yang lebih lemah tapi tetap memberikan perlawanan ketika diberi tekanan. Pihak-pihak seperti Pak Menteri ini terkadang, untuk banyak kasus malah sering, bertindak sewenang-wenang sesuai kuasa yang dirasanya. Pak Menteri, dengan remehnya, menyetujui penggusuran kebun lemon Bu Salma atas namanya. Namun, ketika keluarganya membutuhkan lemon, Pak Menteri sesuaka-hati pula mencuri dari kebun lemon yang bakal digusurnya. Seolah-olah tidak peduli. Seolah-olah tidak punya dosa sama sekali.
Pak Menteri tidak mengerti sama sekali betapa nominal berapapun tidak bakal mampu membeli nilai-nilai sentimentil kebun lemon itu bagi Bu Salma. Betapi pohon-pohon lemon itu hidup dan lebih dari sekadar pohon bagi janda itu. Betapa ada nilai-nilai kemanusiaan di balik kebun-kebun lemon itu. Seperti halnya Paradise Now, yang mencoba menyatakan kalau terorisme adalah produk kemanusian, bukan politik atau hukum, penggusuran kebun lemon Bu Salma juga akibat dari krisis kemanusiaan. Hal ini lah yang tidak bakal dimengerti oleh mereka-mereka yang merasa terpelajar yang duduk di ruang sidang atau kursi politik: konyol memang mempertahankan kebun lemon ketimbang keamanan Pak Menteri.
Sutradara: Eran Riklis
Pemain: Hiam Abbass, Ali Suliman, Rona Lipaz-Michael, Doron Tavory, Tarik Kopty, Amos Lavi, Amnon Wolf, Liron Baranes, Smadar Jaaron, Danny Leshman, Ayelet Robinson, Amos Tamam, Loai Nofi, Hili Yalon, Makram Khoury
Tahun Rilis: 2008
Judul Internasional: Lemon Tree
Judul Arab: شجرة ليمون
Konyol memang. Salma Zidane (Hiam Abbass), seorang janda yang tinggal di West Bank (semacam area perbatasan Israel-Palestina), mati-matian berjuang mempertahankan kebun lemonnya yang bakal digusur. Padahal pihak penggusur, pemerintah Israel, sudah menjanjikan kompensasi (entah besar atau kecil, tidak disebutkan) sebagai pengganti kebun lemonnya. Alasan penggusurannya pun bisa dibilang konyol-tak-konyol: seorang Menteri Pertahanan Israel (Doron Tavory) baru saja pindah di sebuah rumah di seberang kebun lemon milik Salma (di wilayah Israel). Kebun Lemon salma yang sebegitu lebatnya dicurigai menganggu keamanan Pak Menteri, misalnya, bisa-bisa saja seseorang bersembunyi di balik rindangnya pepohonan lemon itu untuk menembakkan peluru. Padahal berbagai sistem keamanan mutakhir sudah dipasangi: mulai dari kamera pengintai sampai kawat berduri. Kurang apa lagi coba? Kenapa juga Pak Menteri mau tinggal di dekat tanah Palestina (kalau tidak mau keamanaannya terancam)?
Tapi, bak sihir atau hipnotis, untung Hiam Abbass mampu menghidupi perannya yang satu ini. Aktris keturunan Palestina yang kini menetap di Perancis itu tidak membuat tidak membuat Selma Zidane terlihat mengemis-ngemis simpati, pun tidak membuat si janda itu terlihat lemah dan lunglai, sekalipun yang dilawan adalah sebuah opresor yang merasa punya kekuatan untuk membantai. Yang dilakukan Hiam Abbass hanya menampilkan Salma Zidane sebagai seorang jandai yang berdiri sebagai manusia, manusia yang punya nilai-nilai kemanusiaan, cuma manusia yang merasa hak (dan segala kepentingannya) diusik oleh orang yang punya kuasa.
Sudah lima puluh tahun Selma Zidane tinggal dan menghidupi kebun lemon di tanah warisan moyangnya itu, dan selama itu juga tidak ada peluru atau bom yang meluncur dari kebunnya, begitu bantah si wanita janda. Kalau-kalau ada peluru yang tiba-tiba meluncur dari kebun lemonnya, menuju kediaman Pak Menteri, yang mana yang salah: kerindangan kebun lemon Bu Salma atau posisi kediaman Pak Menteri?
Ah, tapi hukum dan politik memang selalu bicara lain. Walaupun Bu Salma, dan Ziad Daud (Ali Sulaiman) pengacara muda baik hati yang rela membantunya, sudah mati-matian memperjuangkan kasus perdata ini, kebun lemon itu tetap saja dipagari, dan Bu Salma tidak diizinkan menginjakkan kaki di tanahnya sendiri. Bahkan cuma sekedar untuk menyirami kebun lemonnya. Hasilnya, kebun lemon itu jadi kering kerontang. Tapi Bu Salma tidak mau menyerahkan harta warisan berharganya itu begitu saja. Dengan kemantapan dan keberanian yang membuncah-buncah, Bu Salma dan pengacaranya, mengajukan kasus ini ke tingkat Mahkamah Agung (Supreme Court). Tentu saja hal ini menarik hendusan-hedusan hidung nyamuk-nyamuk media massa, bukan cuma lokal dan interlokal, tapi juga internasional. Bendera-bendera berbagai negara pun ditancapkan di kebun lemon Bu Salma, iming-iming mendukung Bu Salma atas nama kemanusiaan. Sementara Pak Menteri, ketika ditanyai, cuma bisa menjawab: “Kenapa sih harus disibukkan oleh sekedar kebun lemon?” Penting gak sih? Ah, politik dan hukum, kadang konyol memang.
Gampang mengatakan kalau sebaiknya Bu Salma menerima putusan pengadilan, kebun lemonnya di gusur, dan ia mendapatkan kompensasi, lalu terbang ke Amerika seperti yang disarankan anaknya. Lagipula kebun lemonnya memang tidak seproduktif masa silam. Dan ia cuma tinggal sendirian di rumah kayu di samping kebun lemon itu. Hanya seorang pekerja tua, yang sudah seperti keluarga, yang setidaknya jadi pengobat hari-hari sepi Bu Salma. Bu Salma memang kesepian. Anak-anaknya sudah punya keluarga sendiri-sendiri. Kini ia cuma mau menanti masa tua (walau sebenarnya belum terlalu tua) di kebun lemon itu. Kebun lemon yang penuh memori-memori hangat masa silam.
Namun, di lubuk yang paling dasar, Bu Salma memang kesepian. Maka kedatangan si pengacara muda ibarat siraman bagi dahaga kesepiannya itu. Di mata Ziad Daud pun, Bu Salam tetap cantik dan menawan. Tak luput oleh usia. Dan melihat keberanian Bu Salma membangkitkan hasrat tersendiri yang sudah lama diselali. Tapi Bu Salma cukup tahu diri. Walau di saat-saat tertentu, di puncak ia merasa sepi, kecupan kecil pun terjadi.
Tapi bukan cinta, atau asmara, yang ingin dicerkaskan dari hubungan Bu Salma dan Ziad Daud, melainkan kesepian. Kesepian yang sama yang juga dirasakan Mira (Rona Lipaz-Michael), istri Pak Menteri Pertahanan Israel yang selalu ditinggal pergi kesana-kemari. Kerap kali ia ditanyai temannya, tentang kebahagiannya, ia tidak menjawab kalau ia tidak bahagia. Mira mengerti risikonya sebagai istri menteri. Karena, kerap kali pula suaminya berkata, entah pertanyaan atau pernyataan, “Susah kan jadi Bu Menteri?”
Kehadiran sosok Mira ini merupakan penyeimbang penggambaran kaum opresor yang kebanyakan sesuka hati sendiri. Melihat perjuangan, kesusahan, kesendirian, dan ketegaran Bu Salma, membuat Mira menyadari sesuatu: ketidakbahagiannya. Mereka sama-sama sendiri. Mereka sama-sama wanita. Dan karena hal tersebut juga Mira memberi simpati pada Bu Salma yang tinggal di seberang rumahnya, yang tidak diberikan oleh suaminya. Ia juga akan melakukan hal yang sama kalau berada di posisi Bu Salma, tegasnya pada suaminya. Ketika Mira mengucap maaf, Bu Salma memberikan wajah mengerti. Seolah-olah keduanya saling mengerti sebagai wanita.
Tentu, bahkan jelas sekali, Lemon Tree bisa dilihat sebagai metafora konflik dua kubu yang sudah tidak perlu saya sebut lagi itu, di mana kediaman Pak Menteri mewakili pihak yang lebih punya kekuatan sehingga merasa lebih punya kuasa (singkatnya: opresor) sementara kebun lemon Bu Salma mewakili pihak yang lebih lemah tapi tetap memberikan perlawanan ketika diberi tekanan. Pihak-pihak seperti Pak Menteri ini terkadang, untuk banyak kasus malah sering, bertindak sewenang-wenang sesuai kuasa yang dirasanya. Pak Menteri, dengan remehnya, menyetujui penggusuran kebun lemon Bu Salma atas namanya. Namun, ketika keluarganya membutuhkan lemon, Pak Menteri sesuaka-hati pula mencuri dari kebun lemon yang bakal digusurnya. Seolah-olah tidak peduli. Seolah-olah tidak punya dosa sama sekali.
Pak Menteri tidak mengerti sama sekali betapa nominal berapapun tidak bakal mampu membeli nilai-nilai sentimentil kebun lemon itu bagi Bu Salma. Betapi pohon-pohon lemon itu hidup dan lebih dari sekadar pohon bagi janda itu. Betapa ada nilai-nilai kemanusiaan di balik kebun-kebun lemon itu. Seperti halnya Paradise Now, yang mencoba menyatakan kalau terorisme adalah produk kemanusian, bukan politik atau hukum, penggusuran kebun lemon Bu Salma juga akibat dari krisis kemanusiaan. Hal ini lah yang tidak bakal dimengerti oleh mereka-mereka yang merasa terpelajar yang duduk di ruang sidang atau kursi politik: konyol memang mempertahankan kebun lemon ketimbang keamanan Pak Menteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar