Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Ben Sombogaart
Pemain: Ellen Vogel, Gudrun Okras, Thekla Reuten, Nadja Uhl, Julia Koopmans, Sina Richardt, Betty Schuurman, Jaap Spijkers, Roman Knizka, Margarita Broich, Ingo Naujoks, Barbara Auer, Jeroen Spitzenberger, Hans Somers, Hans Trentelman
Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional: Twin Sisters
Diangkat dari novel The Twins karya Tessa de Loo.
Pada era postmodern di mana moralitas adalah sebuah relativitas, perang tak lagi dipandang sebagai kubu hitam dan kubu putih, korban dan kriminal, atau kawan dan lawan. Maka moral perang adalah hal yang relatif, cenderung sulit dihakimkan. Ketika sebuah karya sudah berani menghakimi moral perang niscaya, setidaknya bagi saya, turun derajatnya. (Kata-kata “turun derajat” ini pun sungguh tak posmo). Tersebab kerelativitasan itulah agaknya sulit menentukan kepostmodernan moral dalam sebuah karya bernafas perang.
Mungkin pemikiran semacam itulah yang melatarbelakangi Twin Sisters: “kesamarataan moral antara korban dan kriminal, penjajah dan terjajah, atau kawan dan lawan.” Tentulah poin semacam itu akan sulit diterima bagi masyarakat modern pada umumnya. Apalagi latar yang membelakangi cerita ini adalah kesewenang-wenangan Nazi. Sebanyak apa simpatisan Nazi? Berapa perbandingannya dengan kaum pembenci? Tak heran bila film ini dikecam di Israel sana.
Tentu bukanlah Nazi yang diharap dihujani simpati di film ini (tak seperti Kate Winslet di The Reader), melainkan seorang gadis Jerman jelata tanpa daya. Mundur ke belakang, jauh sebelum Hitler naik ke atas panggung perang, gadis ini mempunyai seorang saudari kembar. Anna dan Lotte (yang panggilan sayangnya “Lottchen”). Ketika kanak pun keduanya sudah digambarkan bernasib saling bertolak: Anna sehat jasmaniah, sedang Lotte pesakitan. Keduanya cuma punya satu bapak yang kemudian meninggal begitu cepat ketika usia keduanya masih begitu jagung. Maka yatim piatulah mereka, dan muncullah dua pasang paman-bibi yang berebutan mengadopsi mereka. Keputusan akhirnya: Anna diadopsi pasangan petani kumuh di Jerman, sedangkan Lotte yang pesakitan dibawa nun jauh ke negeri Belanda.
Tersebab kedua pasang paman-bibi ini selalu cekcok dan tak pernah cocok, tiada kontak yang terjadi sepanjang masa pertumbuhan mereka. Hidup Anna dan Lotte pun berbeda 180 derajat. Sementara Lotte dibangunkan paviliun mewah oleh paman-bibinya, dirawat penuh kasih penuh cinta, Anna diperbabu dan diperbudak tanpa diperizinkan mengecap bangku sekolahan. Surat-surat yang selalu ditulis Lotte untuk Anna tak kuasa terkirimkan.
Begitulah sejadinya sampai mereka meranum gadis remaja. Lotte (Thekla Reuten) yang pendidikannya terjamin cerah, bersuara indah, dan hendak melanjutkan studi Jerman di universitas, tertambat hatinya pada pesona seorang pemuda Ibrani bernama David (Jeroen Spitzenberger). Dua sejoli ini pun dilanda gelora cinta semabul-mabuknya di tengah kapal, di tengah danau. Sementara Anna (Nadja Uhl), yang sudah berhasil lepas dari kekangan paman-bibi-petani, mengadu nasibnya sebagai seorang pelayan pendamba pendidikan. (Naik derajat: dari diperbabu paman-bibi, menjadi pelayan yang digaji.) Pontang-panting Anna menjadi pembantu, sampai akhirnya ia betah melayan di kediaman megah seorang Countess cantik nan nyentrik yang hobi menjamu tentara-tentara Jerman pemabukan. Di ambang rezim Hitler, keduanya kembali dipertemukan setelah sebelumnya bersurat-suratan. Pertemuan mereka begitu singkat, namun cukup menimbulkan prasangka kuat di kepala Lotte terhadap Anna. Tiada lain sebab penampakan-penampakan begundal-begundal Nazi yang begitu menyumpahi Ibrani di kediaman Countess yang dipuja-puji Anna. Terlemparlah prasangka “anti-Semite” terhadap Anna dari bibir saudari kembarnya, yang sudah lebih dari cukup untuk mengasingkan kembali pertalian mereka.
Takdir sepetinya kembali menertawakan nasib kedua saudari ini ketika dewi Fortuna berpaling dari Lotte ke Anna. Jerman menjajah Belanda. David merupakan salah satu dari sekian Ibrani Belanda yang ditahan di kamp pemukiman di Jerman (yang kelak akan dibumihanguskan lengkap dengan manusia-manusia penghuninya). Kepenangkapan David ini tak lain karena keteledoran Lotte yang terlupa akan tas tangannya di sebuah kafe. Akibatnya, Lotte serta paman-bibinya, merasa bertanggung untuk mati-matian menyembunyikan sisa keluarga David. Minim makanan. Rentan keamanan.
Sementara di Jerman sana, Anna sedang dimabuk asmara. Ia jatuh hati pada seorang perwira Nazi bernama Martin (Roman Knizka), yang sebetulnya lebih memilih menebar pesona di kampung Vienna ketimbang turun ke medan perang. Anna dinikahi Martin, si pria pujaannya. Keduanya bercumbu. Bermesraan. Bercinta. Medamba buah hati. Sampai tugas memanggil Martin. Dan pada akhirnya muncullah kabar tragis itu. Inilah puncak, juga melalui ketragisan roman masing-masing, Anna dan Lotte diperbandingkan: Kekasih yang satu dibakar di tangan Nazi, sedang kekasih yang lain ditembak oleh sekutu. Perang telah menorehkan luka cinta yang sama di dada keduanya. Lantas apa salah Anna sampai-sampai ketika ia hendak menemui Lotte (lalu mendapati foto pernikahan Anna dengan seorang perwira Nazi), saudarinya itu menudingnya “jalang Nazi” dan menyatakan “putus pertalian”? Inilah bagian naifnya. Relatif bagaimana memandangnya. Dari sudut yang lebih besar, kisah cinta ini cukup sesuai, sebab baik dari pihak Belanda (terjajah, korban) ataupun Jerman (penjajah, kriminal) pastilah punya beban moral dan krisis masing-masing yang tak dapat begitu saja diperbandingkan satu sama lain. Namun, di sisi yang lebih khusus, sungguh naif merepresentasikan Anna sebagai keseluruhan Jerman, apalagi Nazi. Sebab ia digambarkan netral. Tak tentu Nazi. Tapi tersalahkan. Sebab ketika film ini sudah menampilkan Anna sebagai representasi keseluruhan Jerman, juga Nazi, maka film ini secara tak langsung sudah menghakimi. Lalu timpang sudah perbandingnya dengan Lotte yang lebih sumir posisinya.
Ya, tersalahkan. Bukan salah atau bersalah. Begitu sering motif tersalahkan digunakan di film ini. Seperti ketika David tertangkap tersebab kelalaian Lotte. Lalu Anna yang terprasangkakan penganut “anti-Semite,” dan kemudian dipersalahkan sebagai “jalang Nazi.” (Juga adegan-adegan bermotif tersalahkan lainnya.) Beberapa adegan tersalahkan ini sayangnya cenderung membuat klise percintaan yang dipersajikan. Sungguh, kedua aktris yang memerankan saudari kembar itu patut disebut penyelamat. Sebab keduanya mampu menggulati kadar emosi masing-masing bahkan pada adegan rentang mendayu-dayu sekalipun. Untuk sebuah melodrama, saya cuma bisa menyatakan Twin Sisters sangat menawan dari kulit luar.
Sutradara: Ben Sombogaart
Pemain: Ellen Vogel, Gudrun Okras, Thekla Reuten, Nadja Uhl, Julia Koopmans, Sina Richardt, Betty Schuurman, Jaap Spijkers, Roman Knizka, Margarita Broich, Ingo Naujoks, Barbara Auer, Jeroen Spitzenberger, Hans Somers, Hans Trentelman
Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional: Twin Sisters
Diangkat dari novel The Twins karya Tessa de Loo.
Pada era postmodern di mana moralitas adalah sebuah relativitas, perang tak lagi dipandang sebagai kubu hitam dan kubu putih, korban dan kriminal, atau kawan dan lawan. Maka moral perang adalah hal yang relatif, cenderung sulit dihakimkan. Ketika sebuah karya sudah berani menghakimi moral perang niscaya, setidaknya bagi saya, turun derajatnya. (Kata-kata “turun derajat” ini pun sungguh tak posmo). Tersebab kerelativitasan itulah agaknya sulit menentukan kepostmodernan moral dalam sebuah karya bernafas perang.
Mungkin pemikiran semacam itulah yang melatarbelakangi Twin Sisters: “kesamarataan moral antara korban dan kriminal, penjajah dan terjajah, atau kawan dan lawan.” Tentulah poin semacam itu akan sulit diterima bagi masyarakat modern pada umumnya. Apalagi latar yang membelakangi cerita ini adalah kesewenang-wenangan Nazi. Sebanyak apa simpatisan Nazi? Berapa perbandingannya dengan kaum pembenci? Tak heran bila film ini dikecam di Israel sana.
Tentu bukanlah Nazi yang diharap dihujani simpati di film ini (tak seperti Kate Winslet di The Reader), melainkan seorang gadis Jerman jelata tanpa daya. Mundur ke belakang, jauh sebelum Hitler naik ke atas panggung perang, gadis ini mempunyai seorang saudari kembar. Anna dan Lotte (yang panggilan sayangnya “Lottchen”). Ketika kanak pun keduanya sudah digambarkan bernasib saling bertolak: Anna sehat jasmaniah, sedang Lotte pesakitan. Keduanya cuma punya satu bapak yang kemudian meninggal begitu cepat ketika usia keduanya masih begitu jagung. Maka yatim piatulah mereka, dan muncullah dua pasang paman-bibi yang berebutan mengadopsi mereka. Keputusan akhirnya: Anna diadopsi pasangan petani kumuh di Jerman, sedangkan Lotte yang pesakitan dibawa nun jauh ke negeri Belanda.
Tersebab kedua pasang paman-bibi ini selalu cekcok dan tak pernah cocok, tiada kontak yang terjadi sepanjang masa pertumbuhan mereka. Hidup Anna dan Lotte pun berbeda 180 derajat. Sementara Lotte dibangunkan paviliun mewah oleh paman-bibinya, dirawat penuh kasih penuh cinta, Anna diperbabu dan diperbudak tanpa diperizinkan mengecap bangku sekolahan. Surat-surat yang selalu ditulis Lotte untuk Anna tak kuasa terkirimkan.
Begitulah sejadinya sampai mereka meranum gadis remaja. Lotte (Thekla Reuten) yang pendidikannya terjamin cerah, bersuara indah, dan hendak melanjutkan studi Jerman di universitas, tertambat hatinya pada pesona seorang pemuda Ibrani bernama David (Jeroen Spitzenberger). Dua sejoli ini pun dilanda gelora cinta semabul-mabuknya di tengah kapal, di tengah danau. Sementara Anna (Nadja Uhl), yang sudah berhasil lepas dari kekangan paman-bibi-petani, mengadu nasibnya sebagai seorang pelayan pendamba pendidikan. (Naik derajat: dari diperbabu paman-bibi, menjadi pelayan yang digaji.) Pontang-panting Anna menjadi pembantu, sampai akhirnya ia betah melayan di kediaman megah seorang Countess cantik nan nyentrik yang hobi menjamu tentara-tentara Jerman pemabukan. Di ambang rezim Hitler, keduanya kembali dipertemukan setelah sebelumnya bersurat-suratan. Pertemuan mereka begitu singkat, namun cukup menimbulkan prasangka kuat di kepala Lotte terhadap Anna. Tiada lain sebab penampakan-penampakan begundal-begundal Nazi yang begitu menyumpahi Ibrani di kediaman Countess yang dipuja-puji Anna. Terlemparlah prasangka “anti-Semite” terhadap Anna dari bibir saudari kembarnya, yang sudah lebih dari cukup untuk mengasingkan kembali pertalian mereka.
Takdir sepetinya kembali menertawakan nasib kedua saudari ini ketika dewi Fortuna berpaling dari Lotte ke Anna. Jerman menjajah Belanda. David merupakan salah satu dari sekian Ibrani Belanda yang ditahan di kamp pemukiman di Jerman (yang kelak akan dibumihanguskan lengkap dengan manusia-manusia penghuninya). Kepenangkapan David ini tak lain karena keteledoran Lotte yang terlupa akan tas tangannya di sebuah kafe. Akibatnya, Lotte serta paman-bibinya, merasa bertanggung untuk mati-matian menyembunyikan sisa keluarga David. Minim makanan. Rentan keamanan.
Sementara di Jerman sana, Anna sedang dimabuk asmara. Ia jatuh hati pada seorang perwira Nazi bernama Martin (Roman Knizka), yang sebetulnya lebih memilih menebar pesona di kampung Vienna ketimbang turun ke medan perang. Anna dinikahi Martin, si pria pujaannya. Keduanya bercumbu. Bermesraan. Bercinta. Medamba buah hati. Sampai tugas memanggil Martin. Dan pada akhirnya muncullah kabar tragis itu. Inilah puncak, juga melalui ketragisan roman masing-masing, Anna dan Lotte diperbandingkan: Kekasih yang satu dibakar di tangan Nazi, sedang kekasih yang lain ditembak oleh sekutu. Perang telah menorehkan luka cinta yang sama di dada keduanya. Lantas apa salah Anna sampai-sampai ketika ia hendak menemui Lotte (lalu mendapati foto pernikahan Anna dengan seorang perwira Nazi), saudarinya itu menudingnya “jalang Nazi” dan menyatakan “putus pertalian”? Inilah bagian naifnya. Relatif bagaimana memandangnya. Dari sudut yang lebih besar, kisah cinta ini cukup sesuai, sebab baik dari pihak Belanda (terjajah, korban) ataupun Jerman (penjajah, kriminal) pastilah punya beban moral dan krisis masing-masing yang tak dapat begitu saja diperbandingkan satu sama lain. Namun, di sisi yang lebih khusus, sungguh naif merepresentasikan Anna sebagai keseluruhan Jerman, apalagi Nazi. Sebab ia digambarkan netral. Tak tentu Nazi. Tapi tersalahkan. Sebab ketika film ini sudah menampilkan Anna sebagai representasi keseluruhan Jerman, juga Nazi, maka film ini secara tak langsung sudah menghakimi. Lalu timpang sudah perbandingnya dengan Lotte yang lebih sumir posisinya.
Ya, tersalahkan. Bukan salah atau bersalah. Begitu sering motif tersalahkan digunakan di film ini. Seperti ketika David tertangkap tersebab kelalaian Lotte. Lalu Anna yang terprasangkakan penganut “anti-Semite,” dan kemudian dipersalahkan sebagai “jalang Nazi.” (Juga adegan-adegan bermotif tersalahkan lainnya.) Beberapa adegan tersalahkan ini sayangnya cenderung membuat klise percintaan yang dipersajikan. Sungguh, kedua aktris yang memerankan saudari kembar itu patut disebut penyelamat. Sebab keduanya mampu menggulati kadar emosi masing-masing bahkan pada adegan rentang mendayu-dayu sekalipun. Untuk sebuah melodrama, saya cuma bisa menyatakan Twin Sisters sangat menawan dari kulit luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar