Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Todd Field
Pemain: Sissy Spacek, Tom Wilkinson, Marisa Tomei, Nick Stahl, Celia Weston, William Mapother
Tahun Rilis: 2001
Film ini merupakan adaptasi dari cerpen “Killings” Andre Dubus.
TEMA utama film ini adalah “dendam”. Tapi jangan kira darah segar bakal bersemburat-semburat tiada henti di film bertema dendam ini. Ketimbang menyajikan gore porn, film ini lebih memampangkan proses psikologis bagaiman sebuah tragedi bisa memberikan tekanan pada orang yang bersangkutan lalu akhirnya menghasilkan produk berupa dendam. Karena itu pendekatan yang dipraktekan di film ini berupa realisme yang cukup kental. Layaknya film-film realisme umumnya, alur film ini pun cukup pelan.
Mungkin banyak yang bakal salah paham dengan judulnya yang memberikan kesan sensual itu. Belum lagi ditambah gambar kovernya yang menyajikan gambaran dua sejoli berbeda usia sedang memadu kasih. Bukan, film ini bukan film bertema erotisme. Bahkan tidak ada sama sekali adegan-adegan erotisme ranjang di film ini. Judul “In the Bedroom” itu berupa metafora yang diambil dari semacam perangkap lobster yang disebut “bedroom”, yang hanya bisa menangkap dua lobster sekaligus hingga akhirnya mereka menerkam satu sama lain di dalamnya. Yap, in the bedroom merupakan metafora dari kondisi tokoh-tokoh di film revenge drama ini.
Film ini berlatar di Mid-Coast Maine. Setengah awal film terfokus pada pemuda, Frank Fowler, yang sedang dimabuk asmara dengan seorang janda dua anak, Natalie Strout. Frank Fowler bercita-cita melanjutkan sekolah arsitektur tapi akhirnya memutuskan untuk tinggal di kota dan bekerja di industri pertambakkan (penjaring lobster – ada semacam clue metafor judul film ini bila disimak lebih teliti) agar bisa lebih dekat dengan Natalie. Mantan suami Natalie, Richard Strout, merupakan pria yang pendendam, kejam, abusive, dan pencemburu. Richard masih tergila-gila (dan berharap) pada Natalie.
Mulai pertengahan film, Richard membunuh Frank di rumah Natalie. Richard bebas dengan jaminan. Hal itu tentu makin menumpuk amarah kedua orang tua Frank, Dr. Matt Fowler dan Ruth Fowler (seorang kondektur paduan suara). Terlebih ketika mereka menyaksikan Richard berkeliaran bebas di kota dengan mata kepala mereka sendiri.
Yap, itulah kira-kira gambaran alur cerita film ini.
Seperti yang sudah saya bilang di awal-awal, film ini mengalir lambat. Termasuk sangat pelan bagi yang belum terbiasa dengan drama realisme. Hanya saja, memang film ini menuntut penontonnya untuk menyimak. Menyimak dalam artian benar-benar memperhatikan tiap-tiap perubahan psikologis maupun gejolak emosi dari masing-masing (baca: “masing-masing”) karakternya. Maka, justru hakikatnya alur pelan itu sebenarnya turut andil menghipnotis penontonnya yang “menyimak”. Dan yah, dari segi penggambaran emosi, alur, hingga sinematografi: semuanya menunjang pergolakan emosi masing-masing tokoh film ini.
Bukan hanya itu saja yang mendukung, penampilan para pemainnya pun...entahlah saya kehabisan kata-kata. Ke-lima aktor yang memainkan tokoh-tokoh penting film ini sungguh merupakan salah satu aset penting film ini. Dari ke-lima itu, Marisa Tomei (pemain Natalie) dan Sissy Spacek (pemain Ruth) yang paling menggugah – terutama Sissy Spacek. Sissy Spacek tidak hanya sekedar berakting di film ini. Beliau tidak hanya sekedar membaca dialog, tidak pula sekedar berpura-pura menjadi seorang Ruth Fowler di film ini. Sissy Spacek dengan mampu mengukur setiap emosi di masing-masing adegannya. Teratur. Terjaga. Dengan kata lain, perubahan psikologis maupun gejolak emosi tokoh yang diperankan Sissy Spacek mampu terkapasitas dengan sangat baik di masing-masing pace film. Beliau menunjukkan perubahan emosional nyata dari tokohnya, dari awal hingga akhir film. Singkatnya, inilah salah satu akting yang benar-benar bisa disebut memberi nyawa (menghidupkan) tokohnya.
Akting yang sempurna. Plot yang terjaga. Sinematografi yang nyata. Lantas apa lagi yang kurang? Tentu ada satu tambahan lagi. Idealisme film ini yang menurut saya sangat-sangat jarang ditemui di film-film drama serupa. Film ini tidak menjatuhkan justifikasi moral pada tokoh-tokohnya. Tidak ada tokoh yang benar-benar tergambar “baik” ataupun “buruk” di film ini, sekalipun tokoh Richard (si pembunuh). Meskipun tidak menampilkan tokoh yang benar-benar jahat untuk dihujat, film ini ternyata (dengan ending yang benar-benar tepat) tetap mampu memprovokasi penonton untuk memberikan penilaian moral tersendiri.
Inilah salah satu contoh sejauh mana seharusnya sebuah film dibangun.
Sutradara: Todd Field
Pemain: Sissy Spacek, Tom Wilkinson, Marisa Tomei, Nick Stahl, Celia Weston, William Mapother
Tahun Rilis: 2001
Film ini merupakan adaptasi dari cerpen “Killings” Andre Dubus.
TEMA utama film ini adalah “dendam”. Tapi jangan kira darah segar bakal bersemburat-semburat tiada henti di film bertema dendam ini. Ketimbang menyajikan gore porn, film ini lebih memampangkan proses psikologis bagaiman sebuah tragedi bisa memberikan tekanan pada orang yang bersangkutan lalu akhirnya menghasilkan produk berupa dendam. Karena itu pendekatan yang dipraktekan di film ini berupa realisme yang cukup kental. Layaknya film-film realisme umumnya, alur film ini pun cukup pelan.
Mungkin banyak yang bakal salah paham dengan judulnya yang memberikan kesan sensual itu. Belum lagi ditambah gambar kovernya yang menyajikan gambaran dua sejoli berbeda usia sedang memadu kasih. Bukan, film ini bukan film bertema erotisme. Bahkan tidak ada sama sekali adegan-adegan erotisme ranjang di film ini. Judul “In the Bedroom” itu berupa metafora yang diambil dari semacam perangkap lobster yang disebut “bedroom”, yang hanya bisa menangkap dua lobster sekaligus hingga akhirnya mereka menerkam satu sama lain di dalamnya. Yap, in the bedroom merupakan metafora dari kondisi tokoh-tokoh di film revenge drama ini.
Film ini berlatar di Mid-Coast Maine. Setengah awal film terfokus pada pemuda, Frank Fowler, yang sedang dimabuk asmara dengan seorang janda dua anak, Natalie Strout. Frank Fowler bercita-cita melanjutkan sekolah arsitektur tapi akhirnya memutuskan untuk tinggal di kota dan bekerja di industri pertambakkan (penjaring lobster – ada semacam clue metafor judul film ini bila disimak lebih teliti) agar bisa lebih dekat dengan Natalie. Mantan suami Natalie, Richard Strout, merupakan pria yang pendendam, kejam, abusive, dan pencemburu. Richard masih tergila-gila (dan berharap) pada Natalie.
Mulai pertengahan film, Richard membunuh Frank di rumah Natalie. Richard bebas dengan jaminan. Hal itu tentu makin menumpuk amarah kedua orang tua Frank, Dr. Matt Fowler dan Ruth Fowler (seorang kondektur paduan suara). Terlebih ketika mereka menyaksikan Richard berkeliaran bebas di kota dengan mata kepala mereka sendiri.
Yap, itulah kira-kira gambaran alur cerita film ini.
Seperti yang sudah saya bilang di awal-awal, film ini mengalir lambat. Termasuk sangat pelan bagi yang belum terbiasa dengan drama realisme. Hanya saja, memang film ini menuntut penontonnya untuk menyimak. Menyimak dalam artian benar-benar memperhatikan tiap-tiap perubahan psikologis maupun gejolak emosi dari masing-masing (baca: “masing-masing”) karakternya. Maka, justru hakikatnya alur pelan itu sebenarnya turut andil menghipnotis penontonnya yang “menyimak”. Dan yah, dari segi penggambaran emosi, alur, hingga sinematografi: semuanya menunjang pergolakan emosi masing-masing tokoh film ini.
Bukan hanya itu saja yang mendukung, penampilan para pemainnya pun...entahlah saya kehabisan kata-kata. Ke-lima aktor yang memainkan tokoh-tokoh penting film ini sungguh merupakan salah satu aset penting film ini. Dari ke-lima itu, Marisa Tomei (pemain Natalie) dan Sissy Spacek (pemain Ruth) yang paling menggugah – terutama Sissy Spacek. Sissy Spacek tidak hanya sekedar berakting di film ini. Beliau tidak hanya sekedar membaca dialog, tidak pula sekedar berpura-pura menjadi seorang Ruth Fowler di film ini. Sissy Spacek dengan mampu mengukur setiap emosi di masing-masing adegannya. Teratur. Terjaga. Dengan kata lain, perubahan psikologis maupun gejolak emosi tokoh yang diperankan Sissy Spacek mampu terkapasitas dengan sangat baik di masing-masing pace film. Beliau menunjukkan perubahan emosional nyata dari tokohnya, dari awal hingga akhir film. Singkatnya, inilah salah satu akting yang benar-benar bisa disebut memberi nyawa (menghidupkan) tokohnya.
Akting yang sempurna. Plot yang terjaga. Sinematografi yang nyata. Lantas apa lagi yang kurang? Tentu ada satu tambahan lagi. Idealisme film ini yang menurut saya sangat-sangat jarang ditemui di film-film drama serupa. Film ini tidak menjatuhkan justifikasi moral pada tokoh-tokohnya. Tidak ada tokoh yang benar-benar tergambar “baik” ataupun “buruk” di film ini, sekalipun tokoh Richard (si pembunuh). Meskipun tidak menampilkan tokoh yang benar-benar jahat untuk dihujat, film ini ternyata (dengan ending yang benar-benar tepat) tetap mampu memprovokasi penonton untuk memberikan penilaian moral tersendiri.
Inilah salah satu contoh sejauh mana seharusnya sebuah film dibangun.
merasa gak ada film indonesia yg ikut ni film
BalasHapusama covernya????
Film Indonesia apa yang ngikutin (niru) ni film?
BalasHapusIni film khas festival banget yaa...dulu waktu beli vcdnya cuma karna lagi disale gila2an around 5000 saja, dan pas ditonton...hufh, intriguing sekali
BalasHapusWilkinso dan Spaceknya benar2 bagus actnya sebagai orang tua yg kehilangan anaknya