Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Rako Prijanto
Pemain: Tora Sudiro, Artika Sari Devi, Alex Abbad, Ririn Ekawati, Nungky Kusumastuti, Arif Rivan
Tahun Rilis: 2010
DUO Punjabi, Dhamoo Punjabi dan Manoj Punjabi, memang mantab sekali menggenggam ranah persinetronan Indonesia: sekalipun sinetron-sinetron yang mereka telurkan masih jauh sekali dari kata bagus. Lantas apakah “Roman Picisan”, film yang ditelurkan oleh duo Punjabi itu, sama hancurnya dengan sinetron-sinetron mereka yang tayang di tivi-tivi swasta? Let's see.
Sesuai dengan judulnya “Picisan”, ternyata film ini memang picisan. Semua yang ada di film ini picisan: alurnya picisan, suasananya picisan, ceritanya picisan, dialognya picisan, aktingnya picisan, ininya picisan, itunya picisan, anunya picisan, picisan, picisan, dan picisan. Tidak ada yang terasa benar-benar real di film ini. Oke. Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan film-film percintaan picisan, “Romeo & Juliet” karya William Shakespeare misalnya. Hanya saja, ada sesuatu yang lebih epik dari “Romeo & Juliet” sehingga jatuhnya drama itu tidak sekedar picisan-picisan belaka. Sayangnya tidak dengan “Roman Picisan” ini, film ini sekedar picisan-picisan-picisan belaka. Lebih lagi, cerita picisan di film ini malah cenderung silly.
Dari pembukaannya saja, sudah muncul silliness akibat picisan berlebihan. Come on, menggagalkan pernikahan teman sendiri cuma buat membuktikan idealisme picisan Raga (Tora Sudiro). Sungguh benar-benar cerita yang picisan. Lantas film pun bergulir. Bergulir makin picisan pula ketika Canting (Artika Sari Devi) dengan segala girl power yang dimilik muncul seakan-akan cupid yang turun dari langit. Singkat cerita, kedua hero dan heroine picisan ini pun berkenalan dengan cara yang picisan pula. Pastinya, dialog-dialog perkenalan mereka pun tidak kalah picisan pula.
Seperti yang saya bilang tadi, saya tidak masalah dengan film percintaan picisan. Tapi film picisan yang satu ini sudah bertabur bau-bau silliness yang akhirnya malah membat film ini tidak penting untuk disimak.
Penampilan pemain-pemainnya pun tidak kalah runyam. Artika Sari Devi membuat saya bingung dengan penampilannya sebagai Canting. Setiap kali Artika Sari Devi melemparkan emosi (yang kebanyakan menangis), setiap kali itu juga hasilnya tidak jelas wujud emosinya. Setidaknya ada satu usaha menangis Artika Sari Devi yang berhasil: ketika dia menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tora Sudiro pun tidak kalah runyamnya. Penampilan Tora Sudiro di sini, terutama bagian-bagian joke-nya, penuh dengan silliness.
Ada satu adegan yang sebenarnya lumayan lah menarik buat saya: entah pihak produksi sadar atau tidak, ada semacam simbolisme menarik di adegan ketika dua sejoli picisan ini memadu cinta diantara gantungan kain-kain batik. Tepatnya pas si Canting dan si Raga berdiri berhadapan dengan dipisahkan selehai kain batik (adat, budaya). Yap, ada semacam simbolisme yang berhubungan dengan ceritanya yang saya tangkap. Tapi sayang, adegan itu tidak mampu menaikkan derajat film yang penuh silliness ini di mata saya.
Sutradara: Rako Prijanto
Pemain: Tora Sudiro, Artika Sari Devi, Alex Abbad, Ririn Ekawati, Nungky Kusumastuti, Arif Rivan
Tahun Rilis: 2010
DUO Punjabi, Dhamoo Punjabi dan Manoj Punjabi, memang mantab sekali menggenggam ranah persinetronan Indonesia: sekalipun sinetron-sinetron yang mereka telurkan masih jauh sekali dari kata bagus. Lantas apakah “Roman Picisan”, film yang ditelurkan oleh duo Punjabi itu, sama hancurnya dengan sinetron-sinetron mereka yang tayang di tivi-tivi swasta? Let's see.
Sesuai dengan judulnya “Picisan”, ternyata film ini memang picisan. Semua yang ada di film ini picisan: alurnya picisan, suasananya picisan, ceritanya picisan, dialognya picisan, aktingnya picisan, ininya picisan, itunya picisan, anunya picisan, picisan, picisan, dan picisan. Tidak ada yang terasa benar-benar real di film ini. Oke. Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan film-film percintaan picisan, “Romeo & Juliet” karya William Shakespeare misalnya. Hanya saja, ada sesuatu yang lebih epik dari “Romeo & Juliet” sehingga jatuhnya drama itu tidak sekedar picisan-picisan belaka. Sayangnya tidak dengan “Roman Picisan” ini, film ini sekedar picisan-picisan-picisan belaka. Lebih lagi, cerita picisan di film ini malah cenderung silly.
Dari pembukaannya saja, sudah muncul silliness akibat picisan berlebihan. Come on, menggagalkan pernikahan teman sendiri cuma buat membuktikan idealisme picisan Raga (Tora Sudiro). Sungguh benar-benar cerita yang picisan. Lantas film pun bergulir. Bergulir makin picisan pula ketika Canting (Artika Sari Devi) dengan segala girl power yang dimilik muncul seakan-akan cupid yang turun dari langit. Singkat cerita, kedua hero dan heroine picisan ini pun berkenalan dengan cara yang picisan pula. Pastinya, dialog-dialog perkenalan mereka pun tidak kalah picisan pula.
Seperti yang saya bilang tadi, saya tidak masalah dengan film percintaan picisan. Tapi film picisan yang satu ini sudah bertabur bau-bau silliness yang akhirnya malah membat film ini tidak penting untuk disimak.
Penampilan pemain-pemainnya pun tidak kalah runyam. Artika Sari Devi membuat saya bingung dengan penampilannya sebagai Canting. Setiap kali Artika Sari Devi melemparkan emosi (yang kebanyakan menangis), setiap kali itu juga hasilnya tidak jelas wujud emosinya. Setidaknya ada satu usaha menangis Artika Sari Devi yang berhasil: ketika dia menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tora Sudiro pun tidak kalah runyamnya. Penampilan Tora Sudiro di sini, terutama bagian-bagian joke-nya, penuh dengan silliness.
Ada satu adegan yang sebenarnya lumayan lah menarik buat saya: entah pihak produksi sadar atau tidak, ada semacam simbolisme menarik di adegan ketika dua sejoli picisan ini memadu cinta diantara gantungan kain-kain batik. Tepatnya pas si Canting dan si Raga berdiri berhadapan dengan dipisahkan selehai kain batik (adat, budaya). Yap, ada semacam simbolisme yang berhubungan dengan ceritanya yang saya tangkap. Tapi sayang, adegan itu tidak mampu menaikkan derajat film yang penuh silliness ini di mata saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar