Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: David Decoteau
Pemain: Sean Faris, Forrest Cochran, Stacey Scowley, Jennifer Capo, Justin Allen, C. J. Thomason
Tahun Rilis: 2001
Film ini merupakan sequel dari “The Brotherhood” (2001).
Film ini buruk. Dari awal saja sudah bisa ditebak film ini bukan film yang bagus. Film ini tidak ada bedanya dengan film-film horror sempak dan kutang yang biasa mampang di bioskop-bioskop Indonesia. Setidaknya, satu kelebihan film ini ketimbang horror-horror sempak-kutang itu, film ini lebih punya intensi untuk jadi horror. Tidak seperti horror-horror sempak-kutang Indonesia yang lebih besar porsi sempak-kutang-nya.
Dari narasi awal John (Sean Faris) saja sudah bisa ditebak film ini bukanlah film yang bagus. Dialog-dialog yang dihadirkan bukan hanya plastik, tapi sudah sampai level silikon. Para pemainnya berbicara seakan-akan ada silikon tebal di bibir mereka. Belum lagi ekspresi dan gesture tubuh kaku yang tidak kalah silikonnya. Apakah badan-badan atletis para pemain film ini juga ditambal silikon sehingga penampilan mereka tidak kalah silikonnya dengan badan mereka?
Cerita film ini pun tidak berbicara banyak. Bayangkan, tanpa melihat adegannya, hanya mendengar suara dan dialognya, saya sudah bisa menangkap sebagian besar cerita film ini. Bercerita tentang John, pelajar di sebuah sekolah privat yang harus menghadapi segerombol siswa-siswa berandal karena iri melihat hubungannya dengan salah satu bidadari sekolah. Lalu muncul salah seorang siswa menawarkan kesempatan untuk membalas dengan menggunakan sihir (witchcraft). John sendiri tidak sadar, sihir ini pun nantinya akan menuntut bayaran darinya. Kekakuan ceritanya sama silikonnya dengan penampilan para pemainnya.
Adegan-adegan horrornya pun tampak norak. Norak sekali. Bukannya menghasilkan ketegangan, adegan-adegan horror di film ini malah menimbulkan kenorakan. Lebih parah lagi, bebunyian di yang mengiringi pun tidak kalah noraknya. Bayangkan saja: di satu adegan ada bunyi degup jantung bercampur dengan bunyi mendecit-decit bercampir dengan bunyia haam-huum-haam-huum. Bedanya dengan kenorakan yang dihadirkan film horror sempak-kutang Indonesia: film ini berusaha tampil glamor tapi malah jatuhnya norak, sedangkan film horror sempak-kutang Indonesia memang diniatkan norak dari awalnya.
Kesimpulannya, ini adalah contoh film yang menebarkan kenorakan kental di setiap menitnya.
Sutradara: David Decoteau
Pemain: Sean Faris, Forrest Cochran, Stacey Scowley, Jennifer Capo, Justin Allen, C. J. Thomason
Tahun Rilis: 2001
Film ini merupakan sequel dari “The Brotherhood” (2001).
Film ini buruk. Dari awal saja sudah bisa ditebak film ini bukan film yang bagus. Film ini tidak ada bedanya dengan film-film horror sempak dan kutang yang biasa mampang di bioskop-bioskop Indonesia. Setidaknya, satu kelebihan film ini ketimbang horror-horror sempak-kutang itu, film ini lebih punya intensi untuk jadi horror. Tidak seperti horror-horror sempak-kutang Indonesia yang lebih besar porsi sempak-kutang-nya.
Dari narasi awal John (Sean Faris) saja sudah bisa ditebak film ini bukanlah film yang bagus. Dialog-dialog yang dihadirkan bukan hanya plastik, tapi sudah sampai level silikon. Para pemainnya berbicara seakan-akan ada silikon tebal di bibir mereka. Belum lagi ekspresi dan gesture tubuh kaku yang tidak kalah silikonnya. Apakah badan-badan atletis para pemain film ini juga ditambal silikon sehingga penampilan mereka tidak kalah silikonnya dengan badan mereka?
Cerita film ini pun tidak berbicara banyak. Bayangkan, tanpa melihat adegannya, hanya mendengar suara dan dialognya, saya sudah bisa menangkap sebagian besar cerita film ini. Bercerita tentang John, pelajar di sebuah sekolah privat yang harus menghadapi segerombol siswa-siswa berandal karena iri melihat hubungannya dengan salah satu bidadari sekolah. Lalu muncul salah seorang siswa menawarkan kesempatan untuk membalas dengan menggunakan sihir (witchcraft). John sendiri tidak sadar, sihir ini pun nantinya akan menuntut bayaran darinya. Kekakuan ceritanya sama silikonnya dengan penampilan para pemainnya.
Adegan-adegan horrornya pun tampak norak. Norak sekali. Bukannya menghasilkan ketegangan, adegan-adegan horror di film ini malah menimbulkan kenorakan. Lebih parah lagi, bebunyian di yang mengiringi pun tidak kalah noraknya. Bayangkan saja: di satu adegan ada bunyi degup jantung bercampur dengan bunyi mendecit-decit bercampir dengan bunyia haam-huum-haam-huum. Bedanya dengan kenorakan yang dihadirkan film horror sempak-kutang Indonesia: film ini berusaha tampil glamor tapi malah jatuhnya norak, sedangkan film horror sempak-kutang Indonesia memang diniatkan norak dari awalnya.
Kesimpulannya, ini adalah contoh film yang menebarkan kenorakan kental di setiap menitnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar