Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Lasse Hallström
Pemain: Juliette Binoche, Judi Dench, Alfred Molina, Lena Olin, Johnny Depp
Tahun Rilis: 2000
Film ini diangkat dari novel “Chocolat” karya Joanne Harris.
“CHOCOLAT” adalah film tentang pertempuran. “Chocolat” adalah film tentang peperangan. “Chocolat” adalah film tentang perjuangan. Tapi bukan dengan pedang. Pun dengan otot. “Chocolat” adalah film tentang iman dan keyakinan kristiani melawan mistisme coklat.
“Chocolat” bukan film realisme. “Chocolat” juga bukan film epik. Saya sendiri menganggap “Chocolat” sebagai dongeng. Dan memang film ini diceritakan dalam bentuk dongeng. Saya rasa, memang sejak awal pula “Chocolat” diarahkan menjadi semacam dongeng. Setipe dengan “Pan's Labyrinth” yang menyulap luka dan kepedihan perang menjadi sebuah dongeng (untuk kalangan yang lebih dewasa). Hanya saja, “Chocolat” tampil dengan suasana yang lebih cerah ketimbang “Pan's Labyrinth.”
“Chocolat” dimulai dengan pembukaan yang memang ciri khas dongeng: “pada suatu masa di sebuah desa yang tenang (tranquility) di Perancis.” Ketenangan (tranquility) yang disebutkan di narasi pembukaan itu bukanlah benar-benar ketenangan dalam artian baik, melainkan ketenangan dalam artian kekakuan. Dan heroine kita, Vianne (Juliette Binoche), datang bersama angin utara untuk memecah kekakuan itu.
“Chocolat” adalah sebuah dongeng yang memesona. Hanya saja, pesona yang dimiliki “Chocolat” berbeda dengan pesona-pesona yang biasa ditemui di dongeng-dongeng besutan Tim Burton (“Edward Scissorhand,” “Big Fish,” “Alice in Wonderland”) yang biasanya tampil serba aneh dan serba heboh. Pesona yang dimiliki “Chocolat” lebih bersahaja. Hingga-hingga, saya sebagai penonton, nyaris tidak menyadari kalau saya sedang menyimak sebuah dongeng. Layaknya ketika melahap sebuah coklat, semakin melumer di mulut, semakin menghanyutkan.
Saya, sebagai penonton, dari awal memang diarahkan pada “tokoh yang baik” dan “tokoh yang buruk,” sebuah ciri khas dongeng. Vianne, layaknya tokoh-tokoh wanita di dalam dongeng, memang dibentuk agar perjuangannya mendapat simpati dari penontonnya. Dan Juliette Binoche berhasil membawakan tokohnya itu. Juliette Binoche berhasil memberikan penampilan layaknya Putri Salju (Snow White) bagi desa yang kaku ini. Vianne, sembari menjalankan toko coklatnya bersama putrinya berusaha mendapatkan perhatian dari para penduduk kota dengan membantu permasalahan mereka. Ada banyak masalah di desa ini: pria tua dengan anjingnya yang jatuh cinta dengan janda tua, wanita yang tidak mendapatkan kepuasan seksual dari suaminya, wanita yang disiksa habis-habisan oleh suaminya, wanita tua pemilik toko coklat yang tidak bisa menemui cucunya karena bermasalah dengan anaknya, hingga para pendatang yang tiba-tiba menepikan kapal mereka di tepi sungai. Semua masalah di desa ini nantinya disembuhkan oleh satu hal: coklat.
“Chocolat” pun diakhiri layaknya dongeng-dongeng. Happy ending. Bedanya, “Chocolat” tidak diakhiri layaknya dongeng-dongeng di mana para penjahat benar-benar kalah (mati) sebagai penjahat. Ending “Chocolat” lebih mirip fabel-fabel di mana tokoh yang jahat akhirnya sadar dan berubah menjadi sosok yang lebih baik.
Secara keseluruhan, layaknya coklat, “Chocolat” merupakan film yang manis untuk dinikmati.
Sutradara: Lasse Hallström
Pemain: Juliette Binoche, Judi Dench, Alfred Molina, Lena Olin, Johnny Depp
Tahun Rilis: 2000
Film ini diangkat dari novel “Chocolat” karya Joanne Harris.
“CHOCOLAT” adalah film tentang pertempuran. “Chocolat” adalah film tentang peperangan. “Chocolat” adalah film tentang perjuangan. Tapi bukan dengan pedang. Pun dengan otot. “Chocolat” adalah film tentang iman dan keyakinan kristiani melawan mistisme coklat.
“Chocolat” bukan film realisme. “Chocolat” juga bukan film epik. Saya sendiri menganggap “Chocolat” sebagai dongeng. Dan memang film ini diceritakan dalam bentuk dongeng. Saya rasa, memang sejak awal pula “Chocolat” diarahkan menjadi semacam dongeng. Setipe dengan “Pan's Labyrinth” yang menyulap luka dan kepedihan perang menjadi sebuah dongeng (untuk kalangan yang lebih dewasa). Hanya saja, “Chocolat” tampil dengan suasana yang lebih cerah ketimbang “Pan's Labyrinth.”
“Chocolat” dimulai dengan pembukaan yang memang ciri khas dongeng: “pada suatu masa di sebuah desa yang tenang (tranquility) di Perancis.” Ketenangan (tranquility) yang disebutkan di narasi pembukaan itu bukanlah benar-benar ketenangan dalam artian baik, melainkan ketenangan dalam artian kekakuan. Dan heroine kita, Vianne (Juliette Binoche), datang bersama angin utara untuk memecah kekakuan itu.
“Chocolat” adalah sebuah dongeng yang memesona. Hanya saja, pesona yang dimiliki “Chocolat” berbeda dengan pesona-pesona yang biasa ditemui di dongeng-dongeng besutan Tim Burton (“Edward Scissorhand,” “Big Fish,” “Alice in Wonderland”) yang biasanya tampil serba aneh dan serba heboh. Pesona yang dimiliki “Chocolat” lebih bersahaja. Hingga-hingga, saya sebagai penonton, nyaris tidak menyadari kalau saya sedang menyimak sebuah dongeng. Layaknya ketika melahap sebuah coklat, semakin melumer di mulut, semakin menghanyutkan.
Saya, sebagai penonton, dari awal memang diarahkan pada “tokoh yang baik” dan “tokoh yang buruk,” sebuah ciri khas dongeng. Vianne, layaknya tokoh-tokoh wanita di dalam dongeng, memang dibentuk agar perjuangannya mendapat simpati dari penontonnya. Dan Juliette Binoche berhasil membawakan tokohnya itu. Juliette Binoche berhasil memberikan penampilan layaknya Putri Salju (Snow White) bagi desa yang kaku ini. Vianne, sembari menjalankan toko coklatnya bersama putrinya berusaha mendapatkan perhatian dari para penduduk kota dengan membantu permasalahan mereka. Ada banyak masalah di desa ini: pria tua dengan anjingnya yang jatuh cinta dengan janda tua, wanita yang tidak mendapatkan kepuasan seksual dari suaminya, wanita yang disiksa habis-habisan oleh suaminya, wanita tua pemilik toko coklat yang tidak bisa menemui cucunya karena bermasalah dengan anaknya, hingga para pendatang yang tiba-tiba menepikan kapal mereka di tepi sungai. Semua masalah di desa ini nantinya disembuhkan oleh satu hal: coklat.
“Chocolat” pun diakhiri layaknya dongeng-dongeng. Happy ending. Bedanya, “Chocolat” tidak diakhiri layaknya dongeng-dongeng di mana para penjahat benar-benar kalah (mati) sebagai penjahat. Ending “Chocolat” lebih mirip fabel-fabel di mana tokoh yang jahat akhirnya sadar dan berubah menjadi sosok yang lebih baik.
Secara keseluruhan, layaknya coklat, “Chocolat” merupakan film yang manis untuk dinikmati.
aku suka sm Johny depp ,,, pgn ah cari film ini.
BalasHapusthanks y info nya..
^_^