Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Andrew Adamson
Pemain: Georgie Henley, Skandar Keynes, William Moseley, Anna Popplewell, Tilda Swinton, Liam Neeson, James McAvoy
Tahun Rilis: 2005
Film ini merupakan adaptasi dari novel “The Lion, The Witch and The Wardrobe” (1950) karya C. S. Lewis.
“THE Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe” film pertama adaptasi Disney dari total tujuh novel tentang dunia Narnia. Dalam novelnya sendiri, C. S. Lewis banyak meninggalkan simbolisme-simbolisme kristiani. Binatang-binatangnya. Aslan, Sang Singa, yang merupakan simbolisme Kristus. Jadis, Sang Penyihir Putih. Keseluruhan dunia Narnia tersebut bukanlah sekedar muncul mendadak dari imajinasi liar C. S. Lewis. Semuanya mengandung simbolisme-simbolisme masing-masing Tapi resensi ini tidak akan mengkaji sampai sedalam itu, toh ini bukan esei sastra, ini sekedar resensi praktis seputar film yang diadaptasi dari novel tersebut.
Film dimulai sekitar 1940-an, saat pengeboman Finchley, London, sekitar tragedi Blitz. Empat bocah Pevensie, Peter (William Moseley), Susan (Anna Popplewell), Edmudn (Skandar Keynes) dan Lucy (Georgie Henley), dievakuasi ke kediaman Professor Digory Kirke (Jim Broadbent) di pedesaan. Suatu hari, ketika keempat bocah tersebut bermain petak umpet, Lucy menemukan sebuah lemari besar yang di dalamnya terdapat gerbang menuju sebuah dunia fantasi penuh salju bernama Narnia. Lucy menghabiskan waktu di rumah seekor (?) faun, Mr. Tumnus (James McAvoy). Melalui Mr. Tumnus, Lucy mengetahui seluk beluk musim salju berkepanjangan yang disebabkan oleh kutukan sang Penyihir Putih (Tilda Swinton). Sesuai dengan peraturan yang ditetapkan Penyihir Putih, setiap manusia yang masuk ke Narnia harus diserahkan padanya. Namun, Tumnus yang sudah terlanjur suka dengan Lucy tidak tega melakukannya. Tumnus menyuruh Lucy pulang. Ketika Lucy pulang, waktu sama sekali tidak berlalu lama (seperti yang dia rasakan di dunia Narnia) di dunia nyata. Ketika bocah-bocah Pevensie lainnya memeriksa lemari, portal tersebut sudah lenyap.
Beberapa hari kemudian, Edmund membuntuti Lucy ke dalam lemari. Edmund bertemu dengan Penyihir Putih dan Ginarrbrik, seekor (?) dwarf yang melayaninya. Penyihir Putih menawarkan Turkish Delight (semacam cemilan) pada Edmund. Penyihir Putih juga menjanjikan Edmund akan menjadi raja bila dia membawa semua sadaranya ke kastil Sang Penyihir Putih. Ketika hendak kembali, Edmund bertemu dengan Lucy. Lucy pun, dengan bersemangat, kembali memberitahukan perihal dunia Narnianya pada Peter dan Susan. Namun, Edmund malah (berbohong) menyangkali dunia Narnia di depan Peter dan Susan.
Di hari yang lain lagi, ketika bersembunyi dari pembantu rumah tangga karena memecahkan jendela, akhrinya keempat-empat bocah Pevense itu memasuki Narnia bersama-sama. Peter dan Susan meminta maaf atas ketidakpercayaan mereka pada Lucy. Peter bahkan mengancam Edmund bila tidak meminta maaf pada Lucy. Singkat cerita, mereka mendapati Mr. Tumnus telah ditangkap oleh Agen Rahasia sang Penyihir. Mereka pun bertemu dengan para berang-berang, yang bisa berbicara, yang memberi tahu mereka tentang Aslan. Menurut para berang-berang, Sang Aslan ini hendak mengambil alih kontrol Narnia dari tangan Penyihir Putih. Keempat bocah Pevensie tersebut harus membantu Aslan dan pengikutnya, karena sudah diramalkan bahwa ketika dua putra adam dan dua putri Hawa duduk di singgasana, masa kejayaan Penyihir Putih pun akan berakhir.
Tapi tidak segampang itu perjuangan keempat bocah Pevensie ini. Edmund, diam-diam pergi menemui Penyihir Putih sendirian. Bermodalkan kemarahan dan rasa tidak dihargai oleh Peter, dia berniat memihak Penyihir Putih. Belum lagi, tawaran Penyihir Putih memang terdengan cukup menggiurkan, bukan?
Keempat bocah Pevensi di film ini, sesuai dengan novelnya, memang digambarkan sesuai dengan masanya. Di mana di masa itu bocah-bocah dengan status sosial seperti keempat bocah Pevensie ini terbilang sopan, well-mannered, dan no-f-word. Satu nilai tambah buat film ini untuk ukuran film keluarga. Tapi bukan itu kemenarikan penggambaran keempat bocah Pevensie di film, dan di novelnya juga. Keempat bocah Pevensie tersebut tergambar hidup dan berani. Dan ini termasuk poin vital untuk tokoh-tokoh dalam kisah petualangan mistikal anak-anak semacam ini.
Salah satu stereotipe film-film bermodal CGI semacam ini adalah terlena: terlena dengan hanya menampilkan kecanggihan visualisasi semata. Sebut saja contohnya, “Transformer 2” atau “Iron Man 2.” Tapi tidak di film yang kali ini. Sangat beruntung sang sutradara tidak melupakan pengolahan karakter keemapat bocah Pevensie, seperti di novelnya. Terlihat jelas pada tokoh Edmund yang membelot ke Penyihir Putih karena tergiur janji menjadi raja, karena Edmund sendiri merasa tidak dihargai oleh Peter (sadaranya). Dengan menjadi raja, Edmund merasa akan dihargai. Karena pengkajian karakter empat bocah tersebut, film ini terasa lebih manusiawi ketimbang film-film yang terlena dengan CGI lainnya.
Sutradara: Andrew Adamson
Pemain: Georgie Henley, Skandar Keynes, William Moseley, Anna Popplewell, Tilda Swinton, Liam Neeson, James McAvoy
Tahun Rilis: 2005
Film ini merupakan adaptasi dari novel “The Lion, The Witch and The Wardrobe” (1950) karya C. S. Lewis.
“THE Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe” film pertama adaptasi Disney dari total tujuh novel tentang dunia Narnia. Dalam novelnya sendiri, C. S. Lewis banyak meninggalkan simbolisme-simbolisme kristiani. Binatang-binatangnya. Aslan, Sang Singa, yang merupakan simbolisme Kristus. Jadis, Sang Penyihir Putih. Keseluruhan dunia Narnia tersebut bukanlah sekedar muncul mendadak dari imajinasi liar C. S. Lewis. Semuanya mengandung simbolisme-simbolisme masing-masing Tapi resensi ini tidak akan mengkaji sampai sedalam itu, toh ini bukan esei sastra, ini sekedar resensi praktis seputar film yang diadaptasi dari novel tersebut.
Film dimulai sekitar 1940-an, saat pengeboman Finchley, London, sekitar tragedi Blitz. Empat bocah Pevensie, Peter (William Moseley), Susan (Anna Popplewell), Edmudn (Skandar Keynes) dan Lucy (Georgie Henley), dievakuasi ke kediaman Professor Digory Kirke (Jim Broadbent) di pedesaan. Suatu hari, ketika keempat bocah tersebut bermain petak umpet, Lucy menemukan sebuah lemari besar yang di dalamnya terdapat gerbang menuju sebuah dunia fantasi penuh salju bernama Narnia. Lucy menghabiskan waktu di rumah seekor (?) faun, Mr. Tumnus (James McAvoy). Melalui Mr. Tumnus, Lucy mengetahui seluk beluk musim salju berkepanjangan yang disebabkan oleh kutukan sang Penyihir Putih (Tilda Swinton). Sesuai dengan peraturan yang ditetapkan Penyihir Putih, setiap manusia yang masuk ke Narnia harus diserahkan padanya. Namun, Tumnus yang sudah terlanjur suka dengan Lucy tidak tega melakukannya. Tumnus menyuruh Lucy pulang. Ketika Lucy pulang, waktu sama sekali tidak berlalu lama (seperti yang dia rasakan di dunia Narnia) di dunia nyata. Ketika bocah-bocah Pevensie lainnya memeriksa lemari, portal tersebut sudah lenyap.
Beberapa hari kemudian, Edmund membuntuti Lucy ke dalam lemari. Edmund bertemu dengan Penyihir Putih dan Ginarrbrik, seekor (?) dwarf yang melayaninya. Penyihir Putih menawarkan Turkish Delight (semacam cemilan) pada Edmund. Penyihir Putih juga menjanjikan Edmund akan menjadi raja bila dia membawa semua sadaranya ke kastil Sang Penyihir Putih. Ketika hendak kembali, Edmund bertemu dengan Lucy. Lucy pun, dengan bersemangat, kembali memberitahukan perihal dunia Narnianya pada Peter dan Susan. Namun, Edmund malah (berbohong) menyangkali dunia Narnia di depan Peter dan Susan.
Di hari yang lain lagi, ketika bersembunyi dari pembantu rumah tangga karena memecahkan jendela, akhrinya keempat-empat bocah Pevense itu memasuki Narnia bersama-sama. Peter dan Susan meminta maaf atas ketidakpercayaan mereka pada Lucy. Peter bahkan mengancam Edmund bila tidak meminta maaf pada Lucy. Singkat cerita, mereka mendapati Mr. Tumnus telah ditangkap oleh Agen Rahasia sang Penyihir. Mereka pun bertemu dengan para berang-berang, yang bisa berbicara, yang memberi tahu mereka tentang Aslan. Menurut para berang-berang, Sang Aslan ini hendak mengambil alih kontrol Narnia dari tangan Penyihir Putih. Keempat bocah Pevensie tersebut harus membantu Aslan dan pengikutnya, karena sudah diramalkan bahwa ketika dua putra adam dan dua putri Hawa duduk di singgasana, masa kejayaan Penyihir Putih pun akan berakhir.
Tapi tidak segampang itu perjuangan keempat bocah Pevensie ini. Edmund, diam-diam pergi menemui Penyihir Putih sendirian. Bermodalkan kemarahan dan rasa tidak dihargai oleh Peter, dia berniat memihak Penyihir Putih. Belum lagi, tawaran Penyihir Putih memang terdengan cukup menggiurkan, bukan?
Keempat bocah Pevensi di film ini, sesuai dengan novelnya, memang digambarkan sesuai dengan masanya. Di mana di masa itu bocah-bocah dengan status sosial seperti keempat bocah Pevensie ini terbilang sopan, well-mannered, dan no-f-word. Satu nilai tambah buat film ini untuk ukuran film keluarga. Tapi bukan itu kemenarikan penggambaran keempat bocah Pevensie di film, dan di novelnya juga. Keempat bocah Pevensie tersebut tergambar hidup dan berani. Dan ini termasuk poin vital untuk tokoh-tokoh dalam kisah petualangan mistikal anak-anak semacam ini.
Salah satu stereotipe film-film bermodal CGI semacam ini adalah terlena: terlena dengan hanya menampilkan kecanggihan visualisasi semata. Sebut saja contohnya, “Transformer 2” atau “Iron Man 2.” Tapi tidak di film yang kali ini. Sangat beruntung sang sutradara tidak melupakan pengolahan karakter keemapat bocah Pevensie, seperti di novelnya. Terlihat jelas pada tokoh Edmund yang membelot ke Penyihir Putih karena tergiur janji menjadi raja, karena Edmund sendiri merasa tidak dihargai oleh Peter (sadaranya). Dengan menjadi raja, Edmund merasa akan dihargai. Karena pengkajian karakter empat bocah tersebut, film ini terasa lebih manusiawi ketimbang film-film yang terlena dengan CGI lainnya.
Kemenarikan empat bocah Pevensie di film ini pun tidak luput dari keberhasilan empat pemainnya. Keempat pemain anak-anak, yang sebelumnya sama sekali tidak terlalu terkenal ini, melakukan tugas masing-masing sesuai dengan porsi masing-masing dengan baik. Penampilan paling memikat di film ini adalah penampilan Tilda Swinton sebagai Jadis Sang Penyihir Putih. Tilda Swinton cerdas menggambarkan Jadis sebagai sosok dengan mata yang dingin sekaligus kejam.
Penggambaran tiap-tiap adegan di film ini pun terasa lebih manusiawi tanpa CGI-CGI yang overdosis. Hal itulah yang justru membuat film ini terasa mistikal. Binatang-binatang mitologis Narnia terlihat nyaris hidup. Spesial efeknya pas sesuai kadarnya dan tidak terasa berlebihan. Untuk ukuran film keluarga, film ini berhasil menyuguhkan suasana yang memesona sekaligus menegangkan yang seimbang secara bersamaan.
Penggambaran tiap-tiap adegan di film ini pun terasa lebih manusiawi tanpa CGI-CGI yang overdosis. Hal itulah yang justru membuat film ini terasa mistikal. Binatang-binatang mitologis Narnia terlihat nyaris hidup. Spesial efeknya pas sesuai kadarnya dan tidak terasa berlebihan. Untuk ukuran film keluarga, film ini berhasil menyuguhkan suasana yang memesona sekaligus menegangkan yang seimbang secara bersamaan.
Wow menarik
BalasHapus