Oleh: Rio Johan (Rijon)
SAAT ini saya sedang tertarik menulis tentang dramatisme vs realisme. Mungkin bisa dibilang juga saya lagi pingin sok-sok tahu sebagai penonton ala kadarnya.
Dalam pemahaman saya, sebuah film yang baik, khususnya drama, hakikatnya mampu menyajikan gambaran yang nyata, riil, dan apa adanya. Lantas apa jadinya film yang hanya menampilkan potret nyata? Potret riil? Potret yang tidak dilebih-lebihkan? Atau saya lebih suka menyebutnya (istilah karang-karangan saya sendiri: “film dengan pendekatan realisme” atau singkatnya “film realisme.” Hasil film semacam ini bisa dilihat dari nasib beberapa judul yang memang ditujukan festival. Sebut saja: “The Wind That Shakes the Barley,” “De battre mon cœur s'est arrêté,” “Un prophète,” atau dari Indonesia “3 Doa 3 Cinta.”
Pernah saya suguhkan“(Ajami) عجمي” ke beberapa teman saya. Ada yang bilang , “Filmnya bikin ngantuk!” Ada juga yang bilang, “Filmnya gak jelas!”
Film realisme tidak laku di pasaran.
Saya pun sadar film realsime memang bukan konsumsi penonton awam pada umumnya. Saya juga sadar, sebagai bagian dari seni yang merupakan media penyampaian pesan, film pun digunakan sebagai media pengeruk uang. Atau singkat saja, film itu juga bisnis. Dan saya rasa, produser film – terutama produser rumah-rumah produksi mayor, jauh lebih sadar dari saya akan hakikat film ini.
Maka tidak cukup sekedar menyajikan gambaran yang nyata, riil, dan apa adanya dalam film. Konflik harus dipoles. Susana harus dipoles. Cerita harus dipoles. Penampilan para pemain pun harus dipoles. Koneskuensi pemolesan-pemolesan tersebut tentunya berkurangnya nilai nyata, riil, sekaligus kesan apa adanya dari film tersebut. Atau singkat saja, pendekatan realisme di film tersebut semakin tipis.
Atau singkatnya, “Untuk laku di pasaran, film butuh dramatisasi.”
Tidak ada salahnya sebuah film melakukan dramatisasi. Toh pada kenyataannya, sebagain besar penonton “awam” lebih menikmati dramatisasi ketimbang realisme, sekalipun para wartawan, kritikus terkemuka, bahkan festival hingga penghargaan memuji habis-habisan film realisme tersebut. Bukti nyatanya bisa dilihat jelas di ajang Oscar terakhir ini: “Avatar” vs “The Hurt Locker.” Yang mana yang lebih sukses secara finansial?
Dramatisasi pun ternyata tidak selamanya mampu mengangkat nilai komersialitas sebuah film. Bila dramatisasi yang dilakukan sudah overdosis, maka film pun akan terasa overrated dan jelas sekali merusak nilai estetikanya. Sebut saja film-film semacam “Belum Cukup Umur,” “Ayat-Ayat Cinta,” “18+,” dan sebagainya.
Bicara tentang film realisme, untungnya, memang masih ada beberapa sutradara ternama yang nyatanya tidak terbuay rayuan-rayuan finansial dan masih berpegang teguh pada idealisme realismenya. Sebut saja yang paling dikenal, Ken Loach, sutradara dari Irlandia.
Sutradara: Lola Amaria
Pemain: Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Alamsyah, Donny Damara, Imelda Soraya, Permatasari Harahap
Tahun Rilis: 2010
Tanpa saya sadari saya sudah menulis paragraf panjang soal realisme vs dramatisme dan sama sekali belum menyebut-nyebut nasib “Minggu Pagi di Victoria Park.” Film ini dibesut oleh Lola Amaria, pemeran “Ca-Bau-Kan.” Ini film kedua yang disutradarai Lola Amaria. Film debutannya sebagai sutradara berjudul “Betina,” sebuah film surrealisme (bentuk ini tidak saya bahas di sini) yang tidak diedarkan di bioskop melainkan di kampus-kampus.
Berbeda dengan film pertamanya yang surrealisme, tebakan saya sebelum memasuki bioskop tentang film keduanya ini adalah film realisme. Dalam promosinya film ini menjanjikan sebuah gambaran tentang keidupan TKW di Hongkong, wajar saja ekspektasi saya adalah sebuah gambaran realisme yang jujur tanpa poles-polesan di sana-sini. Sayangnya, sebuah adegan pembuka sudah lebih dahulu menyibak ekspektasi film realisme saya. Dialog pembuka itu kentara sekali unsur dramatismenya. Tapi saya tidak kecewa, saya tetap melanjutkan film ini tanpa ada rasa kecewa dari pembukaannya.
Untungnya, semakin film berjalan, dramatisme yang saya rasakan semakin tidak kentara. Film ini semakin terasa riil. Cerita film ini bisa dibilang sangat sederhana. Mulanya saya mengira film ini bakal memaparkan persoalan kekerasan terhadap TKW di Hongkong. Mulanya saya mengira akan muncul adegan majikan menampar TKW, majikan mencambuk TKW, majikan menzinahi TKW, atau sekedar majikan memarahi TKW. Ternyata tidak sama sekali. Garis besarnya, film ini menceritakan tentang pencarian Mayang (Lola Amaria), seorang TKW di Hongkong, terhadap adiknya Sekar (Titi Sjuman) yang juga TKW di Hongkong. Melalui pencariannya ini lah kehidupan TKW yang berbeda sama sekali dari apa yang pernah saya bayangkan digambarkan. Di film ini, TKW tidak digambrkan sebagai pekerjaan yang mengerikan, tidak pula digambarkan sebagai pekerjaan yang tidak layak dikerjakan. Namun, dengan segala kekurangan dan keuntungannya, TKW digambarkan sebagai pekerjaan yang sama saja derajatnya dengan pekerjaan-pekerjaan layak lainnya.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, semakin film berjalan, film ini semakin terasa realisme. Mulai dari penampilan. Penampilan Lola Amaria, si pelakon tokoh sentral film ini, lumayan lebih meyakinkan ketimbang penampilannya di film sebelumnya, “Ca-Bau-Kan.” Pemain-pemain pendukung lainnya pun tampil cukup natural sesuai dengan porsi masing-masing. Kalaupun ada pemain yang patut dikecewakan, saya rasa cuma Donny Damara yang kadang-kadang tampil dengan gestur tubuh dan ekspresi wajah yang tidak sedap dipandang mata (singkatnya: menganggu). Yang paling menarik perhatian saya, lagi-lagi Titi Sjuman, sekalipun penampilannya di film ini masih kalah dengan pencapaiannya di “Mereka Bilang Saya Monyet!”
Sayangnya masih ada kekurangan-kekurangan kecil di film ini, seperti adegan-adegan yang mubazir. Hingga dialog-dialog yang masih terasa plastik (tidak riil). Sekalipun film ini belum bisa disebut sebuah masterpiece atau maha karya, film ini (dan film sebelumnya: “Betina”) memberikan ekspektasi yang cukup menjanjikan untuk karya-karya selanjutnya dari Lola Amaria.
SAAT ini saya sedang tertarik menulis tentang dramatisme vs realisme. Mungkin bisa dibilang juga saya lagi pingin sok-sok tahu sebagai penonton ala kadarnya.
Dalam pemahaman saya, sebuah film yang baik, khususnya drama, hakikatnya mampu menyajikan gambaran yang nyata, riil, dan apa adanya. Lantas apa jadinya film yang hanya menampilkan potret nyata? Potret riil? Potret yang tidak dilebih-lebihkan? Atau saya lebih suka menyebutnya (istilah karang-karangan saya sendiri: “film dengan pendekatan realisme” atau singkatnya “film realisme.” Hasil film semacam ini bisa dilihat dari nasib beberapa judul yang memang ditujukan festival. Sebut saja: “The Wind That Shakes the Barley,” “De battre mon cœur s'est arrêté,” “Un prophète,” atau dari Indonesia “3 Doa 3 Cinta.”
Pernah saya suguhkan“(Ajami) عجمي” ke beberapa teman saya. Ada yang bilang , “Filmnya bikin ngantuk!” Ada juga yang bilang, “Filmnya gak jelas!”
Film realisme tidak laku di pasaran.
Saya pun sadar film realsime memang bukan konsumsi penonton awam pada umumnya. Saya juga sadar, sebagai bagian dari seni yang merupakan media penyampaian pesan, film pun digunakan sebagai media pengeruk uang. Atau singkat saja, film itu juga bisnis. Dan saya rasa, produser film – terutama produser rumah-rumah produksi mayor, jauh lebih sadar dari saya akan hakikat film ini.
Maka tidak cukup sekedar menyajikan gambaran yang nyata, riil, dan apa adanya dalam film. Konflik harus dipoles. Susana harus dipoles. Cerita harus dipoles. Penampilan para pemain pun harus dipoles. Koneskuensi pemolesan-pemolesan tersebut tentunya berkurangnya nilai nyata, riil, sekaligus kesan apa adanya dari film tersebut. Atau singkat saja, pendekatan realisme di film tersebut semakin tipis.
Atau singkatnya, “Untuk laku di pasaran, film butuh dramatisasi.”
Tidak ada salahnya sebuah film melakukan dramatisasi. Toh pada kenyataannya, sebagain besar penonton “awam” lebih menikmati dramatisasi ketimbang realisme, sekalipun para wartawan, kritikus terkemuka, bahkan festival hingga penghargaan memuji habis-habisan film realisme tersebut. Bukti nyatanya bisa dilihat jelas di ajang Oscar terakhir ini: “Avatar” vs “The Hurt Locker.” Yang mana yang lebih sukses secara finansial?
Dramatisasi pun ternyata tidak selamanya mampu mengangkat nilai komersialitas sebuah film. Bila dramatisasi yang dilakukan sudah overdosis, maka film pun akan terasa overrated dan jelas sekali merusak nilai estetikanya. Sebut saja film-film semacam “Belum Cukup Umur,” “Ayat-Ayat Cinta,” “18+,” dan sebagainya.
Bicara tentang film realisme, untungnya, memang masih ada beberapa sutradara ternama yang nyatanya tidak terbuay rayuan-rayuan finansial dan masih berpegang teguh pada idealisme realismenya. Sebut saja yang paling dikenal, Ken Loach, sutradara dari Irlandia.
Sutradara: Lola Amaria
Pemain: Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Alamsyah, Donny Damara, Imelda Soraya, Permatasari Harahap
Tahun Rilis: 2010
Tanpa saya sadari saya sudah menulis paragraf panjang soal realisme vs dramatisme dan sama sekali belum menyebut-nyebut nasib “Minggu Pagi di Victoria Park.” Film ini dibesut oleh Lola Amaria, pemeran “Ca-Bau-Kan.” Ini film kedua yang disutradarai Lola Amaria. Film debutannya sebagai sutradara berjudul “Betina,” sebuah film surrealisme (bentuk ini tidak saya bahas di sini) yang tidak diedarkan di bioskop melainkan di kampus-kampus.
Berbeda dengan film pertamanya yang surrealisme, tebakan saya sebelum memasuki bioskop tentang film keduanya ini adalah film realisme. Dalam promosinya film ini menjanjikan sebuah gambaran tentang keidupan TKW di Hongkong, wajar saja ekspektasi saya adalah sebuah gambaran realisme yang jujur tanpa poles-polesan di sana-sini. Sayangnya, sebuah adegan pembuka sudah lebih dahulu menyibak ekspektasi film realisme saya. Dialog pembuka itu kentara sekali unsur dramatismenya. Tapi saya tidak kecewa, saya tetap melanjutkan film ini tanpa ada rasa kecewa dari pembukaannya.
Untungnya, semakin film berjalan, dramatisme yang saya rasakan semakin tidak kentara. Film ini semakin terasa riil. Cerita film ini bisa dibilang sangat sederhana. Mulanya saya mengira film ini bakal memaparkan persoalan kekerasan terhadap TKW di Hongkong. Mulanya saya mengira akan muncul adegan majikan menampar TKW, majikan mencambuk TKW, majikan menzinahi TKW, atau sekedar majikan memarahi TKW. Ternyata tidak sama sekali. Garis besarnya, film ini menceritakan tentang pencarian Mayang (Lola Amaria), seorang TKW di Hongkong, terhadap adiknya Sekar (Titi Sjuman) yang juga TKW di Hongkong. Melalui pencariannya ini lah kehidupan TKW yang berbeda sama sekali dari apa yang pernah saya bayangkan digambarkan. Di film ini, TKW tidak digambrkan sebagai pekerjaan yang mengerikan, tidak pula digambarkan sebagai pekerjaan yang tidak layak dikerjakan. Namun, dengan segala kekurangan dan keuntungannya, TKW digambarkan sebagai pekerjaan yang sama saja derajatnya dengan pekerjaan-pekerjaan layak lainnya.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, semakin film berjalan, film ini semakin terasa realisme. Mulai dari penampilan. Penampilan Lola Amaria, si pelakon tokoh sentral film ini, lumayan lebih meyakinkan ketimbang penampilannya di film sebelumnya, “Ca-Bau-Kan.” Pemain-pemain pendukung lainnya pun tampil cukup natural sesuai dengan porsi masing-masing. Kalaupun ada pemain yang patut dikecewakan, saya rasa cuma Donny Damara yang kadang-kadang tampil dengan gestur tubuh dan ekspresi wajah yang tidak sedap dipandang mata (singkatnya: menganggu). Yang paling menarik perhatian saya, lagi-lagi Titi Sjuman, sekalipun penampilannya di film ini masih kalah dengan pencapaiannya di “Mereka Bilang Saya Monyet!”
Sayangnya masih ada kekurangan-kekurangan kecil di film ini, seperti adegan-adegan yang mubazir. Hingga dialog-dialog yang masih terasa plastik (tidak riil). Sekalipun film ini belum bisa disebut sebuah masterpiece atau maha karya, film ini (dan film sebelumnya: “Betina”) memberikan ekspektasi yang cukup menjanjikan untuk karya-karya selanjutnya dari Lola Amaria.
Belum nonton Mereka Bilang Saya Monyet...hehehe.but i'm sure she's really good there.aktris kyk gitu udh keliatan fearless dari MPdVP :)
BalasHapuskayanya ga bakalan tayang di 21 bali, nunggu ampe vcd/dvdnya keluar dulu...mudah2an bagus,
BalasHapusjarang banget nonton film indonesia