Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Ravi Bharwani, Rayya Makarim, & Utawa Tresno
Pemain: Didi Petet, Yayu Aw Unru, Iqbal S. Manurung, Chairil A. Dalimunthe
Tahun Rilis: 2009
BAGI saya, “Jermal” merupakan film terbaik keluaran Indonesia sepuluh tahun belakangan ini, mendahului “3 Doa 3 Cinta” dan “Mereka Bilang Saya Monyet!”
Lupakan sejenak “Laskar Pelangi” yang memang lebih sukses dari “Jermal.” Film besutan Riri Reza itu memang lebih memanjakan mata dan pikiran penonton ketimbang “Jermal.” Namun, sebagai sesama film yang salah satu temanya adalah anak-anak, pencapaian “Jermal” jauh di atas “Laskar Pelangi.” Sekalipun, sekalipun (saya tegaskan) “Laskar Pelangi” lebih laku di pasaran.
Hal pertama yang membuat “Jermal” menduduki peringkat pertama film terbaik sepuluh tahun terakhir ini adalah nilai humanismenya yang kental. Film ini mengingatkan saya pada sinema-sinema Iran yang kerap kali mengusung topik-topik humanisme ke dalam film. Ada dua gambaran menarik di film ini: gambaran tentang kerasnya kehidupan pekerja anak-anak di Jermal dan hubungan anak-bapak dua tokoh utamanya serta bagaimana pergolakan psikologis mereka sepanjang film. Layaknya sinema Iran, satu hal yang patut diacungi jempol lagi, film ini tidak tampil mengguru, tidak tampil menceramahi, tidak pula menyepelekan hakikatnya sebagai seni hanya karena ingin menampilkan pesan yang manusiawi.
Selain mengingatkan pada humanisme sinema Iran, film ini juga mengingatkan saya pada realisme sinema Perancis. Film ini sangat realis. Pendekatan realisme yang dilakukan di film ini sangat kental. Mulai dari pengambilan gambarnya. Film ini melakukan pengambilan gambar apa-adanya. Tidak terasa efek-efek atau teknik-teknik kamera lebay yang menganggu sepanjang film (layaknya film-film Nayato Fio Naula). Akting pemainnya pun dibuat serealisme mungkin. Selain Didi Petet, bisa dibilang semua pemain di film ini non-profesional. Agak mengingatkan saya dengan “(Ajami)” dan “Entre Les Murs” yang juga menggunakan pemain-pemain non-profesional. Hasilnya, “Jermal” memberikan kesan dokumenter yang sangat menarik. Pujian, selain diberikan pada Didi Petet yang tidak heran lagi dengan penampilan riil-nya, patut diberikan pula pada Iqbal S. Manurung. Iqbal S. Manurung menunjukkan sensitivitas dan sensibilitas yang menarik sebagai aktor anak-anak. Dia mampu mengkadar emosinya untuk tiap-tiap adegan dengan baik. Pemandangan yang ditampilkan pun turut memberikan nilai lebih. Penggambaran latar jermal yang di ambil sangat mampu membawa penonton pada dunia lain yang selama ini mungkin tidak terjamah.
Film ini bercerita tentang Jaya (Iqbal S. Manurung), anak laki-laki yang baru saja kehilang ibunya, yang datang ke sebuah jermal – tempat penjaringan ikan – demi mencari bapaknya, Johar (Didi Petet). Pertemuan ini justru menghasilkan hubungan yang serba asing bagi keduanya.
Sutradara: Ravi Bharwani, Rayya Makarim, & Utawa Tresno
Pemain: Didi Petet, Yayu Aw Unru, Iqbal S. Manurung, Chairil A. Dalimunthe
Tahun Rilis: 2009
BAGI saya, “Jermal” merupakan film terbaik keluaran Indonesia sepuluh tahun belakangan ini, mendahului “3 Doa 3 Cinta” dan “Mereka Bilang Saya Monyet!”
Lupakan sejenak “Laskar Pelangi” yang memang lebih sukses dari “Jermal.” Film besutan Riri Reza itu memang lebih memanjakan mata dan pikiran penonton ketimbang “Jermal.” Namun, sebagai sesama film yang salah satu temanya adalah anak-anak, pencapaian “Jermal” jauh di atas “Laskar Pelangi.” Sekalipun, sekalipun (saya tegaskan) “Laskar Pelangi” lebih laku di pasaran.
Hal pertama yang membuat “Jermal” menduduki peringkat pertama film terbaik sepuluh tahun terakhir ini adalah nilai humanismenya yang kental. Film ini mengingatkan saya pada sinema-sinema Iran yang kerap kali mengusung topik-topik humanisme ke dalam film. Ada dua gambaran menarik di film ini: gambaran tentang kerasnya kehidupan pekerja anak-anak di Jermal dan hubungan anak-bapak dua tokoh utamanya serta bagaimana pergolakan psikologis mereka sepanjang film. Layaknya sinema Iran, satu hal yang patut diacungi jempol lagi, film ini tidak tampil mengguru, tidak tampil menceramahi, tidak pula menyepelekan hakikatnya sebagai seni hanya karena ingin menampilkan pesan yang manusiawi.
Selain mengingatkan pada humanisme sinema Iran, film ini juga mengingatkan saya pada realisme sinema Perancis. Film ini sangat realis. Pendekatan realisme yang dilakukan di film ini sangat kental. Mulai dari pengambilan gambarnya. Film ini melakukan pengambilan gambar apa-adanya. Tidak terasa efek-efek atau teknik-teknik kamera lebay yang menganggu sepanjang film (layaknya film-film Nayato Fio Naula). Akting pemainnya pun dibuat serealisme mungkin. Selain Didi Petet, bisa dibilang semua pemain di film ini non-profesional. Agak mengingatkan saya dengan “(Ajami)” dan “Entre Les Murs” yang juga menggunakan pemain-pemain non-profesional. Hasilnya, “Jermal” memberikan kesan dokumenter yang sangat menarik. Pujian, selain diberikan pada Didi Petet yang tidak heran lagi dengan penampilan riil-nya, patut diberikan pula pada Iqbal S. Manurung. Iqbal S. Manurung menunjukkan sensitivitas dan sensibilitas yang menarik sebagai aktor anak-anak. Dia mampu mengkadar emosinya untuk tiap-tiap adegan dengan baik. Pemandangan yang ditampilkan pun turut memberikan nilai lebih. Penggambaran latar jermal yang di ambil sangat mampu membawa penonton pada dunia lain yang selama ini mungkin tidak terjamah.
Film ini bercerita tentang Jaya (Iqbal S. Manurung), anak laki-laki yang baru saja kehilang ibunya, yang datang ke sebuah jermal – tempat penjaringan ikan – demi mencari bapaknya, Johar (Didi Petet). Pertemuan ini justru menghasilkan hubungan yang serba asing bagi keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar