Sutradara: Vittorio De Sica
Pemain: Lamberto Maggiorani, Enzo Staiola, Lianella Carell, Vittorio Antonucci, Gino Saltamerenda, Giulio Chiari
Tahun Rilis: 1948
Judul Internasional: “Bicycle Thieves” atau “The Bicycle Thief”
VITTORIO de Sicca memang telah dianggap sebagai salah satu figur yang berjasa di industri perfilman. Namanya dikenal meluas karena gebrakan-gebrakan teknik neorealisme Italia yang sering dijumpai di karya-karyanya. Termasuk di film “Ladri di biciclette” ini, atau lebih dikenal dengan judul “Bicycle Thieves” atau “The Bicycle Thief.”
Neorealisme sendiri adalah gaya pengkarakterisasian dengan cerita seputar permasalahan kalangan miskin atau menengah. Pengambilan gambar dengan gaya neorealisme biasanya dilakukan pada lokasi aslinya, bukan dengan setting replikaan studio. Tidak jarang pula film-film yang menggunakan gaya neorealisme ini menggunakan aktor-aktor non profesional. Biasanya, film-film neorealisme mengangkat masalah seputar masalah ekonomi, kemanusiaan, krisis moral, hingga human nature (jadi jangan terlalu berharap ada adegan aksi super-canggih ala “Iron Man”). Gaya neorealisme ini mendominasi perfilman Italia pada sekitar 1944 –1952, era ini dikenal juga dengan nama “Era Neorealisme.”
Dalam sejarah Academy Awards (alias Oscar), “Ladri di biciclette” adalah film ketiga yang menggaet patung Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film tahun 1949. Film ini juga termasuk dalam daftar 100 film berbahasa asing (non-Inggris) terbaik sepanjang masa versi AFI (American Film Institute). Dan dari poster sefia di atas, bisa dilihat sutradara sekelas Ken Loach, Joel Schumacher, bahkan Stanley Kubrick, menganggap “Ladri di biciclette” sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa.
Apa kira-kira alasannya? Gampang saja, film ini tidak memaksa untuk tampil heboh. Tidak juga memaksa untuk tampil sok-pintar. Pun tidak memaksa untuk tampil kritis, rumit, atau dilematis. Banyak detil-detil penting di film klasik ini yang sudah sangat jarang dijumpai di film-film modern super-canggih sekarang. Apa yang ditampilkan di film ini murni kejadian sehari-hari tanpa embel-embel atau tempel-tempelan dramatisasi. Apa yang terjadi di film ini, bisa dialami siapa saja kapan saja di mana saja, termasuk saya.
“Ladri di biciclette” bercerita tentang Antonio Ricci (Lamberto Maggiorani), seorang pria pengangguran yang hidup pada masa krisis ekonmi Italia pasca Perang Dunia II. Tanpa uang, dengan seorang istri dan dua anak yang harus ditanggung, Antonio mati-matian mencari pekerjaan. Antonio, akhirnya, mendapat peluang bekerja sebagai penempel poster, sayangnya untuk mendapat pekerjaan itu dia harus mempunyai sebuah sepeda. Tidak ada sepeda, tidak ada pekerjaan. Maria Ricci (Lianella Carell), istrinya, menjual kasur tidur mereka untuk mendaatkan sepeda dari seorang makelar.
Kemalangan pun menimpa Antonio. Di hari pertama Antonio bekerja, ketika sedang menempel sebuah poster, sepedanya dicuri oleh seorang pemuda.
Antonio segera melapor polisi (berharap polisi bakal menanggapi serius kasusnya ini), sayangnya polisi tidak terlalu tertarik menangangi kasus pencurian sepeda (yang terbilang kecil). Antonio pun, dibantu teman-temannya, mengelilingi jalanan Roma demi mencari sepedanya (atau pencurinya). Berjam-jam mereka mencari tanpa hasil, akhirnya teman-teman Antonio pun menyerah.
Ketika sedang menikati makanan di sebuah kedai bersama putranya, Bruno (Enzo Staiola), Antonio sadar tanpa pekerjaan, dia (dan keluarganya) akan kelaparan. Dan tanpa sepeda, tidak akan ada pekerjaan untuknya. Tidak tahu harus ke mana lagi, Antonio mengunjungi seorang peramal (yang di awal film sempat dilecehkannya). Antonio berharap agar peramal tersebut bisa melihat di mana keberadaan sepedanya. Sayangnya, sang peramal malah memberi jawaban, “Kamu akan menemukan sepeda itu secepatnya, atau tidak akan pernah sama sekali.”Ketika keluar dari kediaman sang peramal, tidak diduga Antonio berjumpa dengan pemuda yang mencuri sepedanya. Antonio mengejarnya sampai ke sebuah kawasan rumah bordil. Antonio memojokkan sang pencuri di tengah-tengah publik (di depan para tetangganya). Terjadilah semacam kericuhan. Bruno, kabur untuk memanggil polisi. Sementara Antonio, yang sedang dikuasai amarah menuduh habis-habisan sang pemuda di depan para tetangganya. Sang pemuda pun mengelak semua tuduhan Antonio tersebut. Ketika polisi tiba, mereka menggeledah rumah sang pemuda. Tidak ditemukan bekas-bekas sepeda Antonio di dalamnya. Sang polisi pun tidak bisa berbuat apa-apa. Sekalipun Antonio yakin pemuda itu adalah sang pencuri sepedanya, dia tidak punya bukti yang kuat, tidak pula saksi. Antonio tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia, dan Bruno, meninggalkan kawasan tersebut, sementara orang-orang di belakangnya berteriak mengejeknya.
Ending film ini termasuk ending yang terbaik yang pernah disajikan. Jelas, ending film klasik ini bukan ending yang paling heboh. Tapi ending film ini termasuk ending yang mampu mengkaji segala intisari yang dihadirkan sepanjang cerita sebelumnya. Apa sih pentingnya heboh?
Di ending, Antonio duduk di seberang stadion sepak bola. Ratusan sepeda diparkir di luar stadium. Dan Antonio hanya bisa menatap sepeda-sepeda itu dengan mata putus asa. Antonio makin putus asa ketika sebuah sepeda melaluinya, seakan-akan mengejeknya. Di gang sepi yang berlawanan dengan stadion sepakbola, Antonio mendapati sebuah sepeda terparkir. Gang itu sangat sepi, nyaris tidak ada siapa-siapa. Antonio dihadapkan pada dilema moralnya.
Dilema moral Antonio ini sangat manusiawi, dan bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan, semua intisari film ini bisa saja terjadi pada siapa saja. Film ini bukan tentang kehebohan, bukan tentang grafik komputer super canggih, bukan tentang konflik dan intrik rumit, bukan pula tentang komersialitas. Film ini tentang human nature yang bisa dijumpai di setiap manusia. Dan intisari tersebut, untungnya, tidak disajikan dengan dramatisir, tapi dengan sangat realistis dan bersahaja. Endingnya tersebut mengingatkan saya pada pengalaman SMA dulu. Seorang teman saya pernah kecurian helm di parkiran SMA. Tanpa helm, dia tidak bisa pulang dengan membawa motornya (pastinya bakal ditilang). Dan dia sama sekali tidak tahu siapa yang mencuri helmnya. Tragedi moral yang dirasakan Antonio di ending, kurang lebih sama dengan tragedi yang dirasakan teman saya saat itu. Dan dilema moral semacam ini, sangat manusiawi. Toh tidak ada manusia yang sempurna? Teman saya pun pada saat itu, mau tidak mau, memilih untuk mencuri helm orang lain.
sedih scene di restoran, ah makin penasaran ama film jadul Sinopsis Film, Review Film, Resensi Film, Cerita Film
BalasHapus