Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Ingmar Bergman
Pemain: Max von Sydow, Birgitta Valberg, Gunnel Lindblom, Birgitta Pettersson
Tahun Rilis: 1960
Judul Internasional: “The Virgin Spring”
“THE Virgin Spring” adalah salah satu dari sekian banyak karya klasik cemerlang Ingmar Bergman, seorang sutradara Swedia yang cukup diakui oleh dunia. “The Virgin Spring” adalah film pertama Ingmar Bregman yang memenangkan patung emas Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film pada tahun 1960. Tahun berikutnya, 1961, beliau meraup patung tersebut (dalam kategori yang sama pula), untuk film yang berjudul “Såsom i en spegel” (Through a Glass Darkly). Tahun 1971, Ingmar Bergman dianugrahi Irving G. Thalberg Memorial Award (oleh Academy Awards aka Oscar)
Karya-karya Ingmar Bergman seringkali berputar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensialisme mengenai moralitas, kesendirian, dan keyakinan religius. Termasuk pula di film ini, ciri khas Ingmar Bergaman tersebut terasa kental sekali.
Sutradara: Ingmar Bergman
Pemain: Max von Sydow, Birgitta Valberg, Gunnel Lindblom, Birgitta Pettersson
Tahun Rilis: 1960
Judul Internasional: “The Virgin Spring”
“THE Virgin Spring” adalah salah satu dari sekian banyak karya klasik cemerlang Ingmar Bergman, seorang sutradara Swedia yang cukup diakui oleh dunia. “The Virgin Spring” adalah film pertama Ingmar Bregman yang memenangkan patung emas Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film pada tahun 1960. Tahun berikutnya, 1961, beliau meraup patung tersebut (dalam kategori yang sama pula), untuk film yang berjudul “Såsom i en spegel” (Through a Glass Darkly). Tahun 1971, Ingmar Bergman dianugrahi Irving G. Thalberg Memorial Award (oleh Academy Awards aka Oscar)
Karya-karya Ingmar Bergman seringkali berputar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensialisme mengenai moralitas, kesendirian, dan keyakinan religius. Termasuk pula di film ini, ciri khas Ingmar Bergaman tersebut terasa kental sekali.
Film hitam putih ini berlatar pada masa medieval di Swedia. Film dibuka dengan adegan seorang wanita hamil, Ingeri (Gunnel Lindblom), sedang menyalakan api. Lalu Ingeri beranjak meraih kayu penopang celah di langit-langit, membuka celah di langit-langit agar gubuk tersebut disinari cahaya matahari. Dari ekspresinya, bisa dilihat ada sesuatu yang aneh sedang terjadi pada jiwaIngeri. Matanya terlihat kebingungan. Dan raut mukanya pun terlihat labil. Hingga sampailah pada adegan di mana Ingeri memeluk kayu penopang bersimbah sinar mentari pagi tadi sambil bergumam, “Datanglah Odin! Datanglah Odin! Datanglah Odin!” Dari sini terkuak, bahwa Ingeri diam-diam (karena pada masa medieval tersebut agama yang sedang berkembang adalah Kristen) memuja Odin, dewa dalam mitologi Nordik. Bahkan di adegan pembukan itu saja, ciri khas tersebut sudah diperkenalkan dengan sangat kental.
Kekentalan tema seputar religus pun tidak hanya sampai di situ. Adegan pembukaan seputar gadis pemuja Odin itu dialihkan ke sebuah gereja, sepasang suami-istri, Töre (Max von Sydow) and Märeta (Birgitta Valber), sedang berdoa di dalamnya. Märeta hendak meneteskan lelehan lilin panas ke tangannya. Dan ketika Töre berusaha mencegah, wanita itu menjawab, “Hari ini hari Jumat, hari penderitaan Yesus.”
Ingeri ternyata adalah putri angkat pasangan Töre and Märeta. Pasangan tersebut mempunyai seorang putri kandung bernama Karin (Brigitta Pettersson). Karin dan Ingeri adalah dua sosok saudiri tiri yang sangat berlawanan. Ibu mereka, Märeta, bahkan menyatakan mereka berdua bagaikan mawar (Karin) dan durinya (Ingeri). Karin merupakan sosok gadis yang lugu nan manja, dia merengek lebih suka dibuatkan roti berlapis beri ketimbang mentega. Ingeri, yang kelihatan sekali muak dengan Karin, malah menaruh kodok di dalam roti Karin. Dua saudari ini saling bertentangan. Saling berlawanan. Yang satu baik, yang satu jahat Dalam penggambaran sosok dua saudari ini Ingmar Bergman menggunakan formula yang sering dipakai di cerita-cerita rakyat. Ingat “Bawang Merah dan Bawang Putih,” atau kisah-kisah tentang dua saudari (yang satu baik, yang satu jahat) lainnya?
Karin ditugaskan oleh ayahnya untuk mengantarkan lilin ke gereja sebagai penghormatan untuk perawan Maria. Sang ibu, yang pada malam harinya mendapat firasat buruk, sebenarnya menolak tugas tersebut. Tapi Töre bersikeras agar Karin melaksakan tugas tersebut dengan alasan harus seorang perawan yang mengantarkan lilin ke gereja. Dan Karin, tentunya, masih perawan (belum ternoda). Dengan menggunakan gaun mewah yang konon dijahit oleh lima belas wanita, Karin pun mengantarkan lilin ke gereja. Karin mengajak Ingeri unuk menemaninya.
Di tengah perjalanan, di pinggiran sungai, Ingeri dikagetkan oleh seorang pria tua penyembah Odin yang hendak menjadikannya persembahan. Ingeri berlari ketakutan, terpisah dengan Karin. Sementara Karin, di perjalanannya, dia berjumpa dengan tiga gembala (seorang laki-laki, seorang laki-laki bisu, dan seorang bocah). Mereka mengajak Karin makan bersama-sama. Dan Karin menerima. Tidak diduga, dua lelaki (yang sudah dewasa) malah memerkosa Karin. Setelah itu, mereka membunuh Karin dan melucuti pakaian mahal yang dikenakannya. Sementara di kejauhan, Ingeri menonton adegan demi adegan tersebut dengan ketakutan.
Simbolisme-simbolisme dan penggambaran-penggambaran religius jelas sekali terasa kuat di film ini: adegan pembuka tentang gadis pemuja Odin, Dua saudari – yang satu baik dan yang satu jahat, tiga gembala, bocah yang sebenarnya hanya menyaksikan dua saudaranya melakukan pembunuhan tapi tetap merasakan nasib yang sama dengan dua saudaranya, penyesalanTöre yang taat akan ajaran Kristiani ketika mendapati tangannya berlumuran darah, hingga mata air muncul dari tempat terbunuhnya Karin. Ingeri, yang merasa bersalah karena selama ini memohon pada Odin agar Karin celaka (dan benar terjadi), membasuh wajahnya dengan mata air tersebut (semacam simbolisme penebusan kesalahannya).
Suasana film ini lebih mirip cerita rakyat (folklore). Nuansa mistis bercampur religius, hitam, gloomy, kelam, bercampur aduk di dalam film ini. Ingmar Bergman, melalui filmnya ini, terasa jelas sekali berambisi dalam menggali substansinya. Karakteristik tiap tokohnya pun superb, mendetil, dan aneh (dalam artian bagus). Atmosfir yang dibentuk membuat film ini indah, aneh, sekaligus disturbing secara bersamaan.
Kekentalan tema seputar religus pun tidak hanya sampai di situ. Adegan pembukaan seputar gadis pemuja Odin itu dialihkan ke sebuah gereja, sepasang suami-istri, Töre (Max von Sydow) and Märeta (Birgitta Valber), sedang berdoa di dalamnya. Märeta hendak meneteskan lelehan lilin panas ke tangannya. Dan ketika Töre berusaha mencegah, wanita itu menjawab, “Hari ini hari Jumat, hari penderitaan Yesus.”
Ingeri ternyata adalah putri angkat pasangan Töre and Märeta. Pasangan tersebut mempunyai seorang putri kandung bernama Karin (Brigitta Pettersson). Karin dan Ingeri adalah dua sosok saudiri tiri yang sangat berlawanan. Ibu mereka, Märeta, bahkan menyatakan mereka berdua bagaikan mawar (Karin) dan durinya (Ingeri). Karin merupakan sosok gadis yang lugu nan manja, dia merengek lebih suka dibuatkan roti berlapis beri ketimbang mentega. Ingeri, yang kelihatan sekali muak dengan Karin, malah menaruh kodok di dalam roti Karin. Dua saudari ini saling bertentangan. Saling berlawanan. Yang satu baik, yang satu jahat Dalam penggambaran sosok dua saudari ini Ingmar Bergman menggunakan formula yang sering dipakai di cerita-cerita rakyat. Ingat “Bawang Merah dan Bawang Putih,” atau kisah-kisah tentang dua saudari (yang satu baik, yang satu jahat) lainnya?
Karin ditugaskan oleh ayahnya untuk mengantarkan lilin ke gereja sebagai penghormatan untuk perawan Maria. Sang ibu, yang pada malam harinya mendapat firasat buruk, sebenarnya menolak tugas tersebut. Tapi Töre bersikeras agar Karin melaksakan tugas tersebut dengan alasan harus seorang perawan yang mengantarkan lilin ke gereja. Dan Karin, tentunya, masih perawan (belum ternoda). Dengan menggunakan gaun mewah yang konon dijahit oleh lima belas wanita, Karin pun mengantarkan lilin ke gereja. Karin mengajak Ingeri unuk menemaninya.
Di tengah perjalanan, di pinggiran sungai, Ingeri dikagetkan oleh seorang pria tua penyembah Odin yang hendak menjadikannya persembahan. Ingeri berlari ketakutan, terpisah dengan Karin. Sementara Karin, di perjalanannya, dia berjumpa dengan tiga gembala (seorang laki-laki, seorang laki-laki bisu, dan seorang bocah). Mereka mengajak Karin makan bersama-sama. Dan Karin menerima. Tidak diduga, dua lelaki (yang sudah dewasa) malah memerkosa Karin. Setelah itu, mereka membunuh Karin dan melucuti pakaian mahal yang dikenakannya. Sementara di kejauhan, Ingeri menonton adegan demi adegan tersebut dengan ketakutan.
Simbolisme-simbolisme dan penggambaran-penggambaran religius jelas sekali terasa kuat di film ini: adegan pembuka tentang gadis pemuja Odin, Dua saudari – yang satu baik dan yang satu jahat, tiga gembala, bocah yang sebenarnya hanya menyaksikan dua saudaranya melakukan pembunuhan tapi tetap merasakan nasib yang sama dengan dua saudaranya, penyesalanTöre yang taat akan ajaran Kristiani ketika mendapati tangannya berlumuran darah, hingga mata air muncul dari tempat terbunuhnya Karin. Ingeri, yang merasa bersalah karena selama ini memohon pada Odin agar Karin celaka (dan benar terjadi), membasuh wajahnya dengan mata air tersebut (semacam simbolisme penebusan kesalahannya).
Suasana film ini lebih mirip cerita rakyat (folklore). Nuansa mistis bercampur religius, hitam, gloomy, kelam, bercampur aduk di dalam film ini. Ingmar Bergman, melalui filmnya ini, terasa jelas sekali berambisi dalam menggali substansinya. Karakteristik tiap tokohnya pun superb, mendetil, dan aneh (dalam artian bagus). Atmosfir yang dibentuk membuat film ini indah, aneh, sekaligus disturbing secara bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar