Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Upi Avianto
Pemain: Tika Panggabean, Indy Barends, Sarah Sechan, Cut Mini, Aida Nurmala, Lukman Sardi, Revalina S Temat, Shanty, Irfan Hakim, Niniek L. Karim, Edo Kondologit
Tahun Rilis: 2010
BELUM lama ini perfilman Indonesia meluncurkan “RATU KOSTmopolitan” yang memamerkan Luna Maya, Tyas Mirasih, dan Imey-Liem, yang kesemuanya cantik nan seksi. Kali ini, Upi Avianto (sutradara wanita yang dikenal dengan “Radit dan Jani”), melalui “Red Cobex” mencoba memanjakan kita dengan formula serupa. Bedanya, tiga gadis cantik nan seksi tersebut diganti dengan lima emak-emak pembasmi keonaran, kemaksiatan, dan kemudharatan.
“Red Cobex” bisa dibilang punya kemiripan dengan “RATU KOSTmopolitan,” tapi tidak bisa juga dibilang benar-benar persis/mirip. Saya tidak akan menuduh (toh kedua film itu jelas berbeda), saya hanya akan membandingkan. Kemiripan pertama, kedua film itu sama-sama bergenre komedi berbalut aksi, tentunya. Kedua film itu sama-sama menonjolkan ke-maskulin-an kaum hawa. Kedua film itu sama-sama mengangkat misi Bhineka Tunggal Ika, di mana para pahlawan wanitanya memiliki perbedaan suku yang ditonjolkan dari bahasa dan aksen berbicara.
“Red Cobex” dibuka dengan perkenalan anggota lima geng Red CobeX: Mama Ana (Tika Panggabean – berlogat Ambon), Tante Lisa (Indy Barends – berlogatManado), Yu Halimah (Aida Nurmala – berlogat Tegal), Mbok Bariah (Sarah Sechan – berlogat Madura) dan Cik Meymey (Cut Mini – berlogat Mandarin). Mama Ana mempunyai seorang anak laki-laki yang lugu bernama Yopie (Lukman Sardi). Lima femme fatale anggota Red CobeX ini, bersama Yopie (yang kebanyakan cuma nonton doang), tidak segan-segan menindas mereka-mereka yang melakukan tindakan keonaran, kemaksiatan, dan kemudharatan. Sampai suatu hari, kelima emak-emak ini, serta Yopie, dipenjara karena mencuri toko perhiasan mantan suami Mama Ana. Setahun kemudian, Yopie dibebaskan dari penjara. Yopie numpang tinggal dengan Ramli (Irfan Hakim), sahabat kecilnya. Namun, istri Ramli, Ipah (Shanty), yang cerewet, judes, dan cemburuan, sama sekali tidak menerima kehadiran Yopie.
Kehidupan Yopie pasca penjara ternyata tidak segampang ketika dia belum dipenjara dulu. Dulu, ibunya selalu melakukan apa pun (dengan semena-mena) untuknya. Sekarang, Yopie harus hidup layaknya orang normal. Yopie bekerja sebagai pelayan restoran. Di restoran itu Yopie berjumpa dengan Astuti (Revalina S. Temat), gadis jawa yang cantik jelita. Yopie dan Astuti pun saling memadu cinta.
Untuk sebuah komedi yang mengusung suasana konyol, “Red Cobex” ternyata masih menderita permasalahan serupa dengan “RATU KOSTmopolitan.” Unsur multikultural yang diusung ternyata sama sekali tidak membantu, somehow, malah terasa terlalu berlebihan untuk diemban film ini. Unsur multikulturalnya cuma sebuah tempelan, dan sama sekali tidak terasa pengaruh kentalnya dengan arus cerita. Andai kata dihilangkan, toh tidak ada bagian cerita yang terganggu? Justru, mungkin, bakal terasa lebih natural. Well, bukannya saya tidak suka dengan unsur multikultural yang diusung “Red Cobex” atau “RATU KOSTmopolitan,” hanya saja eksekusinya yang malah membuat unsur multikultural tersebut hanya sekedar heboh-hebohan yang menganggu. Saya bahkan jadi ingat film “Ibunda” besutan Teguh Karya yang juga membahas perihal pertabrakan nilai-nilai antar-kultur. Bedanya, multikultural yang diangkat di “Ibunda” tidak sekedar berupa tempelan, tapi juga punya pengaruh terhadap kesinambungan ceritanya.
Untuk urusan komedinya pun film ini tidak bisa dibilang lebih baik daripada “RATU KOSTmopolitan.” Beberapa komedi memang lucu, dan bisa membuat ngakak. Namun, sebagian besar komedi yang dihadirkan malah terasa garing dan tidak terorganisir. Jujur saja, saya memang bukan tipikal penikmat film-film komedi dengan gaya konyol/kocak semacam ini. Saya lebih suka komedi yang lebih serius, yang tidak memuat saya ngakak tidak karuan, tapi berhasil membuat saya tersenyum (contoh: “Driving Miss Daisy”). Tapi bukan berarti saya anti film-film kocak. Faktanya, saya juga menikmati film-film slapstick (yang paling saya suka adalah “Sleeper,” dan yang terbaru yang saya suka adalah “Zombieland”). Tapi sebagian besar adegan-adegan konyol di film ini cuma berlalu begitu saja.
Satu hal yang membut film ini lebih unggul daripada “RATU KOSTmopolitan” adalah sinematografinya yang lebih cantik. Tapi film bukan sekedar sinematografi cantik, bukan? Upi adalah salah satu sutradara Indonesia era modern yang patut diperhitungkan (apalagi filmnya “Radit dan Jani” merupakan salah satu dari yang terbaik di era 2000-an). Sayangnya Upi menurun drastis (jauh sekali) di film ini. Normal-normal saja, toh sutradara sekaliber Martin Scorsese pun pernah “menurun.” Saya cuma berharap, semoga Upi bisa lebih baik di karya selanjutnya.
Sutradara: Upi Avianto
Pemain: Tika Panggabean, Indy Barends, Sarah Sechan, Cut Mini, Aida Nurmala, Lukman Sardi, Revalina S Temat, Shanty, Irfan Hakim, Niniek L. Karim, Edo Kondologit
Tahun Rilis: 2010
BELUM lama ini perfilman Indonesia meluncurkan “RATU KOSTmopolitan” yang memamerkan Luna Maya, Tyas Mirasih, dan Imey-Liem, yang kesemuanya cantik nan seksi. Kali ini, Upi Avianto (sutradara wanita yang dikenal dengan “Radit dan Jani”), melalui “Red Cobex” mencoba memanjakan kita dengan formula serupa. Bedanya, tiga gadis cantik nan seksi tersebut diganti dengan lima emak-emak pembasmi keonaran, kemaksiatan, dan kemudharatan.
“Red Cobex” bisa dibilang punya kemiripan dengan “RATU KOSTmopolitan,” tapi tidak bisa juga dibilang benar-benar persis/mirip. Saya tidak akan menuduh (toh kedua film itu jelas berbeda), saya hanya akan membandingkan. Kemiripan pertama, kedua film itu sama-sama bergenre komedi berbalut aksi, tentunya. Kedua film itu sama-sama menonjolkan ke-maskulin-an kaum hawa. Kedua film itu sama-sama mengangkat misi Bhineka Tunggal Ika, di mana para pahlawan wanitanya memiliki perbedaan suku yang ditonjolkan dari bahasa dan aksen berbicara.
“Red Cobex” dibuka dengan perkenalan anggota lima geng Red CobeX: Mama Ana (Tika Panggabean – berlogat Ambon), Tante Lisa (Indy Barends – berlogatManado), Yu Halimah (Aida Nurmala – berlogat Tegal), Mbok Bariah (Sarah Sechan – berlogat Madura) dan Cik Meymey (Cut Mini – berlogat Mandarin). Mama Ana mempunyai seorang anak laki-laki yang lugu bernama Yopie (Lukman Sardi). Lima femme fatale anggota Red CobeX ini, bersama Yopie (yang kebanyakan cuma nonton doang), tidak segan-segan menindas mereka-mereka yang melakukan tindakan keonaran, kemaksiatan, dan kemudharatan. Sampai suatu hari, kelima emak-emak ini, serta Yopie, dipenjara karena mencuri toko perhiasan mantan suami Mama Ana. Setahun kemudian, Yopie dibebaskan dari penjara. Yopie numpang tinggal dengan Ramli (Irfan Hakim), sahabat kecilnya. Namun, istri Ramli, Ipah (Shanty), yang cerewet, judes, dan cemburuan, sama sekali tidak menerima kehadiran Yopie.
Kehidupan Yopie pasca penjara ternyata tidak segampang ketika dia belum dipenjara dulu. Dulu, ibunya selalu melakukan apa pun (dengan semena-mena) untuknya. Sekarang, Yopie harus hidup layaknya orang normal. Yopie bekerja sebagai pelayan restoran. Di restoran itu Yopie berjumpa dengan Astuti (Revalina S. Temat), gadis jawa yang cantik jelita. Yopie dan Astuti pun saling memadu cinta.
Untuk sebuah komedi yang mengusung suasana konyol, “Red Cobex” ternyata masih menderita permasalahan serupa dengan “RATU KOSTmopolitan.” Unsur multikultural yang diusung ternyata sama sekali tidak membantu, somehow, malah terasa terlalu berlebihan untuk diemban film ini. Unsur multikulturalnya cuma sebuah tempelan, dan sama sekali tidak terasa pengaruh kentalnya dengan arus cerita. Andai kata dihilangkan, toh tidak ada bagian cerita yang terganggu? Justru, mungkin, bakal terasa lebih natural. Well, bukannya saya tidak suka dengan unsur multikultural yang diusung “Red Cobex” atau “RATU KOSTmopolitan,” hanya saja eksekusinya yang malah membuat unsur multikultural tersebut hanya sekedar heboh-hebohan yang menganggu. Saya bahkan jadi ingat film “Ibunda” besutan Teguh Karya yang juga membahas perihal pertabrakan nilai-nilai antar-kultur. Bedanya, multikultural yang diangkat di “Ibunda” tidak sekedar berupa tempelan, tapi juga punya pengaruh terhadap kesinambungan ceritanya.
Untuk urusan komedinya pun film ini tidak bisa dibilang lebih baik daripada “RATU KOSTmopolitan.” Beberapa komedi memang lucu, dan bisa membuat ngakak. Namun, sebagian besar komedi yang dihadirkan malah terasa garing dan tidak terorganisir. Jujur saja, saya memang bukan tipikal penikmat film-film komedi dengan gaya konyol/kocak semacam ini. Saya lebih suka komedi yang lebih serius, yang tidak memuat saya ngakak tidak karuan, tapi berhasil membuat saya tersenyum (contoh: “Driving Miss Daisy”). Tapi bukan berarti saya anti film-film kocak. Faktanya, saya juga menikmati film-film slapstick (yang paling saya suka adalah “Sleeper,” dan yang terbaru yang saya suka adalah “Zombieland”). Tapi sebagian besar adegan-adegan konyol di film ini cuma berlalu begitu saja.
Satu hal yang membut film ini lebih unggul daripada “RATU KOSTmopolitan” adalah sinematografinya yang lebih cantik. Tapi film bukan sekedar sinematografi cantik, bukan? Upi adalah salah satu sutradara Indonesia era modern yang patut diperhitungkan (apalagi filmnya “Radit dan Jani” merupakan salah satu dari yang terbaik di era 2000-an). Sayangnya Upi menurun drastis (jauh sekali) di film ini. Normal-normal saja, toh sutradara sekaliber Martin Scorsese pun pernah “menurun.” Saya cuma berharap, semoga Upi bisa lebih baik di karya selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar