Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Ron Clements & John Musker
Tahun Rilis: 2009
Film ini diinspirasi dari dongeng “The Frog Prince” karya Grimm brothers.
Sutradara: Ron Clements & John Musker
Tahun Rilis: 2009
Film ini diinspirasi dari dongeng “The Frog Prince” karya Grimm brothers.
IT is an old-Disney thing. It's so classic, so old, yet so cute, so sweet, and so fascinating.
Saya rasa sebaris tulisan di atas sudah lebih dari cukup untuk merepresentasikan film animasi klasik ini. “The Princess and the Frog” bukan animasi CGI seperti yang sering digunakan Pixar, tapi lebih menggunakan animasi gambar klasik seperti yang sering digunakan Disney di masa jayanya dulu (sekitar 70-90-an). “The Princess and the Frog” benar-benar mampu membawakan mewakili animasi klasik di tengah-tengah wabah CGI dan 3D yang sudah mulai merajalela ini.
Bagi mereka-mereka yang masa kecilnya dihiasi oleh “Beauty and the Beast,” “The Little Mermaid,” “Aladdin,” “The Lion King,” atau film-film animasi klasik jebolan Disney lainnya, pembukaan film ini bukan lah apa-apa. Bahkan tidak ada yang terlalu spesial dari pembukaannya. But, at least, pembukaan film ini cukup mengembalikan ingtan sehebat Disney merajai dunia animas berdekade-dekade silam. Bayangkan animasi klasik Mickey Mouse yang digambar dengan ratusan kertas lalu dibuka secara cepat hingga menampilkan suatu gerakan. Film ini mengingatkan bahwa karya seni yang klasik belum tentu kuno dan kalah dengan produk-produk modern.
Film ini dibuat berdasarkan dongeng klasik Grimm bersaudara “The Frog Prince.” Dongeng yang sudah umum: seorang pangeran dikutuk menjadi kodok, lalu dicium oleh seorang putri, dan berkat ciuman itu sang pangeran kembali ke wujud tampannya. “The Princess and the Frog” adalah versi daur ulang dongeng itu.
Sebuah langkah yang ekstrim dilakukan, “The Princess and the Frog” mengambil Tiana, seorang gadis negro, sebagai tokoh utamanya. Film animasi Disney yang menggunakan tokoh kulit hitam sebelum film ini adalah “Song of the South” Sebuah langkah yang berani mengingat penggunaan gadis kulit hitam bisa mengangkat kontroversi seputar rasisme. Dan faktanya memang terjadi protes seputar pekerjaan tokoh utamanya sebagai pelayan, seputar fakta bahwa sang pangeran bukan lah negro tetapi timur tengah, penggunaan voodoo, hingga persoalan pemilihan nama. Secara pribadi, saya sendiri tidak menemukan hal-hal SARA yang disturbing di sini.
Tiana, tokoh utama film ini, bukan lah benar-benar seorang princess. Tiana adalah gadis negro yang hidup di New Orleans sekitar pasca PDII. Tiana bekerja sebagai pelayan restoran. Tiana punya impian untuk membuka restorannya sendiri kelak – impian almarhum bapaknya juga. Hidup Tiana adalah sebuah perjuangan keras, sekeras apa pun itu, Tiana tetap menjaga hidup impiannya.
Di sisi lain kota datang Pangeran Naveen dari Malvonia yang berencana menikahi Lotta – sahabat Tiana yang manja tapi kaya raya – demi menuntaskan masalah keuangannya. Tapi Naveen sudah keburu disulap jadi kodok oleh seorang dukung voodoo, Dr. Facillier, yang punya rencana keji. Naveen bertemu dengan Tiana di balkon rumah Lotta dengan pakaian ala princess (milik Lotta). Naveen otomatis mengira Tiana seorang putri, dan tentunya bakal melepaskan kutukannya bak di dongeng-dongeng. Hasilnya – spoiler! – Tiana malah ikut-ikutan jadi kodok pula. Keduanya jadi kodok, tapi tetap dengan otak, insting, dan naluri kemanusiaan mereka. Mereka berpikir. Mereka makan gumbo. Bahkan mereka merasa jijik menelan lalat. Naveen dan Tiana pun harus berjuang berdua mencari cara untuk lepas dari kutukan kodok tersebut. Di perjalanan mereka berjumpa dengan Louis, buaya yang terobsesi dengan jazz, dan Ray, kunang-kunang yang jatuh cinta dengan bulan. Mereka pun bertemu dengan Mama Odie, dukun voodoo yang memberi “wejangan” agar mereka bisa lepas dari kutukan.
Jelas ada banyak yang berbeda yang tidak bisa ditemukan di animasi-animasi CGI & 3D di sini. Ada aliran atmosfir yang klasik tapi menyenangkan. Ada perpaduan warna-warna yang mewah. Cerita, alur, dan plot yang klasik tapi tetap menarik. “The Princess and the Frog” mampu mengingatkan animasi-animasi klasik menarik dari masa-masa keemasaan Disney berdekade-dekade silam.
Saya rasa sebaris tulisan di atas sudah lebih dari cukup untuk merepresentasikan film animasi klasik ini. “The Princess and the Frog” bukan animasi CGI seperti yang sering digunakan Pixar, tapi lebih menggunakan animasi gambar klasik seperti yang sering digunakan Disney di masa jayanya dulu (sekitar 70-90-an). “The Princess and the Frog” benar-benar mampu membawakan mewakili animasi klasik di tengah-tengah wabah CGI dan 3D yang sudah mulai merajalela ini.
Bagi mereka-mereka yang masa kecilnya dihiasi oleh “Beauty and the Beast,” “The Little Mermaid,” “Aladdin,” “The Lion King,” atau film-film animasi klasik jebolan Disney lainnya, pembukaan film ini bukan lah apa-apa. Bahkan tidak ada yang terlalu spesial dari pembukaannya. But, at least, pembukaan film ini cukup mengembalikan ingtan sehebat Disney merajai dunia animas berdekade-dekade silam. Bayangkan animasi klasik Mickey Mouse yang digambar dengan ratusan kertas lalu dibuka secara cepat hingga menampilkan suatu gerakan. Film ini mengingatkan bahwa karya seni yang klasik belum tentu kuno dan kalah dengan produk-produk modern.
Film ini dibuat berdasarkan dongeng klasik Grimm bersaudara “The Frog Prince.” Dongeng yang sudah umum: seorang pangeran dikutuk menjadi kodok, lalu dicium oleh seorang putri, dan berkat ciuman itu sang pangeran kembali ke wujud tampannya. “The Princess and the Frog” adalah versi daur ulang dongeng itu.
Sebuah langkah yang ekstrim dilakukan, “The Princess and the Frog” mengambil Tiana, seorang gadis negro, sebagai tokoh utamanya. Film animasi Disney yang menggunakan tokoh kulit hitam sebelum film ini adalah “Song of the South” Sebuah langkah yang berani mengingat penggunaan gadis kulit hitam bisa mengangkat kontroversi seputar rasisme. Dan faktanya memang terjadi protes seputar pekerjaan tokoh utamanya sebagai pelayan, seputar fakta bahwa sang pangeran bukan lah negro tetapi timur tengah, penggunaan voodoo, hingga persoalan pemilihan nama. Secara pribadi, saya sendiri tidak menemukan hal-hal SARA yang disturbing di sini.
Tiana, tokoh utama film ini, bukan lah benar-benar seorang princess. Tiana adalah gadis negro yang hidup di New Orleans sekitar pasca PDII. Tiana bekerja sebagai pelayan restoran. Tiana punya impian untuk membuka restorannya sendiri kelak – impian almarhum bapaknya juga. Hidup Tiana adalah sebuah perjuangan keras, sekeras apa pun itu, Tiana tetap menjaga hidup impiannya.
Di sisi lain kota datang Pangeran Naveen dari Malvonia yang berencana menikahi Lotta – sahabat Tiana yang manja tapi kaya raya – demi menuntaskan masalah keuangannya. Tapi Naveen sudah keburu disulap jadi kodok oleh seorang dukung voodoo, Dr. Facillier, yang punya rencana keji. Naveen bertemu dengan Tiana di balkon rumah Lotta dengan pakaian ala princess (milik Lotta). Naveen otomatis mengira Tiana seorang putri, dan tentunya bakal melepaskan kutukannya bak di dongeng-dongeng. Hasilnya – spoiler! – Tiana malah ikut-ikutan jadi kodok pula. Keduanya jadi kodok, tapi tetap dengan otak, insting, dan naluri kemanusiaan mereka. Mereka berpikir. Mereka makan gumbo. Bahkan mereka merasa jijik menelan lalat. Naveen dan Tiana pun harus berjuang berdua mencari cara untuk lepas dari kutukan kodok tersebut. Di perjalanan mereka berjumpa dengan Louis, buaya yang terobsesi dengan jazz, dan Ray, kunang-kunang yang jatuh cinta dengan bulan. Mereka pun bertemu dengan Mama Odie, dukun voodoo yang memberi “wejangan” agar mereka bisa lepas dari kutukan.
Jelas ada banyak yang berbeda yang tidak bisa ditemukan di animasi-animasi CGI & 3D di sini. Ada aliran atmosfir yang klasik tapi menyenangkan. Ada perpaduan warna-warna yang mewah. Cerita, alur, dan plot yang klasik tapi tetap menarik. “The Princess and the Frog” mampu mengingatkan animasi-animasi klasik menarik dari masa-masa keemasaan Disney berdekade-dekade silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar