Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Robert Zemeckis
Pemain: Jodie Foster, Matthew McConaughey, James Woods, Tom Skerritt, William Fichtner, John Hurt, Angela Bassett, David Morse
Tahun Rilis: 1997
Film ini diadaptasi dari novel “Contact” karya Carl Sagan.
KETIKA gagasannya dianggap kurang ilmiah, malah dianggap seakan-akan sekedar fiksi ilmiah, Dr. Eleanor “Ellie” Ann Arroway (Jodie Foster) berkata (diterjemahkan bebas dari Bahasa Inggris):
“Mau dengar hal yang gila? Dua orang mau membuat sesuatu yang dinamakan pesawat terbang. Orang bisa masuk dan terbang seperti burung. Konyol, kan? Bagaimana dengan usaha pemecahan kecepatan suara, atau roket ke Bulan, atau tenaga atom, atau misi ke Mars? Fiksi ilmiah, kan?”
Dari dialog itu saja saya sudah menangkap bahwa “Contact” lebih ke arah sci-fi filosofis ketimbang sci-fi fantastik. Dan memang secara keseluruhannya, ketimbang menyajikan visualisasi sci-fi yang fantastik, “Contact” lebih membahas persoalan filosofis fundamental tentang science fiction itu sendiri (bahkan tentang science itu sendiri). Yap, “Contact” lebih seperti “2001: A Space Odyssey” dengan pendekatan yang lebih dramatis, ketimbang tipikal sci-fi semacam “Transformer.”
“Menurutmu, adakah makhluk lain di Planet lain?” Pertanyaan klasik (diterjemahkan bebas) itu lah yang seumur hidup digeluti oleh Dr. Arroway, bahkan sejak dia masih kecil (diperankan oleh Jena Malone).
“Entahlah. Jika cuma kita yang tinggal di dunia ini, angkasa yang luas ini akan sia-sia saja.” Dua kali Dr. Arroway mendapatkan jawaban itu: pertama dari mendiang ayahnya (David Morse) ketika kecil dan kedua dari Palmer Joss (Matthew McConaughey), filsfus Kristen yang jatuh cinta pada Dr. Arroway.
Jawaban itu memang bias, dan tidak pasti. Siapa yang bisa memastikan? Teknologi mutakhir sekarang pun belum bisa membuktikan? Tapi, yang jelas, ada semacam harapan dalam jawaban itu. Bukan hanya sekedar jawaban ada tidaknya makhluk asing di planet lain, tapi harapan bagi orang-orang semacam Dr. Arroway – yang siapa saja bisa mengalaminya.
Sebagian yang disuguhkan “Contact” mungkin memang fiksi, fiksi klise malah: seputar usaha melakukan kontak dengan makhluk luar angkasa. Pintarnya, “Contact” menyuguhkan bagian fiksi ini dengan logika. Atau bisa juga dibilang, “Contact” tidak melupakan nalar dan rasio pada bagian fiksinya. “Contact” memberikan penjelasan masuk akal – sekalipun belum bisa disebut ilmiah – seputar bagian fiksinya ini. Dialog yang saya kutip di atas membuktikan tingkat nalar fiksi yang disuguhkan “Contact.” Angkasa ini luas? Masih banyak sudut-sudut yang belum tersentuh. Masih banyak misteri-misteri yang belum terjamah. Siapa yang tahu ada atau tidaknya makhluk lain selain manusia?
Sebagian lainnya yang disuguhkan adalah ilmiah, atau spesifiknya: nilai-nilai fundamental soal “ilmiah” itu sendiri. Film ini dengan pintar telah melebarkan, bahkan membiaskan, lalu mengkaji ulang hal-hal yang “ilmiah” dan “tidak ilmiah.” Seperti dalam dialog yang saya kutip di awal resensi, dahulu “terbang” adalah hal yang mustahil bagi manusia, sekarang manusia bisa terbang dengan bantuan alat. Tapi pembahasan mengenai konsep dasar “ilmiah” yang disajikan “Contact.” Film ini tidak hanya sekedar membahas lapisan apakah menyelidiki tentang makhluk lain di planet lain adalah hal yang “ilmiah” atau “tidak ilimah.” Lebih jauh lagi, “Contact” menyuguhkan permasalahan “ilmiah” dan “keyakinan.” Ada adegan di pertengahan film di mana Dr. Arroway gagal terpilih menjadi manusia yang bakal masuk ke “alat” karena Dr. Arroway (bisa dibilang) tidak percaya dengan Tuhan. Sementara 95% (kurang lebih) makhluk Bumi percaya akan Tuhan. Belum lagi ditambah detil-detil mengenai pertentangan-pertentang kaum-kaum religius fanatik seputar proyek “melakukan kontak dengan makhluk luar angkasa” ini. Dan yang paling berdrama, dan paling personal, bagi Dr. Arroway, laki-laki yang jatuh cinta dengannya adalah (Palmer Joss) seorang penasihat spiritual Gedung Putih.
Selain mencoba mendobrak pemahaman seputar fiksi ilmiah, “Contact” juga melakukan hal yang sangat benar tentang spesial efek yang notabene hal umum dalam film-film sci-fi. Dalam beberapa judul sci-fi, terutama sci-fi modern, spesial efek adalah tontonan utamanya (tahu “Transformer,” kan?). Tapi di sini, spesial efek diposisikan dengan sangat bijak sebagai pelengkap visualisasi skenario, bukan menu utama. Menu utama “Contact” adalah: cerita yang sederhana, plot yang sistematis, karakter (dan pendalaman karakter).
“Contact” juga sangat didukung oleh kekuatan para pemainnya: Jodie Foster bermain sangat baik di sini (sekalipun ini bukan penampilan terbaiknya), dan Matthew McConaughey (yang selama ini lebih dikenal di romance comedy) juga mampu mebawakan perannya dengan pas. Keduanya juga bisa dibilang berhasil membangun chemistry, sekalipun bukan chemistry yang kental karena menu utama film ini sendiri adalah sci-fi-nya. Sebuah langkah yang tepat: menampilkan kekuatan penampilan pemain, ketimbang: menyia-nyiakannya dengan spesial-efek berlebihan semata. Sebagai sebuah sci-fi plot merupakan paket lengkap: ada suspense, ada nuansa romansa, ada drama, dan (tentunya) ada science fiction – masing-masing dengan kadar yang sangat tepat. Oh, saya lupa menjabarkan plot filmnya! Ah, saya rasa tidak perlu, demi kesenangan yang belum menonton.
Sutradara: Robert Zemeckis
Pemain: Jodie Foster, Matthew McConaughey, James Woods, Tom Skerritt, William Fichtner, John Hurt, Angela Bassett, David Morse
Tahun Rilis: 1997
Film ini diadaptasi dari novel “Contact” karya Carl Sagan.
KETIKA gagasannya dianggap kurang ilmiah, malah dianggap seakan-akan sekedar fiksi ilmiah, Dr. Eleanor “Ellie” Ann Arroway (Jodie Foster) berkata (diterjemahkan bebas dari Bahasa Inggris):
“Mau dengar hal yang gila? Dua orang mau membuat sesuatu yang dinamakan pesawat terbang. Orang bisa masuk dan terbang seperti burung. Konyol, kan? Bagaimana dengan usaha pemecahan kecepatan suara, atau roket ke Bulan, atau tenaga atom, atau misi ke Mars? Fiksi ilmiah, kan?”
Dari dialog itu saja saya sudah menangkap bahwa “Contact” lebih ke arah sci-fi filosofis ketimbang sci-fi fantastik. Dan memang secara keseluruhannya, ketimbang menyajikan visualisasi sci-fi yang fantastik, “Contact” lebih membahas persoalan filosofis fundamental tentang science fiction itu sendiri (bahkan tentang science itu sendiri). Yap, “Contact” lebih seperti “2001: A Space Odyssey” dengan pendekatan yang lebih dramatis, ketimbang tipikal sci-fi semacam “Transformer.”
“Menurutmu, adakah makhluk lain di Planet lain?” Pertanyaan klasik (diterjemahkan bebas) itu lah yang seumur hidup digeluti oleh Dr. Arroway, bahkan sejak dia masih kecil (diperankan oleh Jena Malone).
“Entahlah. Jika cuma kita yang tinggal di dunia ini, angkasa yang luas ini akan sia-sia saja.” Dua kali Dr. Arroway mendapatkan jawaban itu: pertama dari mendiang ayahnya (David Morse) ketika kecil dan kedua dari Palmer Joss (Matthew McConaughey), filsfus Kristen yang jatuh cinta pada Dr. Arroway.
Jawaban itu memang bias, dan tidak pasti. Siapa yang bisa memastikan? Teknologi mutakhir sekarang pun belum bisa membuktikan? Tapi, yang jelas, ada semacam harapan dalam jawaban itu. Bukan hanya sekedar jawaban ada tidaknya makhluk asing di planet lain, tapi harapan bagi orang-orang semacam Dr. Arroway – yang siapa saja bisa mengalaminya.
Sebagian yang disuguhkan “Contact” mungkin memang fiksi, fiksi klise malah: seputar usaha melakukan kontak dengan makhluk luar angkasa. Pintarnya, “Contact” menyuguhkan bagian fiksi ini dengan logika. Atau bisa juga dibilang, “Contact” tidak melupakan nalar dan rasio pada bagian fiksinya. “Contact” memberikan penjelasan masuk akal – sekalipun belum bisa disebut ilmiah – seputar bagian fiksinya ini. Dialog yang saya kutip di atas membuktikan tingkat nalar fiksi yang disuguhkan “Contact.” Angkasa ini luas? Masih banyak sudut-sudut yang belum tersentuh. Masih banyak misteri-misteri yang belum terjamah. Siapa yang tahu ada atau tidaknya makhluk lain selain manusia?
Sebagian lainnya yang disuguhkan adalah ilmiah, atau spesifiknya: nilai-nilai fundamental soal “ilmiah” itu sendiri. Film ini dengan pintar telah melebarkan, bahkan membiaskan, lalu mengkaji ulang hal-hal yang “ilmiah” dan “tidak ilmiah.” Seperti dalam dialog yang saya kutip di awal resensi, dahulu “terbang” adalah hal yang mustahil bagi manusia, sekarang manusia bisa terbang dengan bantuan alat. Tapi pembahasan mengenai konsep dasar “ilmiah” yang disajikan “Contact.” Film ini tidak hanya sekedar membahas lapisan apakah menyelidiki tentang makhluk lain di planet lain adalah hal yang “ilmiah” atau “tidak ilimah.” Lebih jauh lagi, “Contact” menyuguhkan permasalahan “ilmiah” dan “keyakinan.” Ada adegan di pertengahan film di mana Dr. Arroway gagal terpilih menjadi manusia yang bakal masuk ke “alat” karena Dr. Arroway (bisa dibilang) tidak percaya dengan Tuhan. Sementara 95% (kurang lebih) makhluk Bumi percaya akan Tuhan. Belum lagi ditambah detil-detil mengenai pertentangan-pertentang kaum-kaum religius fanatik seputar proyek “melakukan kontak dengan makhluk luar angkasa” ini. Dan yang paling berdrama, dan paling personal, bagi Dr. Arroway, laki-laki yang jatuh cinta dengannya adalah (Palmer Joss) seorang penasihat spiritual Gedung Putih.
Selain mencoba mendobrak pemahaman seputar fiksi ilmiah, “Contact” juga melakukan hal yang sangat benar tentang spesial efek yang notabene hal umum dalam film-film sci-fi. Dalam beberapa judul sci-fi, terutama sci-fi modern, spesial efek adalah tontonan utamanya (tahu “Transformer,” kan?). Tapi di sini, spesial efek diposisikan dengan sangat bijak sebagai pelengkap visualisasi skenario, bukan menu utama. Menu utama “Contact” adalah: cerita yang sederhana, plot yang sistematis, karakter (dan pendalaman karakter).
“Contact” juga sangat didukung oleh kekuatan para pemainnya: Jodie Foster bermain sangat baik di sini (sekalipun ini bukan penampilan terbaiknya), dan Matthew McConaughey (yang selama ini lebih dikenal di romance comedy) juga mampu mebawakan perannya dengan pas. Keduanya juga bisa dibilang berhasil membangun chemistry, sekalipun bukan chemistry yang kental karena menu utama film ini sendiri adalah sci-fi-nya. Sebuah langkah yang tepat: menampilkan kekuatan penampilan pemain, ketimbang: menyia-nyiakannya dengan spesial-efek berlebihan semata. Sebagai sebuah sci-fi plot merupakan paket lengkap: ada suspense, ada nuansa romansa, ada drama, dan (tentunya) ada science fiction – masing-masing dengan kadar yang sangat tepat. Oh, saya lupa menjabarkan plot filmnya! Ah, saya rasa tidak perlu, demi kesenangan yang belum menonton.
wah, baru aja di tayangin salah satu stasiun tv hari ini, saya rasa film yang paling rasional yang pernah saya lihat.
BalasHapusBelum nonton tuch.dri cuplikanya kayanya mensrik
BalasHapusfilm yang bagus ...
BalasHapusmembuat berfikir dan merenung