TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Sebastián Silva
Pemain: Catalina Saavedra, Claudia Celedón, Mariana Loyola, Agustín Silva, Alejandro Goic, Andrea García-Huidobro
Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: “The Maid”
SAYA rasa saya menemukan penawar yang bagus setelah sebelumnya kepala, telinga, dan mata saya dirusak oleh “D'Love” dan “The Expandables.” “The Maid,” drama dari Chili ini mungkin memang tidak memiliki nilai produksi yang besar, tapi “The Maid” membuktikan bahwa nilai produksi tidak teralalu berpengaruh dengan kualitas film. Terbukti film yang dinominasikan dalam kategori Best Foreign Language Film Golden Globe 2010 ini mengalahkan “An Education” di Festival Film Sundance.
Sebuah pilihan yang sangat tepat yang dilakukan oleh Sebastián Silva karena mengarahkan kisah yang diusung “The Maid” ke pendekatan realisme yang kental. Sangat kental, sampai-sampai saya sendiri tidak merasakan dramatisme sama sekali. Hasilnya, pendekatan realisme yang tepat ini membuat “The Maid” tampak sangat riil (dan tentu saja mengurangi nilai komersialitasnya). Terakhir kali saya merasakan pendekatan realisme sekental ini sekitar satu-dua bulan yang lalu ketika menyimak “Ajami” dan “Un prophète.”
“The Maid” bisa dipandang sebagai sebuah film sosial tentang kekerasan domestik dalam kehidupan masyarakat kelas atas, atau bisa juga dipandang sebagai film personal tentang dilema sang pembantu ketika merasa teritorinya terancam. Bagaimanapun cara pandangnya, “The Maid” memang memberi tontonan tentang dua hal tersebut.
Opening “The Maid” termasuk tipe-tipe opening yang saya suka: simpel, tidak bertele-tele, to the poin, dan membawa jelas maksud film ini. Opening yang bagus tidak harus heboh, kan? Film dibuka dengan sebuah gambaran ironi. Sebuah keluarga – ibu, ayah, dan empat anak – sedang menyiapkan pesta ulang tahun kejutan bagi Raquel (Catalina Saavedra), sang pembantu rumah tangga. Sementara Raquel sendiri malah duduk di dapur, menyantap makanannya dengan wajah murung. Dari adegan ironi ini bisa diketahui: ada yang salah dengan Raquel.
Kalau ada yang mengira tulisan bercetak miring di paragraf atas terarah ke film-film tentang pembantu psikopat, maka salah besar. Raquel memang agak bermasalah, atau bisa dibilang terganggu. Raquel sudah 20-an tahun bekerja di rumah itu. Raquel sering terserang mirgan yang semakin lama semakin menganggu. Raquel bisa dibilang “bagian dari keluarga itu,” tapi di momen-momen tertentu Raquel seakan-akan terlihat merasa sendirian (sebuah ironi lain yang disuguhkan Sebastián Silva). Raquel memang sering cekcok dengan anak gadis pemilik rumah, Camila (Andrea García-Huidobro). Tapi Raquel menjalin hubungan baik dengan Lucas (Agustín Silva) yang hobi sulap-menyulap.
Di opening, Raquel berkata, “I'm happy to. I don't know what I'd do without these kids. They're a lot of work, though” (terjemahan dari dialog dalam bahasa Spanyol). Raquel sudah merasa menjadi bagian keluarga.
Suatu hari, ketika migran Raquel semakin menjadi-jadi, Raquel pingsan. Dan Pilar (Claudia Celedón), sang ibu, memutuskan untuk mencari pembantu tambahan untuk Raquel. Raquel merasa wilayahnya terancam, kurang lebih karena selama ini posisinya sebagai pembantu rumah tangga lah yang membuatnya menjadi bagian keluarga. Pertama didatangkan pembantu yang lemah lembut dari Peru, Mercedes (Mercedes Villanueva). Raquel langsung menunjukkan sikap anti pada Mercedes. Raquel mencuci bersih bak mandi pembantu dengan disinfektan setiap kali Mercedes mandi. Bahkan ketika Raquel mendapati Lucas, yang merupakan anggota keluarga kesayangan Raquel, membela Mercedes, Raquel merasa dikhianati. Raquel juga merasa makin terancam. Pada puncaknya, Raquel mengunci rumah dari dalam, membiarkan Mercedes di luar tidak bisa masuk ke dalam rumah. Hasilnya, sang pembantu dari Peru pun tidak tahan.
Pembantu kedua didatangkan, Sonia (Anita Reeves). Kali ini lebih keras, lebih gagah, dan lebih tempramen, dan lebih berani daripada pembantu sebelumnya. Raquel menunjukkan sikap anti yang sama. Raquel membersihkan gelas bekas dipakai Sonia. Raquel bahkan, lagi-lagi, mengunci rumah dari dalam sehingga Sonia tidak bisa masuk ke dalam rumah. Tapi pembantu kali ini lebih gigih. Dia memanjat ke atap. Lalu turun ke dalam rumah. Dan terjadilah pergulatan antar pembantu rumah tangga. Hasil akhirnya, pembantu kedua ini pun berhenti.
Ada dialog yang menarik antara Raquel dan Sonia ketika Raquel selesai menyuguhkan minuman dingin untuk Lucas dan teman-temannya.
“Why do you make such an efforts for these ingrates? Just do you're hob and you'll be happier.”
“I am happy.” tegas Raquel.
“With someone else's kid? Before you know it, they've grown, they're gone, and they don't even remember you're face. Fucking ingrates!”
“I love them and they love me. I am part of the family.” tegas Raquel.
Dialog tersebut menegaskan posisi Raquel (setidaknya apa yang diyakini Raquel sebagai posisinya) di rumah itu.
Datang lagi pembantu ketiga, Lucy (Mariana Loyola). Raquel memperlakukan Lucy sama antinya dengan dua pembantu sebelumnya. Tapi kali ini berbeda. Lucy punya cara tersendiri menanggapi sikap anti dari Raquel. Ketika Raquel mengunci rumah dari dalam, Lucy malah telanjang di halaman rumah. Sikap Lucy yang aneh ini bukannya membuat Raquel kesal, malah mampu membuat Raquel tertawa. Dan ketika Raquel mencucui bak mandi dengan disinfektika sesusai dipakai Lucy, Lucy malah merangkulnya – seakan-akan berusaha memahami permasalahan Raquel. Raquel dan Lucy pun akhirnya berteman, bukan sebagai sesama pembantu tapi lebih sebagai sesama sosok yang saling mengerti satu sama lain. Lucy mengundang Raquel ke pesta natal bersama keluarganya. Di pesta itu Raquel berkenalan dengan pamannya Lucy yang berakhir dengan adegan rayuan di ranjang. Tapi Raquel menolak melakukan hubungan intim. Mungkin karena Raquel tidak mau membuka sebuah hubungan baru, karena hubungan baru bisa merusak hubungannya dengan “keluarganya”?
Satu lagi yang sangat menarik di sini (selain tema yang diangkat, konflik, dan pendekatan realismenya) adalah penampilan pemainnya yang sangat realistis. Mereka bahkan seakan-akan tidak sedang berakting. Saya bahkan seolah-olah sedang menonton sebuah film dokumenter, bukan sedang menonton sebuah film drama. Catalina Saavedra, pemeran Raquel, memberikan penampilan paling bersinar di sini. Beliau tidak serta-merta menumpahkan emosi Raquel. Dengan cara yang pintar dan efektif, Raquel digambarkan sebagai sosok misterius yang selalu memendam ekspresinya. Raquel bahkan nyaris minim ekspresi. Pada akhirnya, penonton sendiri lah yang diberi kesempatan untuk menyimpulkan ekspresi apa yang sedag dirasakan Raquel di tiap momennya.
“The Maid” bisa dipandang sebagai sebuah film yang sederhana, bisa juga dipandang sebagai sebuah film yang kompleks – tergantung dari sudut pandang mana film ini dipandang. Eksekusi yang pintar dari hampir segala sisi membuat “The Maid” patut dianggap sebagai satu yang terbaik dari 2009.
Sutradara: Sebastián Silva
Pemain: Catalina Saavedra, Claudia Celedón, Mariana Loyola, Agustín Silva, Alejandro Goic, Andrea García-Huidobro
Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: “The Maid”
SAYA rasa saya menemukan penawar yang bagus setelah sebelumnya kepala, telinga, dan mata saya dirusak oleh “D'Love” dan “The Expandables.” “The Maid,” drama dari Chili ini mungkin memang tidak memiliki nilai produksi yang besar, tapi “The Maid” membuktikan bahwa nilai produksi tidak teralalu berpengaruh dengan kualitas film. Terbukti film yang dinominasikan dalam kategori Best Foreign Language Film Golden Globe 2010 ini mengalahkan “An Education” di Festival Film Sundance.
Sebuah pilihan yang sangat tepat yang dilakukan oleh Sebastián Silva karena mengarahkan kisah yang diusung “The Maid” ke pendekatan realisme yang kental. Sangat kental, sampai-sampai saya sendiri tidak merasakan dramatisme sama sekali. Hasilnya, pendekatan realisme yang tepat ini membuat “The Maid” tampak sangat riil (dan tentu saja mengurangi nilai komersialitasnya). Terakhir kali saya merasakan pendekatan realisme sekental ini sekitar satu-dua bulan yang lalu ketika menyimak “Ajami” dan “Un prophète.”
“The Maid” bisa dipandang sebagai sebuah film sosial tentang kekerasan domestik dalam kehidupan masyarakat kelas atas, atau bisa juga dipandang sebagai film personal tentang dilema sang pembantu ketika merasa teritorinya terancam. Bagaimanapun cara pandangnya, “The Maid” memang memberi tontonan tentang dua hal tersebut.
Opening “The Maid” termasuk tipe-tipe opening yang saya suka: simpel, tidak bertele-tele, to the poin, dan membawa jelas maksud film ini. Opening yang bagus tidak harus heboh, kan? Film dibuka dengan sebuah gambaran ironi. Sebuah keluarga – ibu, ayah, dan empat anak – sedang menyiapkan pesta ulang tahun kejutan bagi Raquel (Catalina Saavedra), sang pembantu rumah tangga. Sementara Raquel sendiri malah duduk di dapur, menyantap makanannya dengan wajah murung. Dari adegan ironi ini bisa diketahui: ada yang salah dengan Raquel.
Kalau ada yang mengira tulisan bercetak miring di paragraf atas terarah ke film-film tentang pembantu psikopat, maka salah besar. Raquel memang agak bermasalah, atau bisa dibilang terganggu. Raquel sudah 20-an tahun bekerja di rumah itu. Raquel sering terserang mirgan yang semakin lama semakin menganggu. Raquel bisa dibilang “bagian dari keluarga itu,” tapi di momen-momen tertentu Raquel seakan-akan terlihat merasa sendirian (sebuah ironi lain yang disuguhkan Sebastián Silva). Raquel memang sering cekcok dengan anak gadis pemilik rumah, Camila (Andrea García-Huidobro). Tapi Raquel menjalin hubungan baik dengan Lucas (Agustín Silva) yang hobi sulap-menyulap.
Di opening, Raquel berkata, “I'm happy to. I don't know what I'd do without these kids. They're a lot of work, though” (terjemahan dari dialog dalam bahasa Spanyol). Raquel sudah merasa menjadi bagian keluarga.
Suatu hari, ketika migran Raquel semakin menjadi-jadi, Raquel pingsan. Dan Pilar (Claudia Celedón), sang ibu, memutuskan untuk mencari pembantu tambahan untuk Raquel. Raquel merasa wilayahnya terancam, kurang lebih karena selama ini posisinya sebagai pembantu rumah tangga lah yang membuatnya menjadi bagian keluarga. Pertama didatangkan pembantu yang lemah lembut dari Peru, Mercedes (Mercedes Villanueva). Raquel langsung menunjukkan sikap anti pada Mercedes. Raquel mencuci bersih bak mandi pembantu dengan disinfektan setiap kali Mercedes mandi. Bahkan ketika Raquel mendapati Lucas, yang merupakan anggota keluarga kesayangan Raquel, membela Mercedes, Raquel merasa dikhianati. Raquel juga merasa makin terancam. Pada puncaknya, Raquel mengunci rumah dari dalam, membiarkan Mercedes di luar tidak bisa masuk ke dalam rumah. Hasilnya, sang pembantu dari Peru pun tidak tahan.
Pembantu kedua didatangkan, Sonia (Anita Reeves). Kali ini lebih keras, lebih gagah, dan lebih tempramen, dan lebih berani daripada pembantu sebelumnya. Raquel menunjukkan sikap anti yang sama. Raquel membersihkan gelas bekas dipakai Sonia. Raquel bahkan, lagi-lagi, mengunci rumah dari dalam sehingga Sonia tidak bisa masuk ke dalam rumah. Tapi pembantu kali ini lebih gigih. Dia memanjat ke atap. Lalu turun ke dalam rumah. Dan terjadilah pergulatan antar pembantu rumah tangga. Hasil akhirnya, pembantu kedua ini pun berhenti.
Ada dialog yang menarik antara Raquel dan Sonia ketika Raquel selesai menyuguhkan minuman dingin untuk Lucas dan teman-temannya.
“Why do you make such an efforts for these ingrates? Just do you're hob and you'll be happier.”
“I am happy.” tegas Raquel.
“With someone else's kid? Before you know it, they've grown, they're gone, and they don't even remember you're face. Fucking ingrates!”
“I love them and they love me. I am part of the family.” tegas Raquel.
Dialog tersebut menegaskan posisi Raquel (setidaknya apa yang diyakini Raquel sebagai posisinya) di rumah itu.
Datang lagi pembantu ketiga, Lucy (Mariana Loyola). Raquel memperlakukan Lucy sama antinya dengan dua pembantu sebelumnya. Tapi kali ini berbeda. Lucy punya cara tersendiri menanggapi sikap anti dari Raquel. Ketika Raquel mengunci rumah dari dalam, Lucy malah telanjang di halaman rumah. Sikap Lucy yang aneh ini bukannya membuat Raquel kesal, malah mampu membuat Raquel tertawa. Dan ketika Raquel mencucui bak mandi dengan disinfektika sesusai dipakai Lucy, Lucy malah merangkulnya – seakan-akan berusaha memahami permasalahan Raquel. Raquel dan Lucy pun akhirnya berteman, bukan sebagai sesama pembantu tapi lebih sebagai sesama sosok yang saling mengerti satu sama lain. Lucy mengundang Raquel ke pesta natal bersama keluarganya. Di pesta itu Raquel berkenalan dengan pamannya Lucy yang berakhir dengan adegan rayuan di ranjang. Tapi Raquel menolak melakukan hubungan intim. Mungkin karena Raquel tidak mau membuka sebuah hubungan baru, karena hubungan baru bisa merusak hubungannya dengan “keluarganya”?
Satu lagi yang sangat menarik di sini (selain tema yang diangkat, konflik, dan pendekatan realismenya) adalah penampilan pemainnya yang sangat realistis. Mereka bahkan seakan-akan tidak sedang berakting. Saya bahkan seolah-olah sedang menonton sebuah film dokumenter, bukan sedang menonton sebuah film drama. Catalina Saavedra, pemeran Raquel, memberikan penampilan paling bersinar di sini. Beliau tidak serta-merta menumpahkan emosi Raquel. Dengan cara yang pintar dan efektif, Raquel digambarkan sebagai sosok misterius yang selalu memendam ekspresinya. Raquel bahkan nyaris minim ekspresi. Pada akhirnya, penonton sendiri lah yang diberi kesempatan untuk menyimpulkan ekspresi apa yang sedag dirasakan Raquel di tiap momennya.
“The Maid” bisa dipandang sebagai sebuah film yang sederhana, bisa juga dipandang sebagai sebuah film yang kompleks – tergantung dari sudut pandang mana film ini dipandang. Eksekusi yang pintar dari hampir segala sisi membuat “The Maid” patut dianggap sebagai satu yang terbaik dari 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar