Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Helfi Kardit
Pemain: Aurelie Moeremans, Rebecca Reijman, Agung Saga, Achmad Albar, Rizky Adrianto, Shierly Rushworth
Tahun Rilis: 2010
HELFI Kardit bilang bahwa beliau pingin bikin film tentang cinta, tapi nggak keliahatan cintanya. Lahirlah “D'Love,” film tentang cinta, tapi nggak kelihatan cintanya, dari tangan sutradara yang sempat menelurkan “Sumpah Pocong di Sekolah,” “Arisan Berondong,” dan “The Sexi City.”
Mulanya, saya mengira Helfi Kardit ini sutradara ekoran Nayato Fio Naula. Karena memang film-filmnya terdahulu jelas sekali mengarah ke sana. Nyatanya, Helfi Kardit memang bukan Nayato Fio Naula yang sepertinya tidak segan-segan mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Memang, sejauh ini film-film besutan Helfi Kardit masih jauh untuk dibilang bagus (setidaknya bagi saya). Tapi, film-filmnya jelas menunjukkan perkembangan (meskipun kemajuan yang terasa sebenarnya tidak terlalu jauh). Yah, setidaknya dia bukan tipikal sutradara Indonesia yang terus-terusan mengulangi kesalahan yang sama di lubang yang sama pula (yap, saya bicara tentang Nayato dan KKD).
“D'Love” jelas sebuah kemajuan kecil buat Halfi Kerdit bila dipandang dari drama besutannya sebelumnya, “The Sexi City.” Tapi, “D'Love” belum berhasil membuktikan kualitas Helfi Kardit sebagai sutradara.
Helfi Kardit, kali ini menyuguhkan sebuah kisah segitiga berlatar kehidupan brutal. Tiga tokoh yang bergulat dalam kisah cinta segitiga kelam ini pun diberi latar kehidupan kelam. Elmo (Agung Saga) adalah seorang petinju jalanan yang sehari-harinya harus menang bertinju kalau mau makan, suatu hari Elmo melihat berita yang menyiarkan tentang kasus korupsi bapaknya di televisi. Hal ini menimbulkan sikap anti-kemewahan di diri Elmo. Lalu ada Neina (Rebecca Reijman), teman Elmo yang selalu mendukungnya. Kehidupan Neina tidak lebih baik dari Elmo. Neina miskin, dan tinggal di gubuk kumuh dengan neneknya. Dan sebagai tambahan daftar suram kehidupannya, Neina pernah bekerja jadi wanita malam. Dan terakhir, ada April (Aurelie Moeremans) anak seorang pianis sukses yang diam-diam menaruh hati pada Elmo. Latar belakang kehidupan April tidak lebih baik dari Elmo dan Neina, bapak angkatnya (Achmad Albar) adalah seorang gay. Karena itu lah Neina mengagumi sosok Elmo yang sangat-sangat gagah dan maskulin.
Sebagian besar durasi film ini menunjukkan adegan pertarungan jalanan yang digeluti Elmo. Seperti standar berantem-beranteman Indonesia, lihat “9 Naga” dan “Sebelah Mata,” adegan berantem ini ditaburi efek-efek kamera yang makin mendramatisir adegan. Slow motion, atau adegan lambat; vibrasi, atau layar bergoyang-goyang / bergetar-getar – dua teknik kamera ini sangat mendominasi adegan-adegan perkelahian di film ini. Kalau dramatisasi (dengan teknik kamera itu) disuguhkan dengan kadar yang pas sih ok-ok saja, sayangnya di beberapa bagian dramatisasinya terasa berlebihan. Lagipula, apa salahnya menyuguhkan sebuah adegan perkelahian yang lebih realis? Seperti yang dilakukan “Rocky,” misalnya? Apakah penonton Indonesia masih belum bisa menerima sesuatu yang tidak didramatisir? Tanya kenapa?
Sebagian besar durasi film lainnya dihabiskan untuk mempertontonkan kehidupan Elmo, Neina, dan April. Suatu hari, di sekolah, Neina dicegat mantan germonya (Shirley Rushworth). Elmo pun meminta bantuan April untuk menyelundupkan Neina di mobilnya. Kejadian ini membuka kesempatan Elmo untuk berkontak dengan April. Sayangnya, hubungan April dan Elmo tidak selancar yang dikira, terlebih karena sikap anti-kemapanan Elmo. Di satu malam, Elmo malah mengecup bibir Neina, dan tanpa sengaja April mendapati kejadian ini (OMG, kebetulan?). Yah, kurang lebih begitulah. Sudah tergambar, bukan, premis ceritanya?
Helfi Kardit, memang, bisa dibilang belajar dari kesalahannya di “The Sexi City.” Dalam “D'Love,” Helfi Kardit mengompresi dramatisasi berlebihan yang dia lakukan di “The Sexi City” ke level yang lebih rendah. Sayangnya, saya masih belum bisa mendapatkan momen dari dramatisasinya. Helfi Kardit pun melakukan pendalaman karakter di sini. Dan lagi-lagi, sayangnya pendalaman tiap-tiap karakternya tidak dilakukan dengan baik. Kehidupan kelam yang dialami tiap-tiap tokoh seolah-olah hanya sekedar tempelan permukaannya saja, untuk jadi kedok agar masing-masing tokohnya seolah-olah punya nyawa. Pemilihan pemain adalah masalah utama di sini. Pemilihan Rebecca Reijman, sang bule Belanda, sebagai gadis SMA sangat-sangat menganggu. Di beberapa scene, aksen bule-nya masih terasa. Dan kalau boleh jujur, postur fisiknya agaknya tidak sesuai untuk memainkan seorang remaja SMA (doi kelihatan jauh lebih tua dibanding dua tokoh utama lainnya). Apalagi di segmen dramanya Helfi Kardit sering sekali menggunakan close up wajah pemainnya untuk menunjukkan ekspresi yang mereka rasakan. Cara ini bisa saja jadi pemanis cerita, andai saja pemain yang di-close-up menunjukkan ekspresi yang tepat. Sayangnya, beberapa close-up malah menunjukkan betapa lemahnya akting para pemain muda ini. Setidaknya, Achmad Albar bermain cukup baik di sini, sebagai gay.
Hay, paling tidak, Helfi Kardit mau mencoba, sekalipun hasil cobaannya masih belum bisa dibilang bagus. Setidaknya Helfi tidak seperti Nayato yang terus-terusan jatuh di lubang sendiri.
Sutradara: Helfi Kardit
Pemain: Aurelie Moeremans, Rebecca Reijman, Agung Saga, Achmad Albar, Rizky Adrianto, Shierly Rushworth
Tahun Rilis: 2010
HELFI Kardit bilang bahwa beliau pingin bikin film tentang cinta, tapi nggak keliahatan cintanya. Lahirlah “D'Love,” film tentang cinta, tapi nggak kelihatan cintanya, dari tangan sutradara yang sempat menelurkan “Sumpah Pocong di Sekolah,” “Arisan Berondong,” dan “The Sexi City.”
Mulanya, saya mengira Helfi Kardit ini sutradara ekoran Nayato Fio Naula. Karena memang film-filmnya terdahulu jelas sekali mengarah ke sana. Nyatanya, Helfi Kardit memang bukan Nayato Fio Naula yang sepertinya tidak segan-segan mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Memang, sejauh ini film-film besutan Helfi Kardit masih jauh untuk dibilang bagus (setidaknya bagi saya). Tapi, film-filmnya jelas menunjukkan perkembangan (meskipun kemajuan yang terasa sebenarnya tidak terlalu jauh). Yah, setidaknya dia bukan tipikal sutradara Indonesia yang terus-terusan mengulangi kesalahan yang sama di lubang yang sama pula (yap, saya bicara tentang Nayato dan KKD).
“D'Love” jelas sebuah kemajuan kecil buat Halfi Kerdit bila dipandang dari drama besutannya sebelumnya, “The Sexi City.” Tapi, “D'Love” belum berhasil membuktikan kualitas Helfi Kardit sebagai sutradara.
Helfi Kardit, kali ini menyuguhkan sebuah kisah segitiga berlatar kehidupan brutal. Tiga tokoh yang bergulat dalam kisah cinta segitiga kelam ini pun diberi latar kehidupan kelam. Elmo (Agung Saga) adalah seorang petinju jalanan yang sehari-harinya harus menang bertinju kalau mau makan, suatu hari Elmo melihat berita yang menyiarkan tentang kasus korupsi bapaknya di televisi. Hal ini menimbulkan sikap anti-kemewahan di diri Elmo. Lalu ada Neina (Rebecca Reijman), teman Elmo yang selalu mendukungnya. Kehidupan Neina tidak lebih baik dari Elmo. Neina miskin, dan tinggal di gubuk kumuh dengan neneknya. Dan sebagai tambahan daftar suram kehidupannya, Neina pernah bekerja jadi wanita malam. Dan terakhir, ada April (Aurelie Moeremans) anak seorang pianis sukses yang diam-diam menaruh hati pada Elmo. Latar belakang kehidupan April tidak lebih baik dari Elmo dan Neina, bapak angkatnya (Achmad Albar) adalah seorang gay. Karena itu lah Neina mengagumi sosok Elmo yang sangat-sangat gagah dan maskulin.
Sebagian besar durasi film ini menunjukkan adegan pertarungan jalanan yang digeluti Elmo. Seperti standar berantem-beranteman Indonesia, lihat “9 Naga” dan “Sebelah Mata,” adegan berantem ini ditaburi efek-efek kamera yang makin mendramatisir adegan. Slow motion, atau adegan lambat; vibrasi, atau layar bergoyang-goyang / bergetar-getar – dua teknik kamera ini sangat mendominasi adegan-adegan perkelahian di film ini. Kalau dramatisasi (dengan teknik kamera itu) disuguhkan dengan kadar yang pas sih ok-ok saja, sayangnya di beberapa bagian dramatisasinya terasa berlebihan. Lagipula, apa salahnya menyuguhkan sebuah adegan perkelahian yang lebih realis? Seperti yang dilakukan “Rocky,” misalnya? Apakah penonton Indonesia masih belum bisa menerima sesuatu yang tidak didramatisir? Tanya kenapa?
Sebagian besar durasi film lainnya dihabiskan untuk mempertontonkan kehidupan Elmo, Neina, dan April. Suatu hari, di sekolah, Neina dicegat mantan germonya (Shirley Rushworth). Elmo pun meminta bantuan April untuk menyelundupkan Neina di mobilnya. Kejadian ini membuka kesempatan Elmo untuk berkontak dengan April. Sayangnya, hubungan April dan Elmo tidak selancar yang dikira, terlebih karena sikap anti-kemapanan Elmo. Di satu malam, Elmo malah mengecup bibir Neina, dan tanpa sengaja April mendapati kejadian ini (OMG, kebetulan?). Yah, kurang lebih begitulah. Sudah tergambar, bukan, premis ceritanya?
Helfi Kardit, memang, bisa dibilang belajar dari kesalahannya di “The Sexi City.” Dalam “D'Love,” Helfi Kardit mengompresi dramatisasi berlebihan yang dia lakukan di “The Sexi City” ke level yang lebih rendah. Sayangnya, saya masih belum bisa mendapatkan momen dari dramatisasinya. Helfi Kardit pun melakukan pendalaman karakter di sini. Dan lagi-lagi, sayangnya pendalaman tiap-tiap karakternya tidak dilakukan dengan baik. Kehidupan kelam yang dialami tiap-tiap tokoh seolah-olah hanya sekedar tempelan permukaannya saja, untuk jadi kedok agar masing-masing tokohnya seolah-olah punya nyawa. Pemilihan pemain adalah masalah utama di sini. Pemilihan Rebecca Reijman, sang bule Belanda, sebagai gadis SMA sangat-sangat menganggu. Di beberapa scene, aksen bule-nya masih terasa. Dan kalau boleh jujur, postur fisiknya agaknya tidak sesuai untuk memainkan seorang remaja SMA (doi kelihatan jauh lebih tua dibanding dua tokoh utama lainnya). Apalagi di segmen dramanya Helfi Kardit sering sekali menggunakan close up wajah pemainnya untuk menunjukkan ekspresi yang mereka rasakan. Cara ini bisa saja jadi pemanis cerita, andai saja pemain yang di-close-up menunjukkan ekspresi yang tepat. Sayangnya, beberapa close-up malah menunjukkan betapa lemahnya akting para pemain muda ini. Setidaknya, Achmad Albar bermain cukup baik di sini, sebagai gay.
Hay, paling tidak, Helfi Kardit mau mencoba, sekalipun hasil cobaannya masih belum bisa dibilang bagus. Setidaknya Helfi tidak seperti Nayato yang terus-terusan jatuh di lubang sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar