Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Luke Doolan
Pemain: Karl Beattie, Brendan Donoghue, Tara Morice
Tahun Rilis: 2009
BICARA tentang sebuah film yang jujur, “Miracle Fish” bisa dibilang salah satunya.
Film pendek berdurasi 17.40-an menit ini berhasil merogoh Oscar kategori Film Pendek tahun ini. Film yang berasal dari negeri kanguru ini sebenarnya menyajikan plot simplistik (tbahkan sangat sederhana, toh ini filmpendek). Bercerita tentang Joe (Karl Beattie), bocah delapan tahun yang selalu dibulan-bulani teman-temannya. Film ini mengambil setting di hari ulang tahun Joe. Joe pun memohon pada miracle fish (ikan ajaib) yang ada di label makanan agar semua orang yang ada di dunia ini pergi semua (menghilang seketika). Joe bangun, dan tiba-tiba mendapati kenginannya itu telah menjadi kenyataan.
Premis yang diberikan, bisa dilihat, sangat-sangat simpel. Tapi bisa juga dilihat premis tersebut juga menjanjikan sebuah pesan yang kuat. Saya lebih suka memandang film ini sebagai sebuah coming of age. Apa yang diharapkan bocah itu bukan hal baru, atau hal yang jahat sebenarnya. Saya rasa sudah cukup biasa, di usia seperti itu, dan dalam tekanan seperti itu, Joe melontarkan harapan yanag bisa dibilang tidak baik. Kalau memori saya mencoba meraba-raba lagi masa kecil, saya dulu pun pernah berpikiran seperti itu terhadap orang-orang yang tidak saya suka. “Andai saja aku tidak satu sekolahan dengan si-A” atau “Andai saja si-B tidak pernah kenal dengan aku.” Anda?
Tapi “Miracle Fish” tidak hanya sekedar memberikan gambaran seorang bocah mengharapkan sesuatu yang buruk semata, seperti yang saya bilang sebelumnya, saya lebih suka melihat film ini sebagai sebuah coming of age. Saya (penonton) dibuat melihat (dan merasakan) sebuah pengalaman absurd yang dirasakan si bocah. Film nyaris hening tidak bersuara menjelang empat menitan. Hal ini ditujukan untuk memuncakkan suasana kosong (atau hening) yang ditampilkan. Dan efektif, memang. Gambar-gambar yang ditampilkan pun sangat efektif mendukung pengalaman yang dirasakan si bocah. Plus, ekspresi yang diberikan aktor cilik pemeran Joe yang sangat superb untuk membawakan peran se-kompleks (untuk usianya) ini.
Ini adalah sebuah film pendek yang disturbing, thrilling, sekaligus moving secara bersamaan. Saya sendiri sempat mereka-reka (sehabis menonton film ini) apa yang kira-kira bakal rasakan bila keinginan jahat saya terkabul (seperti yang dirasakan Joe).
Sutradara: Luke Doolan
Pemain: Karl Beattie, Brendan Donoghue, Tara Morice
Tahun Rilis: 2009
BICARA tentang sebuah film yang jujur, “Miracle Fish” bisa dibilang salah satunya.
Film pendek berdurasi 17.40-an menit ini berhasil merogoh Oscar kategori Film Pendek tahun ini. Film yang berasal dari negeri kanguru ini sebenarnya menyajikan plot simplistik (tbahkan sangat sederhana, toh ini filmpendek). Bercerita tentang Joe (Karl Beattie), bocah delapan tahun yang selalu dibulan-bulani teman-temannya. Film ini mengambil setting di hari ulang tahun Joe. Joe pun memohon pada miracle fish (ikan ajaib) yang ada di label makanan agar semua orang yang ada di dunia ini pergi semua (menghilang seketika). Joe bangun, dan tiba-tiba mendapati kenginannya itu telah menjadi kenyataan.
Premis yang diberikan, bisa dilihat, sangat-sangat simpel. Tapi bisa juga dilihat premis tersebut juga menjanjikan sebuah pesan yang kuat. Saya lebih suka memandang film ini sebagai sebuah coming of age. Apa yang diharapkan bocah itu bukan hal baru, atau hal yang jahat sebenarnya. Saya rasa sudah cukup biasa, di usia seperti itu, dan dalam tekanan seperti itu, Joe melontarkan harapan yanag bisa dibilang tidak baik. Kalau memori saya mencoba meraba-raba lagi masa kecil, saya dulu pun pernah berpikiran seperti itu terhadap orang-orang yang tidak saya suka. “Andai saja aku tidak satu sekolahan dengan si-A” atau “Andai saja si-B tidak pernah kenal dengan aku.” Anda?
Tapi “Miracle Fish” tidak hanya sekedar memberikan gambaran seorang bocah mengharapkan sesuatu yang buruk semata, seperti yang saya bilang sebelumnya, saya lebih suka melihat film ini sebagai sebuah coming of age. Saya (penonton) dibuat melihat (dan merasakan) sebuah pengalaman absurd yang dirasakan si bocah. Film nyaris hening tidak bersuara menjelang empat menitan. Hal ini ditujukan untuk memuncakkan suasana kosong (atau hening) yang ditampilkan. Dan efektif, memang. Gambar-gambar yang ditampilkan pun sangat efektif mendukung pengalaman yang dirasakan si bocah. Plus, ekspresi yang diberikan aktor cilik pemeran Joe yang sangat superb untuk membawakan peran se-kompleks (untuk usianya) ini.
Ini adalah sebuah film pendek yang disturbing, thrilling, sekaligus moving secara bersamaan. Saya sendiri sempat mereka-reka (sehabis menonton film ini) apa yang kira-kira bakal rasakan bila keinginan jahat saya terkabul (seperti yang dirasakan Joe).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar