Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Bill Taylor
Pemain: Bill Taylor, Jonathan Keltz, Andrew Hachey
Tahun Rilis: 2007
FILM pendek lagi. Ketimbang “Miracle Fish” yang saya tuli resensinya beberapa hari yang lalu, “Silver Road” jauh lebih simpel dan sederhana lagi.
“Silver Road” menceritakan tentang perpisahan dua orang sahabat – Danny (Bill Taylor) dan Mark (Jonathan Keltz). Dua-duanya tujuh belas tahun. Dua-duanya sedang dalam gerbang menuju masa depan masing-masing. Dan sayangnya, dua-duanya harus berpisah: Danny harus pergi ke kota untuk kuliah, sementara Mark tinggal di pedesaan mengurusi lahan bapaknya. Konflik utama film ini adalah: keanehan yang dirasakan masing-masing ketika keduanya sangat-amat sulit mengucapkan perpisahan.
Film ini mengangkat tema homoseksual! Tapi bukan sekedar homoseksual semata, yang saya tangkap. Film ini sendiri, saya rasa, tidak sekedar ditujukan untuk kaum homoseksual semata. Film ini mengangkat tema tentang “coming out” – dilema dan konsekuensinya.
Film dibuka di sekitar pagi hari dengan gambaran pemandangan-pemandangan kawasan peternakan (lahan milik keluarga Mark). Lalu terlihat Danny menelusuri jalan perkampungan menuju ke lahan Mark. Mark ingin pamitan dengan Danny. Saya suka pembukaannya. Fresh and relieved. Keduanya pun bertemu, duduk di atas truk Mark, membuka botol minuman, dan berbincang-bincang. Saya (sebagai penonton) pun menangkap apapun yang keluar dari mulut keduanya saat itu cuma sekedar basa-basi belaka. Tapi itu lah kira-kira yang ingin disampaikan di pembukaan sini: basa-basi-nya. Mereka berbicara basa-basi – tapi terlihat sekali canggung satu sama lain. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik basa-basi itu.
Adegan pun cut to di sebuah jalan di malam hari. Mark sedang mengendari truk-nya, sementara Danny duduk di sampingnya. Cut to dari pembukaan yang bersetting pagi hari ke malam hari ini bisa saja jadi kelemahan film pendek ini – bisa juga tidak, tergantung cara pandangnya. Dari pembukaan kita tahu ada sesuatu yang lebih penting yang ingin mereka sampaikan selain basa-basi yang mereka sampaikan. Dan cut to ke malam hari itu memberikan persepsi loncatan waktu bagi penonton. Apa saja bisa terjadi sepanjangan jeda cut to yang sama sekali tidak diceritakan ini. Kesimpulan yang pasti, setidaknya bagi saya, sepanjangan jeda yang tidak diceritakan itu, keduanya tetap berbasa-basi. Mungkin bakal ada yang menuntut agar basa-basi dalam jeda itu diceritakan sedemikian rupa dengan cara seefektif dan seefisien mungkin dengan alasan untuk lebih menunjukkan betapa mencekamnya dilema “coming out” itu. Tapi saya lebih suka dijeda (atau dengan cut to seperti yang dilakukan), karena kalau memang jeda itu harus diceritakan, film ini tidak akan efisien lagi (setidaknya bagi saya).
Lalu muncul adegan klimaksnya. Di tengah jalan malam-malam gelap itu, Danny mematikan lampu truk yang sedang dikendarai Mark. Tidak lama kemudian, setelah perempatan, Danny mencium Mark. Mark yang kaget menghempas tubuh Danny. Danny berlari – shock. Dan Mark pun shock, setidaknya Mark lebih mampu menguasai diri. Anti-klimaks film ini berusaha menunjukkan bagaimana pengaruh “coming out” itu dengan hubungan persahabatan mereka, dan bagaimana keduanya menanggapi “coming out” itu. Film pendek ini cukup berhasil menunjukkannya.
Tidak kebanyakan film pendek umumnya yang cenderung padat dan menggunakan simbolisme/metafora untuk membantu menyampaikan maksudnya, “Silver Road” bisa dibilang sangat harfiah. Apa yang disajikan, itulah yang ditangkap.
Sutradara: Bill Taylor
Pemain: Bill Taylor, Jonathan Keltz, Andrew Hachey
Tahun Rilis: 2007
FILM pendek lagi. Ketimbang “Miracle Fish” yang saya tuli resensinya beberapa hari yang lalu, “Silver Road” jauh lebih simpel dan sederhana lagi.
“Silver Road” menceritakan tentang perpisahan dua orang sahabat – Danny (Bill Taylor) dan Mark (Jonathan Keltz). Dua-duanya tujuh belas tahun. Dua-duanya sedang dalam gerbang menuju masa depan masing-masing. Dan sayangnya, dua-duanya harus berpisah: Danny harus pergi ke kota untuk kuliah, sementara Mark tinggal di pedesaan mengurusi lahan bapaknya. Konflik utama film ini adalah: keanehan yang dirasakan masing-masing ketika keduanya sangat-amat sulit mengucapkan perpisahan.
Film ini mengangkat tema homoseksual! Tapi bukan sekedar homoseksual semata, yang saya tangkap. Film ini sendiri, saya rasa, tidak sekedar ditujukan untuk kaum homoseksual semata. Film ini mengangkat tema tentang “coming out” – dilema dan konsekuensinya.
Film dibuka di sekitar pagi hari dengan gambaran pemandangan-pemandangan kawasan peternakan (lahan milik keluarga Mark). Lalu terlihat Danny menelusuri jalan perkampungan menuju ke lahan Mark. Mark ingin pamitan dengan Danny. Saya suka pembukaannya. Fresh and relieved. Keduanya pun bertemu, duduk di atas truk Mark, membuka botol minuman, dan berbincang-bincang. Saya (sebagai penonton) pun menangkap apapun yang keluar dari mulut keduanya saat itu cuma sekedar basa-basi belaka. Tapi itu lah kira-kira yang ingin disampaikan di pembukaan sini: basa-basi-nya. Mereka berbicara basa-basi – tapi terlihat sekali canggung satu sama lain. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik basa-basi itu.
Adegan pun cut to di sebuah jalan di malam hari. Mark sedang mengendari truk-nya, sementara Danny duduk di sampingnya. Cut to dari pembukaan yang bersetting pagi hari ke malam hari ini bisa saja jadi kelemahan film pendek ini – bisa juga tidak, tergantung cara pandangnya. Dari pembukaan kita tahu ada sesuatu yang lebih penting yang ingin mereka sampaikan selain basa-basi yang mereka sampaikan. Dan cut to ke malam hari itu memberikan persepsi loncatan waktu bagi penonton. Apa saja bisa terjadi sepanjangan jeda cut to yang sama sekali tidak diceritakan ini. Kesimpulan yang pasti, setidaknya bagi saya, sepanjangan jeda yang tidak diceritakan itu, keduanya tetap berbasa-basi. Mungkin bakal ada yang menuntut agar basa-basi dalam jeda itu diceritakan sedemikian rupa dengan cara seefektif dan seefisien mungkin dengan alasan untuk lebih menunjukkan betapa mencekamnya dilema “coming out” itu. Tapi saya lebih suka dijeda (atau dengan cut to seperti yang dilakukan), karena kalau memang jeda itu harus diceritakan, film ini tidak akan efisien lagi (setidaknya bagi saya).
Lalu muncul adegan klimaksnya. Di tengah jalan malam-malam gelap itu, Danny mematikan lampu truk yang sedang dikendarai Mark. Tidak lama kemudian, setelah perempatan, Danny mencium Mark. Mark yang kaget menghempas tubuh Danny. Danny berlari – shock. Dan Mark pun shock, setidaknya Mark lebih mampu menguasai diri. Anti-klimaks film ini berusaha menunjukkan bagaimana pengaruh “coming out” itu dengan hubungan persahabatan mereka, dan bagaimana keduanya menanggapi “coming out” itu. Film pendek ini cukup berhasil menunjukkannya.
Tidak kebanyakan film pendek umumnya yang cenderung padat dan menggunakan simbolisme/metafora untuk membantu menyampaikan maksudnya, “Silver Road” bisa dibilang sangat harfiah. Apa yang disajikan, itulah yang ditangkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar