Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Nayato Fio Naola
Pemain: Andhika Pratama, Debby Kristy, Poppy Sovia
Pemain: Andhika Pratama, Debby Kristy, Poppy Sovia
Tahun Rilis: 2007
Dalam sebuah wawancara dengan Nayato, The Butterfly konon adalah masterpiece-nya. Di Facebook pun banyak yang bilang kalau The Butterfly ini film yang bagus, dan paling bagus (satu-satunya yang bagus) dari Nayato. Nayato sendiri bilang kalau perannya di lapangan sebagai sutradara tidak menonjol, dia tidak mau nama aslinya dicantumkan. Lalu munculah pseudoname (nama-nama kloningan) yang sebenarnya sudah tidak asing lagi: Koya Pagayo, Pingkan Utari, Ian Jacobs dan Ciska Doppert. Dari tahun 2002 sampai tahun 2010 ini, Nayato terhitung sudah 37 film yang dirilis oleh Nayato.
Kalau dibandingkan dengan film-film tentang “A-Be-Ge G4H0L” besutan Nayato Fio Naula akhir-akhir ini, The Butterfly tidak terlalu menunjukkan kesampahan-kesampahan yang sudah jadi ciri khasnya. Tapi tetap saja masih terlihat bibit-bibit ciri khas Nayato yang tetap saja menganggu di The Butterfly.
Sebelum membicarakan keburukan The Butterfly, mari bicarakan kebagusannya dahulu. Sudah jadi rahasia umum kalau Nayato adalah sutradara style, bukan konteks. Nayato sendiri bilang beliau tidak terlalu memedulikan kedalaman cerita, kedalaman penokohan, dan tetek-bengek unsur intrinsik skenario lainnya. Nayato adalah tipikal sutradara yang mengagung-agungkan style. Nayato tidak menganggap The Godfather adalah sebuah karya yang bagus. Nayato sendiri mengidolakan The Dreamers (film karya Bernardo Bertolucci) dan sutradara Wong Kar-wai. Wong Kar-wai memang terkenal sabagai sutradara yang piawai memainkan bahasa visual dengan gaya dan style-nya sendiri, lihat saja Chungking Express dan In the Mood of Love. Bahkan terlihat jelas kemiripan gaya visual di salah satu film Nayato, Belum Cukup Umur, dengan film Wong Kar-wai, My Blueberry Nights. Perbedaannya, karya-karya Wong Kar-wai, sekalipun tidak serumit film-film kontekstual, tetap saja tidak serta merta mengabaikan konteks-nya. Wong Kar-wai juga tidak sekedar menyuguhkan style yang berakhir sebagai gaya-gayaan semata. Seperti dalam Chungking Express, misalnya, Wong Kar-wai menggunakan style-nya dalam bahasa gambar untuk menegaskan kisah sederhana yang ingin disuguhkan.
Yang jadi masalah dalam kasus Nayato Fio Naula pada umumnya, style yang ditampilkan di film-filmnya tidak didukung oleh skenario yang cukup kuat. Nayato (seakan-akan) hanya sekedar mempertontonkan style semata. Tapi, dalam kasus The Butterfly ini, style yang sudah jadi ciri-khas Nayato ternyata memberikan nilai positif. The Butterfly adalah road movie tentang perjalanan tiga sahabat (Andhika Pratama, Debbt Kristy, dan Poppy Sovia). Tipikal road movie umumnya, perjalanan ini tentu berdampak pada ketiganya, sesuai dengan problema masing-masing. Saya tidak akan memberikan sinopsis singkat, tapi genre film ini yang berupa road movie memang memungkinkan bagi Nayato untuk bersinematografi ria. Saya tidak akan bilang skenario film ini adalah skenario yang bagus, tapi sejauh ini, tipe skenario semacam ini memang skenario yang paling tepat bagi gaya penyutradaraan khas Nayato (ketimbang Nayato mencoba menyuguhkan kisah sok rumit tapi dangkal).
Sayangnya The Butterfly tidak berakhir memuaskan. Titip puncak paling tidak memuaskan dari The Butterfly ada pada endingnya yang entah kenapa berbau-bau cheesy nan silly. Cerita The Butterfly juga memiliki bolong-bolong yang cukup menganggu sepanjang film. Salah satunya adalah penyajian flashback-flashback yang tidak rapi. Beberapa flashback malah dirasa tidak perlu, atau mubazirisme. Dari segi editing, ada hal-hal kecil yang menurut saya cukup menganggu: terutama dari segi bunyi-bunyian dan pemotongan dari satu adegan ke adegan lainnya.
Banyak yang membandingkan film ini dengan judul-judul road movie lainnya, salah satunya Y tu mamá también. Rasanya saya tidak perlu membandingkan, karena sudah terlihat jelas perbedaannya. Pada akhirya, saya tetap kecewa dengan film yang katanya terbaik dari Nayato.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar