Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: François Dupeyron
Pemain: Omar Sharif, Pierre Boulanger, Gilbert Melki, Isabelle Renauld, Lola Naymark, Isabelle Adjani
Pemain: Omar Sharif, Pierre Boulanger, Gilbert Melki, Isabelle Renauld, Lola Naymark, Isabelle Adjani
Tahun Rilis: 2003
Judul Internasional: Monsieur Ibrahim atau Mister Ibrahim and the Flowers of the Qur'an
Diadaptasi dari novel dan naskah panggung Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran karya Éric-Emmanuel Schmitt.
Saya selalu suka dengan film-film yang membangun karakternya dengan baik, lalu memanfaatkan pembangunan karakternya itu dalam cerita (jadi gak mubazir). Kalau melihat daftar tiga besar film favorit saya, bisa dilihat selera film saya lebih ke arah “karakter.”
Pertama kali melihat poster Monsieur Ibrahim et les fleurs du Coran di internet, mulanya saya kira film ini cuma bakal jadi film toleransi antar umat semata (semacam Cin(T)a). Satu-satunya yang membuat saya tertarik cuma nama Omar Sharif, aktor asal Mesir (Lawrence of Arabia, Doctor Zhivago) yang sudah lama tidak terdengar, yang terpampang di bagian atas poster. Ternyata film ini jauh melebihi apa yang saya kira. Inti film ini justru bukan tentang hubungan antar umat semata, tapi pesan yang lebih global dan universal: tentang sebuah hubungan dan bagaimana hubungan itu memengaruhi satu sama lain. Film semacam ini bisa jadi sangat dangkal, kalau penyajiannya dangkal. Tapi film semacam ini bisa juga jadi sangat menarik, kalau didukung oleh pengkajian penokohan yang tepat.
Premis film ini mengingatkan saya pada La vie devant soi (Madame Rosa) (1977) film asal Perancis yang duduk sebagai film favorit saya sepanjang masa. Kalau La vie devant soi medalami hubungan seorang mantan pelacur Yahudi yang sudah tua dengan Momo (nama aslinya Mohammed) bocah Arab yang diasuhnya yang sedang memasuki masa keremajaan, Monsieur Ibrahim, malah kebalikannya, menelaahi tentang hubungan bocah Yahudi, Momo (nama aslinya Moses–Musa kalau dalam Islam), dengan pria Turki tua yang sering dipanggil Arab” karena tokonya selalu buka sampai malam dan hari libur.
Sama seperti La vie devant soi, film ini diceritakan dari kacamata Momo (Pierre Boulanger). Momo tinggal di Rue Blue, daerah kumuh di Paris, di tahun 1960, bersama bapaknya (Gilbert Melki) yang cuma pulang buat makan dan membanding-bandingkan dengan kakaknya Momo. Momo tidak mendapat kasih sayang ibunya. Sementara kakaknya, yang selalu dibanggakan, Momo sudah duluan pergi entah ke mana. Tinggal lah Momo sendiri seharian, dalam usianya yang beranjak remaja, menatapi satu per satu orang yang lewat, menjahili gadis tetangga, menggoda pelacur-pelacur di jalan, sembari mempersiapkan makan malam buat bapaknya.
Momo sering mampir ke toko di seberang jalan milik Monsieur Ibrahim (Omar Sharif) untuk belanja keperluan sehari-hari. Ibrahim tipikal pria-pria tua bijaksana. Dia duduk di belakang kasir sambil memperhatikan–menyimak seksama–setiap orang yang keluar masuk, termasuk Momo. Tentu tidak sulit bagi Ibrahim, dengan dengan segala pengalamannya, untuk mengetahui kalau Momo butuh bimbingan–minimal butuh seorang teman. Ibrahim memberikan nasihat-nasihat pada Momo, sambil mengutip ayat-ayat dari Qur'an. Keduanya menjalin kedekatan layaknya ayah-anak. Di satu sisi, Ibrahim tahu semua hal tentang Momo, di sisi lain sosok Ibrahim tampak begitu misterius sekaligus begitu bijak di mata Momo.
Pada akhirnya Monsieur Ibrahim tidak menjadi film propaganda agama, di mana tokoh dari agama yang satu menyelamatkan hidup tokoh dari agam yang satunya. Yang membuat saya suk film ini justru karena Monsieur Ibrahim murni bercerita tentang hubungan. Bagian awal film berusaha menunjukkan kehidupan sekitar dari kacamata Momo, dan bagaimana Momo memandang kehidupan sekitar. Bisa, di awal-awal film, ditangkap kalau Momo jelas sekali mencari kesenangan untuk membebaskan dirinya dari permasalahannya, sampai akhirnya menjalin kedekatan dengan Ibrahim. Pierre Boulanger (Nos 18 Ans) berhasil memikat saya dengan penampilannya, sama memukaunya dengan penampilan Sami Ben Youb sebagai Momo di La vie devant soi. Kalau Sami Ben Youb berhasil menampilkan sosok Momo-nya melalui suasana depresif, Pierre Boulanger menampilkan sosok Momo yang lebih cerita. Pierre Boulanger membuat sosok Momo menjadi tokoh yang menarik untuk diikuti. Sementara Omar Sharif, sekalipun tidak lagi semuda dan setampan seperti di Doctor Zhivago, tidak kehilangan pesonanya di Monsieur Ibrahim. Omar Sharif mampu membuat sosok Ibrahim terlihat bijak tapi tetap menyenangkan, dan tidak preachy layaknya tokoh-tokoh ulama dalam film agama Indonesia pada umumnya. Omar Sharif mendapatkan penghargaan Best Actor César Awards 2004 untuk perannya sebagai Ibrahim. Dan film ini masuk jajaran nominator Best Foreign Language Movie Golden Globe 2004.
Menjelang akhir, Monsieur Ibrahim berubah menjadi perjalanan (road movie). Perjalanan ini merupakan titik balik bagi film, bukan hanya tentang Momo, tapi juga tentang kehidupan Ibrahim sendiri. Monsieur Ibrahim berhasil menunjukkan hubungan dua manusia berbeda usia, latar belakang, budaya, dan pemikiran dengan cara yang menyentuh. Film ini bukan sekedar tentang toleransi, bukan sekedar tentang Islam-Yahudi, bukan tentang sekedar hubungan dua agama, tapi lebih dalam lagi, Monsieur Ibrahim adalah film tentang hubungan dua manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar