Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Martial Fougeron
Pemain: Nathalie Baye, Victor Sévaux, Olivier Gourmet, Marie Kremer, Emmanuelle Riva, Michèle Moretti, Valentine Stach, Thomas Silberstein, Nicole Gros
Tahun Rilis: 2006
Pemain: Nathalie Baye, Victor Sévaux, Olivier Gourmet, Marie Kremer, Emmanuelle Riva, Michèle Moretti, Valentine Stach, Thomas Silberstein, Nicole Gros
Tahun Rilis: 2006
Film-film bermuatan jahat, kelam, kejam, dan amoral memang bukan hal baru di dunia perfilman. Tema incest, yang memang jahat, kejam, kelam, amoral, dan menjijikkan, juga bukan barang baru. Sebut saja di antaranya My Son, My Lover (1970), Ma mère (2004), Savage Grace (2007), dan film Perancis yang akan dibahas ini, Mon fils à moi.
Cinta seorang ibu yang tumbuh terlalu berlebihan untuk anaknya memang bisa berbahaya, dalam kasus Mon fils à moi ini misalnya. Film ini bercerita tentang materi disfungsi yang sebenarya sudah tidak asing lagi, tapi tetap dinilai tabu dan terasa amoral.
Sebagai seorang anak laki-laki, Julien (Victor Sévaux) mempunyai nyaris semua spesifikasi yang didambakan semua ibu. Pintar, piawai bermain piano, sayang dengan nenek, sedang mempersiapkan diri untuk kejuaraan sepak bola, serta tampan dan rupawan. Ibunya (Nathalie Baye) sangat amat menyayangi Julien sampai-sampai keduanya kerap kali berdansa berdua. Memasuki masa pubernya (memasuki usia remaja), Julien mulai berubah, sementara ibunya tetap menginginkan Julien untuk dirinya sendiri. Semakin film bergulir, hubungan Julien dan ibunya pun semakin terlihat tidak sehat. Berbagai macam tindakan tidak tidak sehat dilakukan ibu Julien, sebagian besar karena emosi berlebihan (atau cemburu berlebihan) karena Julien tidak mematuhi keinginannya. Tentu semua penekanan-penekanan yang dilakukan ibunya berdampak pada Julien (terutama secara psikologis). Bapaknya Julien (Olivier Gourmet), tipikal bapak-bapak gila kerja, tidak bisa berbuat apa-apa—malah cenderung tidak terlalu peduli dengan kondisi keluarganya. Satu-satunya orang yang khawatir dengan kondisi Julien hanyalah kakaknya (Marie Kremer), tapi dia tidak bisa berbuat banyak.
Tidak seperti Equus yang dengan berani menyajikan adegan full frontal Peter Firth dengan seekor kuda di kandang, atau Ma mère yang lantang menyuguhkan adegan seks seorang ibu dengan anaknya yang masih 17 tahun (Louis Garrel sudah berusia 21 tahun saat film itu diproduksi), Mon fils à moi sama sekali tidak menyajikan adegan seks ibu-anak (wajar saja, film ini bakal dituntut kalau menyuguhkan adegan seks, mengingat usia aktor utamanya yang belum 18 tahun). Satu-satunya adegan paling birahi, sekaligus paling miris, di film ini adalah ketika Julien seusai mandi (telanjang) dan ibunya mendadak masuk ke kamar, Julien yang kaget cepat-cepat menutupi kemaluannya, tapi ibunya (yang merasa Julien masih belum cukup tua untuk melakukan itu) memaksa Julien menunjukkan kemaluannya. Sisanya lebih merupakan pertunjukkan gejolak emosi dan psikologis antara Julien dan ibunya.
Seperti film-film Perancis umumnya, Mon fils à moi memberikan pendekatan realisme sekental mungkin (bukan dramatisme seperti yang sering ditemui di film-film Hanung Brahmantyo). Film ini di-shot dengan cahaya natural yang mempertegas suasana realismenya. Adegan-demi-adegan juga dibuat senatural mungkin. Skenario film ini cenderung menonjolkan emosi tiap tokoh melalui ekspresi (natural) ketimbang dialog. Dari segi suara pun Mon fils à moi juga dibuat senatural mungkin, sound effect natural, dan tidak ada suara musik antah-berantah yang entah dari mana asalnya. Film ini termasuk film yang sunyi. Anehnya, kesunyian film ini justru berhasil membuat adegan-adegan disturbing-nya menghantui kepala saya sebagai penonton (dan hal ini dilakukan tanpa dramatisme).
Untuk ukuran film yang membawa cerita disturbing, saya sangat suka tensi film ini. Tensi antara ibu-anak terbangun perlahan-lahan dengan sangat baik. Nathalie Baye (Sauve qui peut (la vie) (1980), Une étrange affaire (1981), La Balance (1982), dan Le Petit Lieutenant (2005)) sangat berhasil tampil sebagai wanita yang bermasalah dengan pendekatan se-natural dan se-realistis mungkin. Nathalie Baye menunjukkan kecerdasan dalam penampilannya di sini untuk tidak mendramatisirkan atau sekedar mengkarikaturkan toohnya. Aktor muda, Victor Sevaux, juga tampil sangat menawan di setiap scene-nya. Kualitas penampilan Victor Sevaux bahkan melebihi ekspektasi saya. Pemain-pemain pendukung lain juga sangat membantu.
Setiap tensi yang disuguhkan Mon fils à moi berhasil menggerakkan hati dan pikiran saya. Bukan yang terbaik, tapi Mon fils à moi bagi saya sudah termasuk sangat bagus. Miris, bahkan sulit memang, menonton film disturbing semacam ini. Tapi memang itu lah tujuannya Menggambarkan realita bahwa sesuatu yang amoral seperti ini (tidak bisa dipungkiri) memang ada dan bisa saja terjadi. Mon fils à moi bahkan berhasil menunjukkan akibat dan dampaknya (terlebih secara sosial dan psikologis), hal ini membuat film ini tidak sekedar disturbing tapi bisa juga sebagai studi karakter yang cukup baik. Saya berhasil dibuat miris dan ngilu seusai menonton kisah ketika cinta seorang ibu malah menyiksa anaknya sendiri, dan penyiksaan itu diperbenarkan dengan alasan cinta.
Wow, insest, ya.
BalasHapus"Penyiksaan itu diperbenarkan dengan alasan cinta."
Yup. Ini bener sekali. Jangan menggunakan alasan 'cinta' atau 'demi orang lain' atas penyiksaan yang kita perbuat.
WATCH 18+ TV CHANNELS & HOT MOVIES FREE
BalasHapusWATCH 18+ TV CHANNELS & HOT MOVIES FREE
WATCH NONSTOP LIVE ENTERTAINMENT FREE
WATCH NONSTOP LIVE ENTERTAINMENT FREE333