Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Xavier Dolan
Pemain: Anne Dorval, Xavier Dolan, François Arnaud, Suzanne Clément, Patricia Tulasne, Niels Schneider, Monique Spaziani, Pierre Chagnon
Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: I Killed My Mother
Xavier Dolan, yang saat itu masih berusia 20 tahun, menyutradarai, menulis, sekaligus membintangi film debutannya ini. Di usia yang masih terbilang sangat-sangat muda untuk mengemban tiga tugas tersebut, Xavier Dolan berhasil memenangkan tiga penghargaan di malam Director's Fortnight di Festival Film Cannes 2009. Belum lagi standing ovation selama delapan menit yang dihadiahkan untuk film ini.
Jangan tertipu judulnya, J'ai tué ma mère yang artinya kurang lebih “I got my mother killed,” film ini sama sekali tidak menampilkan adegan bunuh-bunuhan. Judul tersebut diambil dari essay yang ditulis tokoh utama film ini sebagai tugas sekolah, sekaligus juga berupa kiasan tentang hubungan ibu-anak di film ini. Dan dari judulnya juga, bisa diketahui bahwa film ini merupakan film yang sangat personal. Pada sebuah wawancara, Xavier Dolan juga dijelaskan bahwa film ini merupakan bagian dari autobiografi.
I Killed My Mother dibukan dengan sepenggal kutipan dari Guy de Maupassant, seorang penulis Perancis abad ke-19, yang kurang lebih berbunyi: “We love our mother without knowing it. Only after the last goodbye, do we realize just how much.” Sebuah ungkapan yang dalam. Selanjutnya tokoh utama pun diperkenalkan dalam sebuah monolog hitam-putih tentang perasaan kompleksnya terhadap ibunya. Tokoh utama ini Hubert Minel (Xavier Dolan), pemuda 16 tahun, flamboyan, cerewet, bermulut pedas, blak-blakan, labil, tempramen, emosian, menggunakan potongan rambut ala James Dean, dan gay. Dalam monolog pembukaan (dari video diary), Hubert mengakui bahwa dia tidak mau menjadi anak ibunya. Dia mau menjadi anak orang lain, tapi tidak mau menjadi anak ibunya. Kira-kira begitulah. Monolog tersebut pun di-cut ke beberapa shoot artistik tentang kupu-kupu dan cupid, lalu diakhiri dengan shoot extreme close-up mulut Chantal Minel (Anne Dorval), ibu Hubert, yang sedang mengunyah sebuah kue dengan mulut belepotan cream. Dari gaya adegan pembukaan ini sudah bisa dilihat kalau I Killed My Mother termasuk film stylish dan artistik.
Film ini termasuk film yang menantang (saya tidak bilang berat, saya bilang menantang), bayangkan saja belum sampai satu setengah menit, penonton sudah disuguhkan pada masalah utamanya. Pemicu pertengkaran mereka sebenarnya hanya masalah sepele, seperti pada adegan pertengkaran di dalam mobi di awal film cuma karena radio, headset, dan lampu merah, yang akhirnya memuncak dan membawa-bawa persoalan yang lebih pelik. Adegan-adegan pertengkaran selanjutnya pun selalu begitu, dipicu karena persoalan sepele. Dan sebagian besar inti film yang durasinya kurang lebih satu setengah jam ini adalah pertengkaran ibu-anak antara Chantal dan Hubert. Secara keseluruhan, apa yang ingin ditunjukkan Xavier Dolan di sini adalah sebuah potret tentang hubungan disfungsional ibu-anak dari Hubert dan Chantal.
Sisi artistik merupakan salah satu poin yang patut jadi sorotan dalam film ini. Selain secara verbal (pertengkaran-demi-pertengkaran) sisi emosional, baik Hubert maupun Chantal, juga digambarkan dengan cara visual melalui berbagai macam jenis simbolisme tertentu (mulai dari kupu-kupu, kaca pecah, dan berbagai absurd lainnya). Bahkan adegan seks antara Hubert dan pacarnya, Antonin (François Arnaud), pun dieksekusi dengan cara yang cukup artistik, sehingga saya sendiri tidak terlalu merasa terganggu.
Mungkin banyak yang bakal bertanya: “Apa sih enaknya nonton film yang dari awal sampai akhir intinya cuma pertengkaran ibu-anak semata?” Terlebih Xavier Dolan mengemas film ini dengan sangat provokatif dan nyaris tidak memberi ruang pada penonton untuk bernafas. Jelas ini bukan tipe tontonan yang manis, melainkan tontonan yang cenderung depresif. Sialnya, itu lah yang saya suka dari film ini. Pada kenyataannya eksekusi intens tersebut membuat saya melihat lebih dalam dan lebih jauh lagi tentang hubungan keduanya.
Apa yang salah dari hubungan Chantal dan Hubert? Siapa lebih yang patut disalahkan atas ketidaknormalan hubungan keduanya? Pada kenyataannya hubungan, ketika Hubert masih kecil, hubungan keduanya justru sangat harmonis. Hubert adalah remaja sensitif yang dibesarkan oleh seorang ibu yang keras kepala. Di suatu kesempatan, Hubert berbohong pada gurunya bahwa ibunya telah meninggal. Ketika mengetahui hal tersebut, ibunya dengan murka datang ke sekolahan: “Do I look dead to you?” Hubert meminta pada ibunya untuk tinggal di apartemen, mulanya Chantal menyetujui, lalu menolak, dan pertengkaran terjadi lagi. Hubert bahkan menghujat ibunya sebagai contoh ibu yang paling buruk yang ada.
Satu adegan kunci di film ini adalah ketika Chantal mendapati hubungan Hubert dan Antonin secara tidak sengaja dari ibu Antonin. “Our boys, about two month and a week.” Dan di saat itu juga Chantal baru mengetahui status homoseksual Hubert. “Now I know why Hubert is acting so strangely,” tanggap Chantal, “He was obssesed with Leonardo diCaprio when Titanic was realeased.” Lebih dalam lagi Chantal berkata, “He told me everything when he was little.”
Mungkin banyak yang mengira Hubert lah yang paling patut disalahkan dalam kasus ini. Pada dasarnya Hubert hanya seorang remaja yang dihadapkan pada dilema seksual (obsesinya pada Leonardo diCaprio). Hubert hanya sedang berusaha membebaskan dirinya dari dilema tersebut. Chantal juga bukan ibu yang buruk. Chantal bersedia mengantar Hubert, memasak buat Hubert, bahkan menemaninya ke rental DVD. Hanya saja, sekalinya muncul perselsihan, keduanya tidak pernah bisa akur. Sekalipun cerita yang disuguhkan terbilang sangat personal, saya rasa film ini bisa dikaji oleh siapa pun, entah itu remaja bermasalah, orang tua yang keras kepala, atau sekedar penonton biasa.
Satu lagi yang menarik dari film ini, selain cerita dan sisi artistiknya, adalah dialognya yang terasa otentik, tajam, dan di saat yang bersamaan juga terasa memiliki dark humour. Saya rasa itu lah salah satu alasan kenapa saya bisa terus-terusan terserap ke dalam pertengkaran antara Chanta dan Hubert. Xavier Dolan, sebagai aktor, juga memberikan penampilan yang menawan sebagai Hubert. Tapi pujian tertinggi septutnya dilayangkan pada Anne Dorval yang telah berhasil meraup sebagian besar simpati saya.
Pemain: Anne Dorval, Xavier Dolan, François Arnaud, Suzanne Clément, Patricia Tulasne, Niels Schneider, Monique Spaziani, Pierre Chagnon
Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: I Killed My Mother
Jangan tertipu judulnya, J'ai tué ma mère yang artinya kurang lebih “I got my mother killed,” film ini sama sekali tidak menampilkan adegan bunuh-bunuhan. Judul tersebut diambil dari essay yang ditulis tokoh utama film ini sebagai tugas sekolah, sekaligus juga berupa kiasan tentang hubungan ibu-anak di film ini. Dan dari judulnya juga, bisa diketahui bahwa film ini merupakan film yang sangat personal. Pada sebuah wawancara, Xavier Dolan juga dijelaskan bahwa film ini merupakan bagian dari autobiografi.
I Killed My Mother dibukan dengan sepenggal kutipan dari Guy de Maupassant, seorang penulis Perancis abad ke-19, yang kurang lebih berbunyi: “We love our mother without knowing it. Only after the last goodbye, do we realize just how much.” Sebuah ungkapan yang dalam. Selanjutnya tokoh utama pun diperkenalkan dalam sebuah monolog hitam-putih tentang perasaan kompleksnya terhadap ibunya. Tokoh utama ini Hubert Minel (Xavier Dolan), pemuda 16 tahun, flamboyan, cerewet, bermulut pedas, blak-blakan, labil, tempramen, emosian, menggunakan potongan rambut ala James Dean, dan gay. Dalam monolog pembukaan (dari video diary), Hubert mengakui bahwa dia tidak mau menjadi anak ibunya. Dia mau menjadi anak orang lain, tapi tidak mau menjadi anak ibunya. Kira-kira begitulah. Monolog tersebut pun di-cut ke beberapa shoot artistik tentang kupu-kupu dan cupid, lalu diakhiri dengan shoot extreme close-up mulut Chantal Minel (Anne Dorval), ibu Hubert, yang sedang mengunyah sebuah kue dengan mulut belepotan cream. Dari gaya adegan pembukaan ini sudah bisa dilihat kalau I Killed My Mother termasuk film stylish dan artistik.
Film ini termasuk film yang menantang (saya tidak bilang berat, saya bilang menantang), bayangkan saja belum sampai satu setengah menit, penonton sudah disuguhkan pada masalah utamanya. Pemicu pertengkaran mereka sebenarnya hanya masalah sepele, seperti pada adegan pertengkaran di dalam mobi di awal film cuma karena radio, headset, dan lampu merah, yang akhirnya memuncak dan membawa-bawa persoalan yang lebih pelik. Adegan-adegan pertengkaran selanjutnya pun selalu begitu, dipicu karena persoalan sepele. Dan sebagian besar inti film yang durasinya kurang lebih satu setengah jam ini adalah pertengkaran ibu-anak antara Chantal dan Hubert. Secara keseluruhan, apa yang ingin ditunjukkan Xavier Dolan di sini adalah sebuah potret tentang hubungan disfungsional ibu-anak dari Hubert dan Chantal.
Sisi artistik merupakan salah satu poin yang patut jadi sorotan dalam film ini. Selain secara verbal (pertengkaran-demi-pertengkaran) sisi emosional, baik Hubert maupun Chantal, juga digambarkan dengan cara visual melalui berbagai macam jenis simbolisme tertentu (mulai dari kupu-kupu, kaca pecah, dan berbagai absurd lainnya). Bahkan adegan seks antara Hubert dan pacarnya, Antonin (François Arnaud), pun dieksekusi dengan cara yang cukup artistik, sehingga saya sendiri tidak terlalu merasa terganggu.
Mungkin banyak yang bakal bertanya: “Apa sih enaknya nonton film yang dari awal sampai akhir intinya cuma pertengkaran ibu-anak semata?” Terlebih Xavier Dolan mengemas film ini dengan sangat provokatif dan nyaris tidak memberi ruang pada penonton untuk bernafas. Jelas ini bukan tipe tontonan yang manis, melainkan tontonan yang cenderung depresif. Sialnya, itu lah yang saya suka dari film ini. Pada kenyataannya eksekusi intens tersebut membuat saya melihat lebih dalam dan lebih jauh lagi tentang hubungan keduanya.
Apa yang salah dari hubungan Chantal dan Hubert? Siapa lebih yang patut disalahkan atas ketidaknormalan hubungan keduanya? Pada kenyataannya hubungan, ketika Hubert masih kecil, hubungan keduanya justru sangat harmonis. Hubert adalah remaja sensitif yang dibesarkan oleh seorang ibu yang keras kepala. Di suatu kesempatan, Hubert berbohong pada gurunya bahwa ibunya telah meninggal. Ketika mengetahui hal tersebut, ibunya dengan murka datang ke sekolahan: “Do I look dead to you?” Hubert meminta pada ibunya untuk tinggal di apartemen, mulanya Chantal menyetujui, lalu menolak, dan pertengkaran terjadi lagi. Hubert bahkan menghujat ibunya sebagai contoh ibu yang paling buruk yang ada.
Satu adegan kunci di film ini adalah ketika Chantal mendapati hubungan Hubert dan Antonin secara tidak sengaja dari ibu Antonin. “Our boys, about two month and a week.” Dan di saat itu juga Chantal baru mengetahui status homoseksual Hubert. “Now I know why Hubert is acting so strangely,” tanggap Chantal, “He was obssesed with Leonardo diCaprio when Titanic was realeased.” Lebih dalam lagi Chantal berkata, “He told me everything when he was little.”
Mungkin banyak yang mengira Hubert lah yang paling patut disalahkan dalam kasus ini. Pada dasarnya Hubert hanya seorang remaja yang dihadapkan pada dilema seksual (obsesinya pada Leonardo diCaprio). Hubert hanya sedang berusaha membebaskan dirinya dari dilema tersebut. Chantal juga bukan ibu yang buruk. Chantal bersedia mengantar Hubert, memasak buat Hubert, bahkan menemaninya ke rental DVD. Hanya saja, sekalinya muncul perselsihan, keduanya tidak pernah bisa akur. Sekalipun cerita yang disuguhkan terbilang sangat personal, saya rasa film ini bisa dikaji oleh siapa pun, entah itu remaja bermasalah, orang tua yang keras kepala, atau sekedar penonton biasa.
Satu lagi yang menarik dari film ini, selain cerita dan sisi artistiknya, adalah dialognya yang terasa otentik, tajam, dan di saat yang bersamaan juga terasa memiliki dark humour. Saya rasa itu lah salah satu alasan kenapa saya bisa terus-terusan terserap ke dalam pertengkaran antara Chanta dan Hubert. Xavier Dolan, sebagai aktor, juga memberikan penampilan yang menawan sebagai Hubert. Tapi pujian tertinggi septutnya dilayangkan pada Anne Dorval yang telah berhasil meraup sebagian besar simpati saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar