Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Howard Deutch
Pemain: Eric Stoltz, Mary Stuart Masterson, Lea Thompson, Craig Sheffer, John Ashton, Molly Hagan, Maddie Corman, Jane Elliot, Candace Cameron, Chynna Phillips, Scott Coffey
Tahun Rilis: 1987
Sutradara: Howard Deutch
Pemain: Eric Stoltz, Mary Stuart Masterson, Lea Thompson, Craig Sheffer, John Ashton, Molly Hagan, Maddie Corman, Jane Elliot, Candace Cameron, Chynna Phillips, Scott Coffey
Tahun Rilis: 1987
Kalau yang dicari adalah film-film tentang kehidupan remaja yang bagus, maka film-film era 80-an adalah salah satu pilihan yang tepat. Sebut saja The Breakfast Club, Pretty in Pink, Sixteen Candles, dan film yang satu ini, Some Kind of Wonderful. Alasannya, karena tidak seperti film-film remaja masa kini yang umumnya bertopang pada cinta, fantasi seks, seks, dan diselingi dengan humor-humor konyol, film-film remaja era 80-an (terutama yang ditulis oleh John Hughes–termasuk film ini) lebih memfokuskan pada realitanya.
Tidak perlu ide yang sangat orisinil untuk menghasilkan film yang bagus, Some Kind of Wonderful adalah contohnya. Tokoh utama film ini, Keith (Eric Stoltz) merupakan tipikal pemuda-pemuda biasa saja di sekolahan. Keith lebih menikmati momen-momen ketika dia melukis daripada berbaur dengan keramaian. Ketih cuma punya satu sahabat, seorang gadis tomboy, Watts (Mary Stuart Masterson), yang punya permasalahan sendiri di keluarganya. Dan Keith jatuh cinta dengan seorang gadis jet set paling cantik sesekolahan, Amanda (Lea Thompson), yang penghasilan keluarganya ternyata tidak se-mewah penampilannya.
Anda saja nasib tiga tokoh standar tersebut jatuh di tangan penulis-penulis film-film remaja klise, kemungkinan besar film ini hanya akan jadi pameran adegan-adegan bodoh atau gombalan-gombalan kosong. Tapi, di tangan John Hughes (penulis skenarion film ini, yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kepiawaiannya dalam mengolah kisah-kisah remaja), tiga tokoh klise itu tampil dengan permasalahan kompleks masing-masing.
Persoalan utama film ini simpel sebenarnya, Ketih jatuh cinta pada Amanda yang notabene jauh di luar jangkauannya. Tapi Keith tidak menyerah, Keith mencoba berbicara dengan Amanda, yang saat itu sedang bertengkar pelik dengan kekasihnya tajir dan berandal (John Ashton). Tidak diduga, Amanda menerima tawaran kencan dari Keith. Di sisi lain, hal ini malah memperenggang persahabatan Keith dan Watts.
Yang paling menarik dari kisah Some Kind of Wonderful adalah bagaimana John Hughes tidak sekedar membuat film ini tampil romantis, atau penuh chemistry, atau penuh dengan cinta. Film ini tidak sekedar berhenti pada apakah Keith berhasil mendapatkan cinta Amanda atau Keith lebih memilih Watts. Lebih dalam lagi, film ini membuat saya sebagai penonton patut mempertanyakan kepentingan-kepentingan dari pilihan dan tindakkan para tokohnya.
Maksud saya: ambil frase “seberapa harus” sebagai kunci pertanyaan. Seberapa haruskah Keith mengejar Amanda yang notabene tidak dalam jangkauannya? Seberapa haruskah Watts membantu Keith mengejar Amanda sementara di sisi lain–you know what I mean? Dan bagi Amanda, seberapa haruskah Amanda mengejar gaya hidup jet set sementara kehidupan keluarganya sendiri tidak menjangkau? Atau bisa juga, seberapa haruskah Amanda mengencani Keith? Pada akhirnya, Some Kind of Wonderful memberikan semua jawaban yang tepat bagi pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Dari sisi akting, ketiga pemeran utama sudah sangat berhasil mendapatkan empati dari saya. Eric Stoltz sangat efektif memerankan pria biasa-biasa saja dengan penampilan sederhana (apalagi kalau dibandingkan dengan tokoh-tokoh utama pria di film remaja dewasa ini). Lea Thompson sangat berhasil menyatakan bahwa tokoh yang dia perankan tidak hanya cantik dan menawan, tapi juga rumit di dalam. Sementara Mary Stuart Masterson memberikan semua ekspresi dan emosi yang tepat pada tokohnya.
Seperti kebanyakan film-film yang ditulis John Hughes, Some Kind of Wonderful memberikan tontonan seputar pendewasaan dan perubahan menjadi orang yang lebih baik–pada level yang sudah sulit sekali ditemukan dewasa ini. Juga, sangat sulit dewasa ini menemukan film-film tentang remaja yang tidak hanya memberikan penjelasan tersurat tapi juga tersirat yang jauh lebih dalam lagi. Jelas sangat menyenangkan melihat sebuah film tentang remaja yang tidak hanya berakhir romantis, tapi juga dengan pelajaran mendalam bagi masing-masing tokoh.
Tidak perlu ide yang sangat orisinil untuk menghasilkan film yang bagus, Some Kind of Wonderful adalah contohnya. Tokoh utama film ini, Keith (Eric Stoltz) merupakan tipikal pemuda-pemuda biasa saja di sekolahan. Keith lebih menikmati momen-momen ketika dia melukis daripada berbaur dengan keramaian. Ketih cuma punya satu sahabat, seorang gadis tomboy, Watts (Mary Stuart Masterson), yang punya permasalahan sendiri di keluarganya. Dan Keith jatuh cinta dengan seorang gadis jet set paling cantik sesekolahan, Amanda (Lea Thompson), yang penghasilan keluarganya ternyata tidak se-mewah penampilannya.
Anda saja nasib tiga tokoh standar tersebut jatuh di tangan penulis-penulis film-film remaja klise, kemungkinan besar film ini hanya akan jadi pameran adegan-adegan bodoh atau gombalan-gombalan kosong. Tapi, di tangan John Hughes (penulis skenarion film ini, yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kepiawaiannya dalam mengolah kisah-kisah remaja), tiga tokoh klise itu tampil dengan permasalahan kompleks masing-masing.
Persoalan utama film ini simpel sebenarnya, Ketih jatuh cinta pada Amanda yang notabene jauh di luar jangkauannya. Tapi Keith tidak menyerah, Keith mencoba berbicara dengan Amanda, yang saat itu sedang bertengkar pelik dengan kekasihnya tajir dan berandal (John Ashton). Tidak diduga, Amanda menerima tawaran kencan dari Keith. Di sisi lain, hal ini malah memperenggang persahabatan Keith dan Watts.
Yang paling menarik dari kisah Some Kind of Wonderful adalah bagaimana John Hughes tidak sekedar membuat film ini tampil romantis, atau penuh chemistry, atau penuh dengan cinta. Film ini tidak sekedar berhenti pada apakah Keith berhasil mendapatkan cinta Amanda atau Keith lebih memilih Watts. Lebih dalam lagi, film ini membuat saya sebagai penonton patut mempertanyakan kepentingan-kepentingan dari pilihan dan tindakkan para tokohnya.
Maksud saya: ambil frase “seberapa harus” sebagai kunci pertanyaan. Seberapa haruskah Keith mengejar Amanda yang notabene tidak dalam jangkauannya? Seberapa haruskah Watts membantu Keith mengejar Amanda sementara di sisi lain–you know what I mean? Dan bagi Amanda, seberapa haruskah Amanda mengejar gaya hidup jet set sementara kehidupan keluarganya sendiri tidak menjangkau? Atau bisa juga, seberapa haruskah Amanda mengencani Keith? Pada akhirnya, Some Kind of Wonderful memberikan semua jawaban yang tepat bagi pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Dari sisi akting, ketiga pemeran utama sudah sangat berhasil mendapatkan empati dari saya. Eric Stoltz sangat efektif memerankan pria biasa-biasa saja dengan penampilan sederhana (apalagi kalau dibandingkan dengan tokoh-tokoh utama pria di film remaja dewasa ini). Lea Thompson sangat berhasil menyatakan bahwa tokoh yang dia perankan tidak hanya cantik dan menawan, tapi juga rumit di dalam. Sementara Mary Stuart Masterson memberikan semua ekspresi dan emosi yang tepat pada tokohnya.
Seperti kebanyakan film-film yang ditulis John Hughes, Some Kind of Wonderful memberikan tontonan seputar pendewasaan dan perubahan menjadi orang yang lebih baik–pada level yang sudah sulit sekali ditemukan dewasa ini. Juga, sangat sulit dewasa ini menemukan film-film tentang remaja yang tidak hanya memberikan penjelasan tersurat tapi juga tersirat yang jauh lebih dalam lagi. Jelas sangat menyenangkan melihat sebuah film tentang remaja yang tidak hanya berakhir romantis, tapi juga dengan pelajaran mendalam bagi masing-masing tokoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar