Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: David Moreton
Pemain: Chris Stafford, Tina Holmes, Andersen Gabrych, Stephanie McVay, Barbie Marie, John Eby, Lea Delaria, Jeff Fryer, Jason Anthony Griffith
Tahun Rilis: 1998
Dari posternya saja sudah ketahuan kalau film ini merupakan bagian dari queer cinema. Ini film tentang gay. Dan dari judulnya bisa ditebak kalau film ini menjanjikan sebuah coming of age tentang coming out, lengkap dengan dilema-dilemanya, seorang remaja gay.
Di sebuah musim panas Ohio, 1984, era ketika kultur pop-pop flamboyan mulai mewabah, Andai saja Eric (Chris Stafford) tidak berjumpa dengan Rod (Andersen Gabrych), partner kerja musim panasnya di sebuah restoran cepat saji milik seorang wanita lesbian (Lea DeLaria). Tapi Eric sudah terlanjur berjumpa dengan Rod yang notabene sudah dikenal sebagai seorang gay. Eric, yang seringnya terlihat bingung atas orientasi seksualnya, sudah terlanjur termakan rayuan Rod. Eric sudah terlanjur tidak melawan gejolak dilema orientasi seksualnya. Eric sepertinya termakan mentah-mentah rayuan sesama jenis dari Rod. Sayangnya cinta pertama (sekaligus malam pertama) Eric ini berakhir dengan kekecewaan. Dan Eric kembali dihadapkan pada dilema orientasi seksual.
Eric ber-TTM (teman tapi mesra) dengan seorang gadis cantik nan jelita, Maggie (Tina Holmes). Masalahnya, Maggie sudah siap menaikkan hubungan mereka selangkah lebih tinggi lagi. Ketika Maggie mencoba peruntungannya merayu Eric di ranjang, kecupan manis pun terjadi. Lagi-lagi, Eric kembali dihadapkan pada dilema orientasi seksual.
Menilik kehidupan pribadinya, Eric tinggal dengan keluarga yang ramah-ramah saja kok. Bapak (John Eby) dan ibunya (Stephanie McVay) sangat humoris, penyayang, dan pengertian. Saking pengertiannya, si ibu selalu cemas tiap kali gaya rambut Eric berubah semakin aneh dan semakin aneh. Apalagi ketika anaknya pulang mabuk tiap malam.
Nah di sini lah bagian yang paling tidak saya suka dari film ini. Tiap malam Eric mendatangi bar homoseksual cuma untuk mabuk-mabukkan. Memuaskan emosinya. Dan pada akhirnya merayu seorang lelaki tampan demi kepuasan seksual. Di sisi lain, Eric juga menerima ajakan Maggie bergelut-gelutan di ranjang sekalipun lawan mainnya itu tidak berpenis, melainkan berpayudara. Dan pada akhirnya film ini berani membuat pernyataan mana yang napsu dan mana yang cinta.
Permasalahannya, apa-apa saja yang ditampilkan di film ini lebih seputar nafsu ketimbang cinta. Perjumpaan Eric dan Rod lebih seperti karena dorongan nafsu. Adegan ranjang antara Eric dan Maggie, yang entah tujuannya untuk menyangkal atau malah menguji orientasi seksualnya, juga didasarkan pada nafsu. Dan rutinitas mabuk-mabukan yang dilakukan Eric juga bertopang pada nafsu. Eric sendiri sekaan-akan hanya sekedar mencari nafsu. Menonton film ini seakan-akan memberi kesan bahwa kecanggungan seksual seorang remaja gay itu dikarenakan oleh nafsu, kegelisahnnya juga merupakan produk nafsu, juga kesepiannya. Maksud saya, hanya sekedar produk nafsu semata.
Saya tidak terlalu bermasalah pada film yang bicara seputar nafsu, ketimbang cinta. Hanya saja, fromat sensitif-sentimentil yang dipakai oleh David Moreton sangat bertentangan dengan argumennya seputar nafsu. Andai saja film ini ditampilkan lebih realis. Atau boleh juga dengan cara yang lebih ganjil ala João Pedro Rodrigues atau Tsai Ming-liang. Film ini terlalu senitmentil untuk bicara seperti tentang nafsu, dan terlalu nafsuan untuk bicara tentang cinta. Tidak ada satupun yang kena.
Pemain: Chris Stafford, Tina Holmes, Andersen Gabrych, Stephanie McVay, Barbie Marie, John Eby, Lea Delaria, Jeff Fryer, Jason Anthony Griffith
Tahun Rilis: 1998
Dari posternya saja sudah ketahuan kalau film ini merupakan bagian dari queer cinema. Ini film tentang gay. Dan dari judulnya bisa ditebak kalau film ini menjanjikan sebuah coming of age tentang coming out, lengkap dengan dilema-dilemanya, seorang remaja gay.
Di sebuah musim panas Ohio, 1984, era ketika kultur pop-pop flamboyan mulai mewabah, Andai saja Eric (Chris Stafford) tidak berjumpa dengan Rod (Andersen Gabrych), partner kerja musim panasnya di sebuah restoran cepat saji milik seorang wanita lesbian (Lea DeLaria). Tapi Eric sudah terlanjur berjumpa dengan Rod yang notabene sudah dikenal sebagai seorang gay. Eric, yang seringnya terlihat bingung atas orientasi seksualnya, sudah terlanjur termakan rayuan Rod. Eric sudah terlanjur tidak melawan gejolak dilema orientasi seksualnya. Eric sepertinya termakan mentah-mentah rayuan sesama jenis dari Rod. Sayangnya cinta pertama (sekaligus malam pertama) Eric ini berakhir dengan kekecewaan. Dan Eric kembali dihadapkan pada dilema orientasi seksual.
Eric ber-TTM (teman tapi mesra) dengan seorang gadis cantik nan jelita, Maggie (Tina Holmes). Masalahnya, Maggie sudah siap menaikkan hubungan mereka selangkah lebih tinggi lagi. Ketika Maggie mencoba peruntungannya merayu Eric di ranjang, kecupan manis pun terjadi. Lagi-lagi, Eric kembali dihadapkan pada dilema orientasi seksual.
Menilik kehidupan pribadinya, Eric tinggal dengan keluarga yang ramah-ramah saja kok. Bapak (John Eby) dan ibunya (Stephanie McVay) sangat humoris, penyayang, dan pengertian. Saking pengertiannya, si ibu selalu cemas tiap kali gaya rambut Eric berubah semakin aneh dan semakin aneh. Apalagi ketika anaknya pulang mabuk tiap malam.
Nah di sini lah bagian yang paling tidak saya suka dari film ini. Tiap malam Eric mendatangi bar homoseksual cuma untuk mabuk-mabukkan. Memuaskan emosinya. Dan pada akhirnya merayu seorang lelaki tampan demi kepuasan seksual. Di sisi lain, Eric juga menerima ajakan Maggie bergelut-gelutan di ranjang sekalipun lawan mainnya itu tidak berpenis, melainkan berpayudara. Dan pada akhirnya film ini berani membuat pernyataan mana yang napsu dan mana yang cinta.
Permasalahannya, apa-apa saja yang ditampilkan di film ini lebih seputar nafsu ketimbang cinta. Perjumpaan Eric dan Rod lebih seperti karena dorongan nafsu. Adegan ranjang antara Eric dan Maggie, yang entah tujuannya untuk menyangkal atau malah menguji orientasi seksualnya, juga didasarkan pada nafsu. Dan rutinitas mabuk-mabukan yang dilakukan Eric juga bertopang pada nafsu. Eric sendiri sekaan-akan hanya sekedar mencari nafsu. Menonton film ini seakan-akan memberi kesan bahwa kecanggungan seksual seorang remaja gay itu dikarenakan oleh nafsu, kegelisahnnya juga merupakan produk nafsu, juga kesepiannya. Maksud saya, hanya sekedar produk nafsu semata.
Saya tidak terlalu bermasalah pada film yang bicara seputar nafsu, ketimbang cinta. Hanya saja, fromat sensitif-sentimentil yang dipakai oleh David Moreton sangat bertentangan dengan argumennya seputar nafsu. Andai saja film ini ditampilkan lebih realis. Atau boleh juga dengan cara yang lebih ganjil ala João Pedro Rodrigues atau Tsai Ming-liang. Film ini terlalu senitmentil untuk bicara seperti tentang nafsu, dan terlalu nafsuan untuk bicara tentang cinta. Tidak ada satupun yang kena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar