Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Geoffrey Sax
Pemain: Halle Berry, Stellan Skarsgård, Matt Frewer, Phylicia Rashād, Chandra Wilson, Kira Clavell, Emily Tennant, Andrew Francis, Joanne Baron, Vanessa Morgan, Scott Lyster
Tahun Rilis: 2010
Jujur saja, saya belum pernah menyaksikan kasus Multiple Personality Disorder (MPD) dengan mata kepala saya sendiri. Pun tidak pernah juga melihat kasus nyatanya – bukan fiksi atau film – dalam wujud siaran televisi. Apa-apa saja yang saya ketahui tentang gangguan psikologis ini cuma saya dapat dari buku (fiksi dan non-fiksi), artikel, dan film. salah satu judul yang menyoroti kasus ini dengan cukup dalam adalah The Three Faces of Eve – film yang melambungkan nama Joanne Woodward. Jadi, berdasarkan fakta-fakta tersebut, jujur saja saya tidak pernah tahu sejauh mana keotentikan film-film tentang MPD. Termasuk Frankie and Alice ini.
Namun berdasarkan embel-embel based on true story yang terpampang di poster Frankie and Alice, setidaknya ada bagian-bagian yang bisa dianggap otentik di film ini – entah seberapa besar itu. Film yang mengantarkan Halle Berry ke nominasi Golden Globe nya yang ketiga ini bercerita tentang kasus nyata MPD di tahun 70-an. Halle Berry – dengan penampilan terbaiknya setelah Monster's Ball – berperan sebagai Francine “Frankie” Lucinda Murdoch, seorang stripper kulit hitam alkoholik dengan latar belakang kelam. Frankie berbohong tentang pekerjaannya pada ibunya (Phylicia Rashād – dengan penampilan superb) dan memiliki hubungan yang dingin dengan saudarinya (Chandra Wilson). Semua itu akibat masa lalu Frankie yang sangat misterius, sampai Alice, salah satu kepribadian lain Frankie, muncul menarik trauma tersebut ke permukaan.
Selanjutnya, penonton pun diajak mengikuti perjuangan Frankie mengatasi traumanya – dan pertarungan identitas dengan Alice – di sebuah institusi mental bersama Dr. Oz (Stellan Skarsgård). Alice merupakan sosok yang rasis (membenci kaum negro), menganggap dirinya sebagai wanita kulit putih dengan logat selatan (sekalipun terkurung dalam tubuh kulit hitam). Selain Alice, Frankie juga mempunyai satu kepribadian lagi yang diberi nama “GENIUS” – bagian yang paling menguggah dari penampilan Halle Berry, sosok ini berbicara seperti bayi, sangat genius, cengeng, tapi (berkebalikan dengan Alice) merasa sangat simpati atas siksaan yang dilakukan Alice pada Frankie.
Tentu premise tersebut sudah menandakan kalau film dari Kanada ini tipikal film-film award season – lengkap dengan adegan Halle Berry mandi telenjang di bawah guyuran shower. Saya tidak akan membocorkan lebih jauh cerita di film ini, apalagi sebagian besar cerita film ini merupakan upaya Dr. Oz mengorek-ngorek trauma masa lalu Frankie. Sebenarnya Frankie and Alice bisa saja jadi sebuah drama psikologis yang menarik, sangat disayangkan film ini malah terjabak pada hal-hal yang formulaik. Film ini cenderung terlena pada melodrama-opera-sabun-nya, ketimbang memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang kondisi psikosis Frankie. Bahkan untuk urusan sinematik, film ini masih kalah dengan The Three Faces of Eve. Hasilnya, tidak ada yang terlalu spesial dari Frankie and Alice selain kecemerlangan Halle Berry mengubah-ubah aksen, mimik, dan ekspresinya. Yah, setidaknya Frankie and Alice tidak kehilangan nilai-nilai hiburannya.
Sutradara: Geoffrey Sax
Pemain: Halle Berry, Stellan Skarsgård, Matt Frewer, Phylicia Rashād, Chandra Wilson, Kira Clavell, Emily Tennant, Andrew Francis, Joanne Baron, Vanessa Morgan, Scott Lyster
Tahun Rilis: 2010
Jujur saja, saya belum pernah menyaksikan kasus Multiple Personality Disorder (MPD) dengan mata kepala saya sendiri. Pun tidak pernah juga melihat kasus nyatanya – bukan fiksi atau film – dalam wujud siaran televisi. Apa-apa saja yang saya ketahui tentang gangguan psikologis ini cuma saya dapat dari buku (fiksi dan non-fiksi), artikel, dan film. salah satu judul yang menyoroti kasus ini dengan cukup dalam adalah The Three Faces of Eve – film yang melambungkan nama Joanne Woodward. Jadi, berdasarkan fakta-fakta tersebut, jujur saja saya tidak pernah tahu sejauh mana keotentikan film-film tentang MPD. Termasuk Frankie and Alice ini.
Namun berdasarkan embel-embel based on true story yang terpampang di poster Frankie and Alice, setidaknya ada bagian-bagian yang bisa dianggap otentik di film ini – entah seberapa besar itu. Film yang mengantarkan Halle Berry ke nominasi Golden Globe nya yang ketiga ini bercerita tentang kasus nyata MPD di tahun 70-an. Halle Berry – dengan penampilan terbaiknya setelah Monster's Ball – berperan sebagai Francine “Frankie” Lucinda Murdoch, seorang stripper kulit hitam alkoholik dengan latar belakang kelam. Frankie berbohong tentang pekerjaannya pada ibunya (Phylicia Rashād – dengan penampilan superb) dan memiliki hubungan yang dingin dengan saudarinya (Chandra Wilson). Semua itu akibat masa lalu Frankie yang sangat misterius, sampai Alice, salah satu kepribadian lain Frankie, muncul menarik trauma tersebut ke permukaan.
Selanjutnya, penonton pun diajak mengikuti perjuangan Frankie mengatasi traumanya – dan pertarungan identitas dengan Alice – di sebuah institusi mental bersama Dr. Oz (Stellan Skarsgård). Alice merupakan sosok yang rasis (membenci kaum negro), menganggap dirinya sebagai wanita kulit putih dengan logat selatan (sekalipun terkurung dalam tubuh kulit hitam). Selain Alice, Frankie juga mempunyai satu kepribadian lagi yang diberi nama “GENIUS” – bagian yang paling menguggah dari penampilan Halle Berry, sosok ini berbicara seperti bayi, sangat genius, cengeng, tapi (berkebalikan dengan Alice) merasa sangat simpati atas siksaan yang dilakukan Alice pada Frankie.
Melalui cerita tentang penderita MPD berkulit hitam, Frankie and Alice juga mencoba menyisipkan pesan seputar isu rasisme. Cara film ini berbicara seputar rasisme serupa dengan A Single Man yang baru saja saya resensi beberapa hari yang lalu. Dua film ini sama-sama mencoba menyuarakan tentang tekanan sosial dalam masyarakat – kaum mayoritas terhadap minoritas (kaum yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku) – melalui korban. Dalam film ini, Frankie merupakan korban rasisme. Sayangnya Frankie and Alice tidak sesubstil A Single Man.
Tentu premise tersebut sudah menandakan kalau film dari Kanada ini tipikal film-film award season – lengkap dengan adegan Halle Berry mandi telenjang di bawah guyuran shower. Saya tidak akan membocorkan lebih jauh cerita di film ini, apalagi sebagian besar cerita film ini merupakan upaya Dr. Oz mengorek-ngorek trauma masa lalu Frankie. Sebenarnya Frankie and Alice bisa saja jadi sebuah drama psikologis yang menarik, sangat disayangkan film ini malah terjabak pada hal-hal yang formulaik. Film ini cenderung terlena pada melodrama-opera-sabun-nya, ketimbang memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang kondisi psikosis Frankie. Bahkan untuk urusan sinematik, film ini masih kalah dengan The Three Faces of Eve. Hasilnya, tidak ada yang terlalu spesial dari Frankie and Alice selain kecemerlangan Halle Berry mengubah-ubah aksen, mimik, dan ekspresinya. Yah, setidaknya Frankie and Alice tidak kehilangan nilai-nilai hiburannya.
Good information, thank u and please visit back my article~!
BalasHapusCara Menghilangkan Mata Berlemak (Pterigium), Cara Menyembuhkan Penyakit ITP Secara Alami, Cara Mengatasi Detak Jantung Tidak Beraturan (Aritmia)