Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Nurman Hakim
Pemain: Marsha Timothy, Ben Joshua, Indra Herlambang, Jajang C. Noer, Titi Sjuman, Yoga Pratama, Dion Wiyoko, Brohisman
Tahun Rilis: 2011
Disutradarai oleh Nurman Hakim, sutradara 3 Doa 3 Cinta, dan diproduseri oleh Nan Nan T. Achnas, sutradara Pasir Berbisik dan The Photograph, jelas film ini sangat menundang minat saya. Bayangkan saja, film pembuka di tahun 2011 merupakan besutan dari sutradara yang pernah ngeceng di Festival Film Dubai dan Pusan, tidak seperti tahun kemarin yang dibuka dengan Nayato dan Maxima. Cih!
Pemain: Marsha Timothy, Ben Joshua, Indra Herlambang, Jajang C. Noer, Titi Sjuman, Yoga Pratama, Dion Wiyoko, Brohisman
Tahun Rilis: 2011
Disutradarai oleh Nurman Hakim, sutradara 3 Doa 3 Cinta, dan diproduseri oleh Nan Nan T. Achnas, sutradara Pasir Berbisik dan The Photograph, jelas film ini sangat menundang minat saya. Bayangkan saja, film pembuka di tahun 2011 merupakan besutan dari sutradara yang pernah ngeceng di Festival Film Dubai dan Pusan, tidak seperti tahun kemarin yang dibuka dengan Nayato dan Maxima. Cih!
Sama halnya dengan 3 Doa 3 Cinta, dan bisa ditebak juga dari judul dan posternya, film Nurman Hakim kali ini lagi-lagi berbicara tentang Islam. Atau setidaknya berbau-bau Islam. Nurman Hakim jelas berbeda dengan Hanung Brahmantyo yang serba megah, mewah, grande, heboh, besar, hiperbolek, dan hiperdramatisme. Sutradara yang katanya jebolan pesantren ini jauh lebih bersahaja dalam menyajikan film-filmnya. Gayanya ini agak mengingatkan pada film-film klasik neorealisme Italia, di mana cerita-cerita sederhana yang dipaparkan berkutat di seputar hilangnya sepeda ontel atau bocah penyemir sepatu yang dikejar-kejar polisi. Terutama pada cara penyutradaraan Nurman Hakim yang bisa dibilang manusiawi, tidak terkesan menggurui, tidak terkesan menceramahi, apalagi menghakimi.
Di 3 Doa 3 Cinta, Nurman Hakim tidak menampilkan film tentang tokoh Islam ternama, tidak pula tentang opera-sabun percintaan Islami yang serba mendayu-dayu, beliau malah menyajikan kisah tentang kehidupan tiga orang santri dengan cara sesederhana mungkin. Tapi film pertamanya itu tidak lantasan percuma begitu saja, melalui kesederhanaannya, Nurman nyatanya cukup berhasil memaparkan permasalahan umum yang dihadapi umat Islam Indonesia dengan potret yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Di film kedua Nurman Hakim mencoba berbicara soal identitas wanita muslim. Film, yang ceritanya dibuka dengan narasi Marsha Timothy tentang kecantikan (identitas) seorang wanita, diawali dengan permasalah klasik persinemaan Indonesia: “masalah ekonomi”(abaikan sejenak judul-judul mesum). Tokoh utama film ini, Khalifah (Marsha Timothy), gadis polos nan lugu yang karena alasan klasik tadi terpaksa menerima perjdohoan dengan Rasyid (Indra Herlambang), seorang pria pemasok produk-produk Arab. Walau tidak memiliki waktu banyak untuk berkenalan, pernikahan mereka berjalan dengan cukup baik. Terlebih karena sikap relijius Rasyid yang dikagumi oleh Khalifah. Atas dasar cinta (?) dan pengabdiannya juga sebagai seorang istri juga Khalifah memutuskan untuk berkerudung. Namun, ujian sebenarnya bagi khalifah, sebagai seorang wanita, istri, dan muslim, datang ketika dia mengalami keguguran. Karena peristiwa itu, Rasyid meminta Khalifah menggunakan cadar. Masalah pun mulai datang ketika Khalifah menggunakan cadar, terutama dari masyarakat. Melalui cadarnya, Nurman Hakim memberikan gambaran bagimana mata-mata memandang Khalifah ketika dia melintas. Khalifah pun mendapat masalah di salon tempat dia bekerja. Paling parah, Khalifah dituduh sebagai teroris.
Rasanya sudah tidak asing lagi bahwa jilbab, atau bahkan cadar, selalu dikatakan sebagai bagian dari identitas seorang wanita muslim. Melalui lubang cadar Khalifah, Nurman Hakim memberikan potret tentang seorang wanita muslim yang sedang menghadapi dilema identitasnya. Film ini dibuka dengan narasi Khalifah yang mempertanyakan identitas seorang wanita, apakah sekedar tampak luar semata, atau juga bagian dalam yang justru tidak terlihat. Persoalan sebenarnya baru dimulai ketika Khalifah memutuskan untuk memakai kerudung atas keinginan suaminya. Khalifah menunjukkan kerudungnya pada ayahnya, dan ayahnya menanggapi dengan pujian “tambah cantik,” tanggapan yang serupa juga didapat dari temannya. Namun ketika Khalifah menebalkan penutup auratnya dengan cadar, tanggapan yang dia dapat malah berwujud keheranan dari orang-orang yang dia kenal, tatapan mata aneh di sepanjang jalan, bahkan tindakan anarkis dari orang-orang yang berpikiran sempit. Perubahan yang dirasakan Khalifah ini dihadirkan Nurman Hakim melalui pengulangan setting dan aktivitas sehari-hari Khalifah.
Film ini lebih berbicara tentang dilema seorang Khalifah menghadapi perubahan persepsi orang-orang, entah yang dia kenal atau tidak, pasca perubahan wujudnya dengan cadar. Di sepanjang itu juga Khalifah mengalami dilema batin seputar cadar dan identitasnya sebagai muslimah, seakan-akan Nurman Hakim sendiri ingin melempar pertanyaan (atau renungan) pada penontonnya: Apakah jilbab hanya digunakan sebagai alat untuk dipamerkan kenapa keluarga? Apakah ke-Islam-an seseorang hanya dilihat dari tampak luarnya? Apakah tampak luar lebih penting daripada yang di dalamnya? Bahkan Khalifah sendir, melalui narasinya, melontarkan pertanyaan: “Sehelai kain bisa merubah persepsi orang terhadap diriku, apakah karena mereka tidak bisa melihat wajahku, tubuhku, aku?”
Dari narasi awalnya itu saja sudah bisa diketahui bahwa film ini membawa tema negatif (bukan tema positif dalam artian nasihat-nasihat baik). Di tengah kondisi masyarakat saat ini, kehadiran tokoh seperti Rasyid saja jelas bakal mengundang prasangka yang tidak-tidak. Sayangnya dari segi visualisasi, Khalifah malah menunjukkan kemunduran dari 3 Doa 3 Cinta. Film ini miskin dari segi visual. Kelemahan lain yang juga saya rasakan dari film ini adalah ketidakkayaan karakterisasinya. Satu-satunya tokoh yang menonjol di sini hanyalah Khalifah, dan terima kasih pada akting Marsha Timothy untuk hal tersebut. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin memang hanya Khalifah yang ingin ditonjolkan di sini.
Khalifah, nama tokoh utama film ini, memancing rasa penasaran saya. Saya pun mencari-ceri celah di film ini kenapa wanita tersebut dinamai “Khalifah” (pemimpin). Entah sama atau tidak denan persepsi Nurman Hakim, saya mendapat penggunaan nama Khalifah pada akhir film (maaf, spoiler ya), di adegan ketika Khalifah memandang bayangannya sendiri di cermin sambil berkata, “Saya Khalifah” (atau semam itu – maaf lupa-lupa ingat dialog tepatnya). Saya rasa ending tersebut menegaskan bahwa Khalifah adalah khalifah bagi dirinya sendiri. Dalam artian dia lah yang berkuasa penuh atas pilihannya sendiri. Mulai dari titik itu, bercadar atau tidak, hal tersebut haruslah murni pilihan Khalifah, dan bukan karena suruhan orang lain, bukan karena ingin diperlihatkan ke orang lain, juga bukan karena pandangan orang lain.
filmnya membosankan sekali..
BalasHapusmasih mending 3 doa 3 cinta
dan endingnya gue masih nggak ngeh
SPOILER ALERT!
itu si rasyid mati yang masuk tivi itu bukan? wkwkwk
gue cuman kasih rating 2/10
LOL
film yang berani beda dengan tema seperti ini di awal tahun di tengah persaingan film2 yang ebrtema esek-esek.
BalasHapustapi aku kurang suka film dengan tema seperti ini.
film e kurang greget dan datar banget sok tau ya ajku heheeh pdahal gak liat cuma baca review ja.
henry