Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Trevor Nunn
Pemain: Helena Bonham Carter, Cary Elwes, Jane Lapotaire, Patrick Stewart, Sara Kestelman, Michael Hordern, John Wood, Jill Bennett, Adele Anderson, Warren Saire
Tahun Rilis: 1986
Tidak gampang mengartikan kata “pengkhianat” dalam konteks kesilsilahan tahta monarki Inggris. Di rezim tertentu, siapapun bisa jadi pengkhianat, siapapun bisa dituduh pengkhianat, dan karena itu, siapa saja bisa berakhir dengan hukuman pemenggalan kepala. Lady Jane Grey, atau yang lebih dikenal dengan julukan “The Nine Days' Queen,” salah satu contoh nyatanya. Lady Jane harus berakhir dengan hukuman penggal karena dianggap berkhianat atas tahta yang (diyakini) seharusnya milik Mary I, sepupunya sendiri. Pertumpahan darah antar saudara semacam ini bukan barang baru lagi di sejarah monarki Inggris, ingat konflik antara Elizabeth I dan Mary, Queen of Scott?
Tidak ada yang salah dengan Lady Jane Grey, sebenarnya. Dan jelas pemenggalan tersebut bukan kesalahan Mary I juga. Bahkan tidak gampang juga menunjuk langsung orang per orang. Yang benar-benar bisa disalahkan mungkin hanyalah politik dan situasi yang terjadi saat itu. Kalau Anda rakyat jelata yang hidup di masa, hari-hari Anda akan dihabiskan dengan sumpah-menyumpah pada bangsawan yang merebut tanah. Kalau Anda bangsawan di masa itu, hari-hari Anda akan dihabiskan dengan memikirkan cara terbaik untuk menaikkan status. Dan kalau Anda anak bangsawan yang lahir di masa itu, siap-siap saja jadi korban perjodohan demi status, tahta, atau malah harta. Dan kalau Anda Raja (atau Ratu) Inggris, kesibukan Anda justru akan disibukan dengan perihal mendapatkan keturunan penerus tahta. Ingat cerita Anne Boleyn dan Henry VIII (orang tua Elizabeth I)?
Pemain: Helena Bonham Carter, Cary Elwes, Jane Lapotaire, Patrick Stewart, Sara Kestelman, Michael Hordern, John Wood, Jill Bennett, Adele Anderson, Warren Saire
Tahun Rilis: 1986
Tidak gampang mengartikan kata “pengkhianat” dalam konteks kesilsilahan tahta monarki Inggris. Di rezim tertentu, siapapun bisa jadi pengkhianat, siapapun bisa dituduh pengkhianat, dan karena itu, siapa saja bisa berakhir dengan hukuman pemenggalan kepala. Lady Jane Grey, atau yang lebih dikenal dengan julukan “The Nine Days' Queen,” salah satu contoh nyatanya. Lady Jane harus berakhir dengan hukuman penggal karena dianggap berkhianat atas tahta yang (diyakini) seharusnya milik Mary I, sepupunya sendiri. Pertumpahan darah antar saudara semacam ini bukan barang baru lagi di sejarah monarki Inggris, ingat konflik antara Elizabeth I dan Mary, Queen of Scott?
Tidak ada yang salah dengan Lady Jane Grey, sebenarnya. Dan jelas pemenggalan tersebut bukan kesalahan Mary I juga. Bahkan tidak gampang juga menunjuk langsung orang per orang. Yang benar-benar bisa disalahkan mungkin hanyalah politik dan situasi yang terjadi saat itu. Kalau Anda rakyat jelata yang hidup di masa, hari-hari Anda akan dihabiskan dengan sumpah-menyumpah pada bangsawan yang merebut tanah. Kalau Anda bangsawan di masa itu, hari-hari Anda akan dihabiskan dengan memikirkan cara terbaik untuk menaikkan status. Dan kalau Anda anak bangsawan yang lahir di masa itu, siap-siap saja jadi korban perjodohan demi status, tahta, atau malah harta. Dan kalau Anda Raja (atau Ratu) Inggris, kesibukan Anda justru akan disibukan dengan perihal mendapatkan keturunan penerus tahta. Ingat cerita Anne Boleyn dan Henry VIII (orang tua Elizabeth I)?
Lady Jane ber-setting di Inggris menjelang masa-masa akhir kejayaan House of Tudor (yang diakhiri dengan berakhirnya rezim Elizabeth I). Film ini dibuka di rezim Edward VI (diperankan oleh Warren Saire) – di usianya yang ke-15, hari-hari terakhirnya – raja Protestan pertama di Inggris. Saat itu pemerintahan dipegang oleh parlemen dan John Dudley, Duke of Northumberland (John Wood), karena Edward VI belum mencapai usia yang dianggap layak untuk memegang kekuasaan (dia baru mendapatkan tahta penuh di usia 18 tahun). Itu juga merupakan masa-masa berkembangnya ajaran baru, Protestan, di Inggris.
Lady Jane (Helena Bonham Carter di awal-awal karirnya) merupakan sepupu (dari kakek) dari Edward VI. Beliau berada di urutan kelima sebagai pewaris tahta pasca meninggalnya Henry VIII. Lady Jane dibesarkan dengan cara Protestan, juga dengan pendidikan-pendidikan – dia bahkan membaca buku-buku tentang filsafat Plato yang ditulis dalam bahasa Yunani. Lady Jane merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dan dikenal sebagai yang paling cantik dan paling pintar dari ketiganya. Dan tidak perlu heran kalau kedua orang tua Lady Jane, Duke dan Duchess (Patrick Stewart dan Sara Kestelman), mencari celah-celah tertentu untuk meningkatkan status dan posisi keluarga mereka melalu putrinya. Salah satu kemungkinan ialah menjodohkan Lady Jane dengan Edward VI (mereka “sepupu jauh”). Keduanya sama-sama berusia 15 tahun, sama-sama dibesarkan dengan ajaran Protestan, sama-sama muda, dan cukup dekat. Namun kemungkinan perjodohan tersebut usang ketika kondisi Edward VI semakin parah (sekarat). Hal ini juga berarti bahwa tahta selanjutnya tentu akan diserahkan pada Mary I.
Berbeda dengan Edward VI, Mary I adalah merupakan pengikut Katolik taat. Terbukti para masa kekuasaannya, Mary I mengkaji ulang penerapan Protestan di rezim Edward VI dan menegaskan kembali penerapan ajaran Katolik Roma. Hal ini sangat tidak disetujui oleh Duke of Northumberland. Demi mencegah hal tersebut, John Dudley membujuk-rayu Edward VI, yang sedang sekarat, untuk membuat pernyataan yang berisi penyerahan tahta langsung pada Lady Jane. Lady Jane bahkan dinikahkan dengan putra keduanya, Lord Guilford Dudley (Cary Elwes).
Ya, pasca meninggalnya Edward VI, Lady Jane sempat merasakan tahta Inggris, walaupun hanya sembilan hari. Sampai Mary I datang merebut tahtanya, dan sayangnya para bagnsawan dan anggota perlemen lebih mendukung Mary I ketimbang Lady Jane (termasuk yang semulanya meminta Lady Jane mengambil posisi ratu). Dalam waktu sesingkat itu juga Lady Jane langsung dinyatakan sebagai pengkhianat, dan tentu, diberi hukuman. Mulanya Mary I, yang sebelum konflik ini sebenarnya memiliki hubungan baik, memberi ampunan Lady Jane dari hukuman penggal. Sayangnya nasib berkata lain ketika ayah Lady Jane melakukan pemberontakan sambil meneriakkan “Long live Queen Jane!” (lebih karena beliau tidak menyetujui dengan perombakan Protestan - Roman Katolik yang akan dilakukan Mary I, dan campur tangan Spanyol). Terlebih ketika Mary I hendak menikahi Pangeran Philip dari Spanyol, sesama sosok Katolik taat, calon mempelianya itu meminta Mary I mengambil tindakan tegas atas Lady Jane (yang notabene seorang Protestan). Bahkan sampai saat ini, sosok Lady Jane masih kerap dianggap sebagai martir.
Film ini mengkronologiskan kehidupan romansa Lady Jane dengan suaminya, masa-masa sembilan hari pemerintahannya, hingga hari-hari terakhirnya. Sebagian besar film ini menggambarkan secara tepat kehidupan Lady Jane, walaupun ada beberapa detil yang melenceng dari sejarah, seperti hubungan romantis Lady Jane dengan suaminya (yang saya rasa ditampilkan demi kepentingan sinematik) – padahal nyatanya hubungan mereka sama sekali tidak harmonis.
Untuk ukuran costume drama, atau period drama, Lady Jane masih jauh dari kata bagus. Film ini tidak mampu berkata lebih banyak ketimbang melodrama romasanya. Bagi mereka yang mengharapkan gambaran politik, sosial, atau hal-hal yang lebih mendalam seputar era kebangsawanan, siap-siap saja dikecewakan. Sudah jelas tujuan film ini adalah “memartirkan” sosok Lady Jane. Hanya saja, ketimbang memaparkan poin-poin yang lebih tajam, film ini malah terlena pada melodrama dangkalnya. Satu-satunya cara menikmati Lady Jane ialah melalui sudut pandang Lady Jane itu sendiri. Anggap saja film ini murni sebuah melodrama tentang Lady Jane, tanpa embel-embel politik, sosial, budaya, dan tetek-bengek lainnya. Helena Bonham Carter, yang masih muda dan imut banget, berhasil menghipnotis saya dengan penampilan yang sangat meyakinkan sebagai Lady Jane.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar