Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Sébastien Lifshitz
Pemain: Jérémie Elkaïm, Stéphane Rideau, Dominique Reymond, Marie Matheron, Laetitia Legrix, Nils Ohlund, Réjane Kerdaffrec, Guy Houssier, ,Violeta Ferrer, Robert Darmel, Marie-Claire Durand, Charline Levaque, Sarah Reyjasse, Gildas Chotard, Eric Savin
Tahun Rilis: 2000
Judul Internasional: Come Undone
Saya rasa Presque rien yang kalau diartikan ke bahasa Inggris kurang lebih menjadi “Almost Nothing,” atau dirilis secara internasional dengan terjemahan lepas “Come Undone,” adalah judul yang sangat tepat untuk film ini – saya tidak bisa memikirkan judul lain yang lebih pas. Dari posternya (apalagi poster yang di sini) saja sudah bisa ditebak bahwa film Perancis ini berisi tentang kisah sepasang kekasih homoseksual. Namun, seusai menyaksikan film ini sampai habis, saya sama sekali tidak menganggap Come Undone sebagai sebuah film gay atau film homoseksual.
Seperti kebanyakan film-film tentang hubungan gay remaja umumnya, film ini menyajikan sebuah cerita coming-of-age, coming out, lengkap dilema-dilemanya. Dalam Come Undone, remaja yang dihadapkan pada dilema tersebut adalah Mathieu (Jérémie Elkaïm). Di awal film, di sebuah musim dingin, diperlihatkan Mathieu sedang membuat rekaman – diary atau jurnal berbentuk rekaman – di atas kereta menuju kediaman ibunya di daerah pesisir. Mathieu mengaku merasa “aneh” kembali ke situ. Lalu cerita meloncat ke delapan belas bulan sebelumnya, ketika Mathieu menghabiskan liburan musim panas sekolahnya di kediaman ibunya itu. Penonton diperlihatkan kondisi keluarga Mathieu. Ibunya (Dominique Reymond) pesakitan, depresi sejak kematian anaknya yang baru saja lahir. Ayahnya tinggal di Paris semenjak perceraian. Sejak itu juga, Annick (Marie Matheron), seorang teman keluarga, lah yang mengurusi segala keperluan ibunya. Mathieu mempunyai seorang adik perempuan (Laetitia Legrix) yang cenderung sinis dan ketus padanya. Tidak heran kalau kondisi tersebut membuat Mathieu rapuh secara emosional.
Di musim panas itu juga Mathieu berjumpa, dan jatuh cinta, dengan Cedric (Stéphane Rideau), seorang pemuda yang tidak henti-henti menatapinya di pantai. Keduanya pun menjalin hubungan asmara di muism panas itu. Mulanya, Mathieu merahasiakan hubungannya tersebut dengan keluarganya (dengan alasan tidak ingin memperparah kondisi ibunya). Seiring dengan berjalannya film, Mathieu berbicara jujur dengan keluarganya – termasuk ibu dan adiknya. Dan sejak saat itu juga penonton diajak menilik perbedaan signifikan antara Mathieu dan Cedric. Mathieu merupakan sosok yang rapuh, rumit, sensitif, dan mood yang tidak menentu. Sementara Cedric merupakan sosok yang lebih hunky, lebih bebas, lebih santai, dan lebih easy going. Keduanya sama-sama berasal dari keluarga yang hancur. Bedanya, Mathieu menanggapi kondisi keluarganya dengan kerapuhan, sementara Mathieu cenderung acuh dan tidak terlalu memikirkan. Mathieu merupakan remaja kota yang berniat melanjutkan pendidikannya ke universitas, sementara Cedric sudah lama berhenti dari sekolah – merasa sekolah bukan tempatnya – dan lebih memilih untuk bekerja. Menjelang akhir musim panas, keduanya dihadapkan pada dilema perpisahan. Cedric, yang mulai semakin serius hubungan mereka, meminta Mathieu untuk tetap tinggal, walaupun begitu Mathieu tetap saja memilih untuk pergi.
Secara paralel film ini bercerita tentang kondisi Mathieu ketika menjalin asmara dengan Cedric di musim panas, dan kondisi Mathieu di musim dingin delapan belas bulan kemudian. Saat itu Mathieu sedang dalam kondisi emosional yang sangat hancur akibat perpisahan dengan Cedric. Akibat percobaan bunuh dirinya (yang gagal dilakukan), Mathieu dihadapkan pada psikiater yang mencoba membantunya pulih dari depresi berlarut-larut. Mathieu kembali ke kediaman ibunya – tempat yang sama ketika dia berjumpa dengan Cedric. Di situ Mathieu berusaha menenagkan dirinya, dia menghibur dirinya dengan seekor kucing jalanan – sebuah simblisme yang paling terasa di film ini. Sama seperti kucing itu, Cedric juga pemuda jalanan. Mathieu berkata bahwa kucing tersebut lucu (atau imut), tapi jorok – seperti Cedric. Dan yang paling penting, Mathieu menjuluki kucing tersebut “Prince Charming” – hasrat Mathieu terhadap Cedric.
Di musim dingin itu, Mathieu juga menemui Pierre (Nils Ohlund), seorang mantan pacar Cedric. Mathieu menemukan kesamaan dengan Pierre. Mathieu juga seakan-akan menemukan orang yang bisa mengerti dan menjadi obat bagi dirinya di dalam diri Pierre.
Menonton Come Undone tidak seperti menonton film-film berkonflik pada umumnya. Tidak seperti film-film pada umumnya yang berusaha menyatukan titik-titiknya – adegan-adegannya – menjadi satu kesatuan hingga menuju klimaks, Come Undone malah menampilkan titik-titik acak yang tidak menyatu menjadi satu garis merah melainkan menuntut untuk dikumpulkan. Film ini menampilkan berbagai peristiwa-peristiwa acak yang sama sekali tidak membentuk klimaks, melainkan membentuk satu keseluruhan gambaran tentang betapa rumit dan rentannya kehidupan remaja – kebalikan dari kebanyakan film-film remaja Hollywood yang justru menggambarkan kesimplistikan kehidupan remaja.
Seperti kebanyakan film sejenis yang sudah mulai sangat-amat berani akhir-akhir ini, Come Undone juga menyajikan adegan Mathieu dan Cedric saling memagut dan menggulat tanpa busana – lengkap dengan tontonan alat kelamin. Untungnya, baik Jérémie Elkaïm (pemeran Mathieu) maupun Stéphane Rideau (pemeran Cedric) sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik di film ini. Mereka berhasil tidak hanya sekedar memamerkan bodi dan kelamin, tapi juga menunjukkan sensitivitas remaja sesuai dengan tokoh masing-masing. Deretan pemain pendukung yang baik juga sangat membantu.
Saya menganggap Come Undone bukanlah film gay karena film ini bukan tentang kisah percintaan yang erat nan romantis, bukan juga film tentang manfaat coming out seorang homoseksual, pun film ini sama sekali tidak menampilkan politik yang kuat seputar orientasi seksual. Ini adalah film tentang hidup, yang maknanya tetap saja relevan sekalipun bagi kaum non-homoseksual. Film ini merupakan potret seorang pemuda yang diharuskan melawan kesedihannya – dan dirinya sendiri. Bahkan pada akhir film, tidak diberikan solusi yang tegas bagi Mathieu. Juga bagi penonton. Karena hidup memang tidak sesimpel klimaks yang ada di film-film, yang pada akhirnya selalu mempunyai solusi. Ketimbang solusi, film ini lebih memilih menampilkan cerminan.
Pemain: Jérémie Elkaïm, Stéphane Rideau, Dominique Reymond, Marie Matheron, Laetitia Legrix, Nils Ohlund, Réjane Kerdaffrec, Guy Houssier, ,Violeta Ferrer, Robert Darmel, Marie-Claire Durand, Charline Levaque, Sarah Reyjasse, Gildas Chotard, Eric Savin
Tahun Rilis: 2000
Judul Internasional: Come Undone
Saya rasa Presque rien yang kalau diartikan ke bahasa Inggris kurang lebih menjadi “Almost Nothing,” atau dirilis secara internasional dengan terjemahan lepas “Come Undone,” adalah judul yang sangat tepat untuk film ini – saya tidak bisa memikirkan judul lain yang lebih pas. Dari posternya (apalagi poster yang di sini) saja sudah bisa ditebak bahwa film Perancis ini berisi tentang kisah sepasang kekasih homoseksual. Namun, seusai menyaksikan film ini sampai habis, saya sama sekali tidak menganggap Come Undone sebagai sebuah film gay atau film homoseksual.
Seperti kebanyakan film-film tentang hubungan gay remaja umumnya, film ini menyajikan sebuah cerita coming-of-age, coming out, lengkap dilema-dilemanya. Dalam Come Undone, remaja yang dihadapkan pada dilema tersebut adalah Mathieu (Jérémie Elkaïm). Di awal film, di sebuah musim dingin, diperlihatkan Mathieu sedang membuat rekaman – diary atau jurnal berbentuk rekaman – di atas kereta menuju kediaman ibunya di daerah pesisir. Mathieu mengaku merasa “aneh” kembali ke situ. Lalu cerita meloncat ke delapan belas bulan sebelumnya, ketika Mathieu menghabiskan liburan musim panas sekolahnya di kediaman ibunya itu. Penonton diperlihatkan kondisi keluarga Mathieu. Ibunya (Dominique Reymond) pesakitan, depresi sejak kematian anaknya yang baru saja lahir. Ayahnya tinggal di Paris semenjak perceraian. Sejak itu juga, Annick (Marie Matheron), seorang teman keluarga, lah yang mengurusi segala keperluan ibunya. Mathieu mempunyai seorang adik perempuan (Laetitia Legrix) yang cenderung sinis dan ketus padanya. Tidak heran kalau kondisi tersebut membuat Mathieu rapuh secara emosional.
Di musim panas itu juga Mathieu berjumpa, dan jatuh cinta, dengan Cedric (Stéphane Rideau), seorang pemuda yang tidak henti-henti menatapinya di pantai. Keduanya pun menjalin hubungan asmara di muism panas itu. Mulanya, Mathieu merahasiakan hubungannya tersebut dengan keluarganya (dengan alasan tidak ingin memperparah kondisi ibunya). Seiring dengan berjalannya film, Mathieu berbicara jujur dengan keluarganya – termasuk ibu dan adiknya. Dan sejak saat itu juga penonton diajak menilik perbedaan signifikan antara Mathieu dan Cedric. Mathieu merupakan sosok yang rapuh, rumit, sensitif, dan mood yang tidak menentu. Sementara Cedric merupakan sosok yang lebih hunky, lebih bebas, lebih santai, dan lebih easy going. Keduanya sama-sama berasal dari keluarga yang hancur. Bedanya, Mathieu menanggapi kondisi keluarganya dengan kerapuhan, sementara Mathieu cenderung acuh dan tidak terlalu memikirkan. Mathieu merupakan remaja kota yang berniat melanjutkan pendidikannya ke universitas, sementara Cedric sudah lama berhenti dari sekolah – merasa sekolah bukan tempatnya – dan lebih memilih untuk bekerja. Menjelang akhir musim panas, keduanya dihadapkan pada dilema perpisahan. Cedric, yang mulai semakin serius hubungan mereka, meminta Mathieu untuk tetap tinggal, walaupun begitu Mathieu tetap saja memilih untuk pergi.
Secara paralel film ini bercerita tentang kondisi Mathieu ketika menjalin asmara dengan Cedric di musim panas, dan kondisi Mathieu di musim dingin delapan belas bulan kemudian. Saat itu Mathieu sedang dalam kondisi emosional yang sangat hancur akibat perpisahan dengan Cedric. Akibat percobaan bunuh dirinya (yang gagal dilakukan), Mathieu dihadapkan pada psikiater yang mencoba membantunya pulih dari depresi berlarut-larut. Mathieu kembali ke kediaman ibunya – tempat yang sama ketika dia berjumpa dengan Cedric. Di situ Mathieu berusaha menenagkan dirinya, dia menghibur dirinya dengan seekor kucing jalanan – sebuah simblisme yang paling terasa di film ini. Sama seperti kucing itu, Cedric juga pemuda jalanan. Mathieu berkata bahwa kucing tersebut lucu (atau imut), tapi jorok – seperti Cedric. Dan yang paling penting, Mathieu menjuluki kucing tersebut “Prince Charming” – hasrat Mathieu terhadap Cedric.
Di musim dingin itu, Mathieu juga menemui Pierre (Nils Ohlund), seorang mantan pacar Cedric. Mathieu menemukan kesamaan dengan Pierre. Mathieu juga seakan-akan menemukan orang yang bisa mengerti dan menjadi obat bagi dirinya di dalam diri Pierre.
Menonton Come Undone tidak seperti menonton film-film berkonflik pada umumnya. Tidak seperti film-film pada umumnya yang berusaha menyatukan titik-titiknya – adegan-adegannya – menjadi satu kesatuan hingga menuju klimaks, Come Undone malah menampilkan titik-titik acak yang tidak menyatu menjadi satu garis merah melainkan menuntut untuk dikumpulkan. Film ini menampilkan berbagai peristiwa-peristiwa acak yang sama sekali tidak membentuk klimaks, melainkan membentuk satu keseluruhan gambaran tentang betapa rumit dan rentannya kehidupan remaja – kebalikan dari kebanyakan film-film remaja Hollywood yang justru menggambarkan kesimplistikan kehidupan remaja.
Seperti kebanyakan film sejenis yang sudah mulai sangat-amat berani akhir-akhir ini, Come Undone juga menyajikan adegan Mathieu dan Cedric saling memagut dan menggulat tanpa busana – lengkap dengan tontonan alat kelamin. Untungnya, baik Jérémie Elkaïm (pemeran Mathieu) maupun Stéphane Rideau (pemeran Cedric) sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik di film ini. Mereka berhasil tidak hanya sekedar memamerkan bodi dan kelamin, tapi juga menunjukkan sensitivitas remaja sesuai dengan tokoh masing-masing. Deretan pemain pendukung yang baik juga sangat membantu.
Saya menganggap Come Undone bukanlah film gay karena film ini bukan tentang kisah percintaan yang erat nan romantis, bukan juga film tentang manfaat coming out seorang homoseksual, pun film ini sama sekali tidak menampilkan politik yang kuat seputar orientasi seksual. Ini adalah film tentang hidup, yang maknanya tetap saja relevan sekalipun bagi kaum non-homoseksual. Film ini merupakan potret seorang pemuda yang diharuskan melawan kesedihannya – dan dirinya sendiri. Bahkan pada akhir film, tidak diberikan solusi yang tegas bagi Mathieu. Juga bagi penonton. Karena hidup memang tidak sesimpel klimaks yang ada di film-film, yang pada akhirnya selalu mempunyai solusi. Ketimbang solusi, film ini lebih memilih menampilkan cerminan.
sinopsisnya keren. bagaimana caranya menemukan film ini? dowbload dimana yg ada subtitle indonesia? terima kasih
BalasHapus